Berbicara dalam Diam

Dikatakan bahwa doa yang benar bukanlah ketika seseorang banyak berbicara kepada Tuhan tetapi seseorang banyak mendengarkan Tuhan.

Sabtu, 21 Maret 2020 | 16:32 WIB
0
198
Berbicara dalam Diam
ilustrasi: Lucie Ernestova

Dalam buku The World of Silence (Dunia Keheningan), Picard mengamati bahwa dalam keheningan kita terhubung dengan generasi masa lalu dan generasi masa depan. Mungkin kita juga paham dengan peribahasa 'diam adalah emas'.

Ada pula yang mengatakan bahwa diam adalah nilai keutamaan manusia yang penting. Dan menurut masyarakat Afrika, salah satu hal penting yang perlu diupayakan manusia adalah kemampuan untuk berbicara secukupnya agar terbukalah kesempatan bagi keheningan yang berguna bagi semua orang.

Diam, bagi orang Afrika asli bukanlah sesuatu yang pasif atau vakum, juga bukan suatu keadaan tanpa kata dan pembicaraan, melainkan suatu suara yang aktif dan positif yang mendorong pemikiran dan refleksi yang dapat meningkatkan mutu pembicaraan selanjutnya. Dalam diamlah, refleksi konstruktif tentang diri sendiri, nilai dan makna hidup dimungkinkan.

Sementara itu, suara dianggap sebagai kebalikan. Suara membuat kita mengabaikan kesulitan yang sedang kita hadapi dan milik kita yang paling berharga, yaitu waktu dan diri kita yang sejati. Memang, menghadapi ini kebenaran diri sendiri dan menjadi jujur terhadap diri sendiri itu seringkali menyakitkan. Itulah sebabnya kita kemudian mencari pelarian pada suara-suara untuk keluar dari ketakutan menemukan kedalaman dari kekosongan kita. Singkatnya, kita takut akan keheningan. Kita begitu takut untuk hanya bersama diri sendiri dan merasuk pada diri yang terdalam.

Dalam kebijaksanaan Aborigin Afrika, ada beberapa tingkatan nilai keheningan. Pertama, disposisi untuk tetap diam menunjukkan kemampuan seseorang untuk mengendalikan mulutnya dan kecenderungannya berbicara. Seseorang yang telah dewasa haruslah mampu mengendalikan mulutnya, terutama ketika sedang marah dan emosi.

Misalnya, kita haruslah diam ketika teman kita sedang berbicara dalam kemarahan dan tak terkendali. Saatnya untuk diam juga ketika kita sedang marah dan emosi tidak stabil. Secara singkat, kebijaksanaan ini mengajak semua orang mengembangkan kemampuan untuk tetap diam pada saat yang tepat. Ada saatnya untuk berbicara dan ada saatnya untuk diam.

Kedua, diam pada tingkatan yang lain adalah suatu kondisi yang sangat baik untuk mendengarkan dengan seksama. Seorang pendengar yang baik adalah harta karun. Di zaman sekarang, kemauan untuk mendengarkan dengan sungguh-sungguh jarang kita temukan. Padahal, ini adalah nilai yang sangat penting bagi kita.

Kata-kata yang diucapkan membutuhkan telinga yang mendengarkan, sama seperti kata-kata yang tertulis membutuhkan mata yang membacanya. Mendengarkan dalam keheningan sangat penting bagi hubungan antarmanusia. Pembicara yang baik adalah ia yang menyediakan waktu hening juga ketika berbicara. Jeda hening inilah yang mengandung kesempatan untuk berfikir dan berefleksi.

Lebih lanjut, hening adalah unsur penting dari semua praktik agama. Dalam pencarian akan Dia yang Mahabesar, pencapaian spiritual yang sejati hanya bisa dicapai melalui introspeksi, yang dilakukan dalam hening. Hanya dalam keheningan, hati seseorang bisa berhadap-hadapan dengan dirinya dan berefleksi tentang pertanyaan-pertanyaan penting, seperti 'Siapakah aku?'

Maharai, seorang komentator mistik abad ke-16, menjelaskan bahwa kegiatan berbicara itu adalah aspek fisik manusia. Karena itulah, ketika berbicara, aspek fisik lah yang mengendalikan kita. Diam, memungkinkan dimensi spiritual kita mengambil alih kendali itu kembali.

Dari sini kita mengambil kesimpulan bahwa kehidupan spiritual kita lebih didorong oleh keheningan daripada pembicaraan. Oleh karena itu, tidak ada hal yang lebih baik bagi tubuh kita selain keheningan.

Orang-orang yang mau bertekun dalam kehidupan spiritual perlu melihat nilai keheningan sebagai gladi bagi jiwa kita. Kendaraan kebijaksanaan adalah keheningan, seperti yang dikatakan oleh Salomo, "Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi."

Selain itu, Socrates juga mengingatkan kita, kehidupan yang tidak direfleksikan tidaklah berarti untuk dijalani. Menyediakan waktu khusus untuk bersama diri sendiri dan pikiran akan membantu kita untuk menjajaki dunia diri kita yang terdalam. Inilah saat kita menembus diri kita yang lebih dalam dan menempatkannya pada perspektif yang benar. Dikatakan bahwa doa yang benar bukanlah ketika seseorang banyak berbicara kepada Tuhan tetapi seseorang banyak mendengarkan Tuhan.

***
Solo, Sabtu, 21 Maret 2020. 4:22 pm
'salam damai penuh cinta'
Suko Waspodo
suka idea
antologi puisi suko