Iran [1] Bangsa yang Memuja Kesyahidan

Suasana kota Qom seperti ini ingin menegaskan, kehidupan hari ini, berdiri di pundak para syuhada yang telah gugur. Mereka mendapat tempat terhormat dalam sanubari masyarakat.

Senin, 6 Januari 2020 | 07:10 WIB
0
398
Iran [1] Bangsa yang Memuja Kesyahidan
Bendera merah simbol kemarahan Iran (Foto: Tribunnews.com)

Beberapa tahun lalu, saya pernah mampir ke Iran. Berziarah ke kota suci Qom dan Masyad. Qom disebut kota suci karena di sana terletak makam seorang perempuan keturunan Nabi Muhamad, Fatimah Maksumah. Beliau adalah adik Imam Ali Ridha (Imam ke-8 yang dipercayai penganut Syiah). Fatimah berangkat dari Madinah hendak menyusul kakaknya di Masyad, Iran.

Namun, sebelum mencapai Masyad, beliau menderita sakit di Qom dan wafat di kota itu. Kini makamnya berada dalam masjid yang banyak dikunjungi peziarah. Saya juga sempat mendatangi masjid kecil, lokasi mihrab, di mana Fatimah Maksumah menghabiskan malam-malam panjangnya untuk bermunajat pada Ilahi. Sampai wafatrnya.

Di Qom, sehabis berziarah selepas zuhur, saya duduk-duduk di taman depan masjid yang luas itu. Taman tersebut sekaligus menjadi lokasi wisata keluarga warga Qom. Ada yang menggelar karpet di bawah pohon, membawa makanan kecil. Kereta bayi dengan pasangan muda yang berjalan menyusuri.

Ketika saya duduk di taman sambil merokok, seorang pria menghampiri saya. Ia membawa dua gelas es krim. Keduanya disodorkan kepada kami. Saya menerimanya dengan sedikit bingung. Untung saja ada mahasiswa yang mendambipingi saya.

"Bapak ini tanya, kita dari mana? Saya jawab Indonesia," ujar mahasiswa menerangkan. "Kalau begitu berarti menurut bapak ini kita peziarah. Datang dari jauh ke Qom mengunjungi keluarga Rasulullah. Kita adalah tamu Fatimah Maksumah. Bapak ini menyodorkan es krim sebagai jamuan dari Fatimah Maksumah. Kata bapak itu, dia berharap dianggap sebagai kasim (pembantunya) penghuni makam suci itu. Sehingga di akhirat nanti ia bisa ikut bersama rombongan keluarga Nabi."

Saya tercekat. Mahasiswa pendamping saya menceritakan, di sini orang berlomba-lomba agar bisa mengabdi pada masjid yang berisi makam orang-orang suci. Bahkan, untuk menjadi penjaga toilet masjid orang harus mendaftar dulu jadi relawan. Mereka menunggu giliran.

Pas sudah dapat waktunya, mereka mengambil cuti kerja. Bukan untuk liburan. Tetapi untuk sekadar menjadi relawan di masjid. Sebab mereka semua ingin dianggap sebagai pembantu penghuni makam itu. Mungkin harapannya sama : agar nanti di akhirat wajah mereka dikenali sebagai kasim (pembantu) keluarga suci Nabi.

Minggu lalu, kata si mahasiswa, seorang petinggi Bank Sentral Iran mengambil cuti untuk menjadi penjaga toilet di sini. Melayani jemaah layaknya penjaga toilet biasa. Kadang juga pejabat negara kebagian menjaga sendal. Atau sekadar bersih-bersih.

Saya menikmati es krim rasa vanili. Dan cerita yang menajkbubkan. Membayangkan orang-orang dengan posisi tinggi rela cuti hanya untuk menjadi marbot. Bagi saya, terasa pengabdian yang luar biasa.

Di sepanjang jalan Qom, saya sering melihat poster-poster berisi foto lelaki. Mirip suasana Indonesia ketika Pilkada. Ketika saya tanyakan kepada mahasiswa Indonesia yang mendampingi saya ketika itu, apa maksud psoter-poster itu? Dia menceritakan bahwa poster-poster itu adalah foto orang yang gugur dalam perang. "Mereka adalah para syuhada," ujarnya.

Saat itu suasana Timur Tengah memang sedang hangat-hangatnya. Di Irak, ISIS menguasai berbagai wilayah. Di Suriah, mereka juga berhasil menduduki berbagai kota strategis. Kelakuan ISIS yang biadab biasanya menghancurkan situs-situs suci kekayaan umat Islam. Termasuk makam para Imam.

Bagi penganut Syiah, makam keluarga Nabi adalah tempat suci yang sangat dihormati. Di Irak ada Karbala, makam Imam Husain. Setiap tahun, puluhan juta orang datang berziarah ke Karbala dalam prosesi panjang yang dikenal dengan istilah arbain. Di Irak juga ada Kazimain, makam Imam Musa Alkaziem. Sedangkan di kota Najaf, ada makam Imam Ali bin Abi Thalib.

Itulah salah satu motivasi agamis banyak pemuda di Iran yang mendaftar menjadi relawan untuk berjuang menghalau ISIS dari tempat-tempat yang disucikan. Memang, saat itu, banyak kampus di Iran yang membuka kesempatan untuk relawan yang mau berjuang melawan ISIS di Irak dan Suriah. Kita tahu Iran sekuat tenaga memerangi gerombolan perusak itu.

Bahkan kabarnya, kesempatan itu juga dibuka bagi mahasiswa asing. Tapi, menurut teman saya, mahasiswa dari Indonesia tidak diperbolehkan mendaftar jadi relawan. Kawan itu bercerita, minggu lalu, katanya, teman kampusnya asal Afganistan yang mendaftar jadi relawan dikabarkan gugur. Banyak juga para pemuda Iran lain yang gugur di medan tempur berhadapan dengan para srigala lapar tersebut.

Nah, para pemuda yang gugur itulah, yang fotonya saya saksikan di jalan-jalan kota Qom. Saya akhirnya paham, bagaimana daya juang tidak terpompa luar biasa. Ketika setiap saat masyarakat memandang foto orang-orang yang wafat berjuang untuk keyakinannya.

Suasana kota Qom seperti ini ingin menegaskan, kehidupan hari ini, berdiri di pundak para syuhada yang telah gugur. Mereka mendapat tempat terhormat dalam sanubari masyarakat.

Dengan semangat seperti itulah, muslim Syiah hidup setiap hari.

Bayangkan ketika AS kemarin membunuh Jenderal Qassem Sulaimani secara keji. Justru kekejian itu hanya akan membakar daya juang manusia-manusia lain yang meyakini, membela keadilan adalah jalan tol menuju ilahi.

Di atap masjid Zamkaran, Qom, kini dikerek bendera merah. Semacam tanda bahwa negeri mereka menyatakan perang dan kemarahan atas tindakan pada Sulaimani.

Tampaknya Trump yang hendak berkelit dari ancaman impeachment dengan membunuh secara petinggi Iran, sedang menyeret AS dalam permainan yang sulit ditebak akhirnya.

AS sedang bermain api yang mungkin akan membakar dirinya sendiri.

Eko Kuntadhi

***