Posisi ganda seperti ini penting, membuat Dr. Sachedina paham dengan baik aspirasi umat dan konteks dunia sekular sekaligus.
Siang ini, seraya menahan perut lapar dan kantuk berat, saya diminta bicara dalam sebuah forum para kiai muda tentang Islam dan "tantangan" HAM. Forum ini diselenggarakan oleh Rumah Kitab.
Ini tema klasik dan sudah lama menjadi bahan percakapan. Sebagian pihak mungkin sudah tak berselera lagi membincangkan soal ini, karena sudah bosan. Tetapi saya menganggapnya tetap relevan. Ini, bagi saya, masalah perenial, abadi.
Saya menawarkan sosok Dr. Abdulaziz Sachedina sebagai contoh seorang intelektual Muslim yang secara serius bergulat dengan isu HAM dan Islam.
Dia menulis dua buku penting dalam isu ini: (1) The Islamic Roots of Democratic Pluralism (2007), dan (2) Islam and the Challenge of Human Rights (2009). Saya menganggap dua buku Prof. Sachedina ini sebagai sumbangan terpenting dari pihak sarjana Muslim modern terhadap percakapan tentang HAM dari perspektif Islam.
Kelemahan mendasar percakapan soal HAM selama ini, demikian kritik Dr. Sachedina, adalah kecenderungan aktivis HAM untuk mengabaikan dimensi agama dalam diskursus mengenai hak. Kalau bisa, begitu asumsi mereka, percakapan soal HAM dibersihkan seluruhnya dari argumen keagamaan, karena hanya akan "bikin ribet" saja. Biarlah agama menjadi urusan keyakinan personal, tidak usah dilibatkan dalam urusan publik.
Prof. Sachedina mengkritik tendensi sekular semacam ini.
Saya setuju pada kritik ini. Pengabaian argumen keagamaan menjadikan isu HAM kurang memiliki legitimasi moral di mata orang-orang beriman. Mereka akhirnya kurang merasa memiliki isu ini.
Sikap aktivis HAM yang melihat agama secara instrumentalistik, sekedar sebagai pemasok dalil-dalil pembenar saja, tidak menganggap pemikir agama sebagai partner yang serius dalam percakapan soal HAM, dikritik oleh Prof. Sachedina.
Yang saya suka pada Sachedina adalah profilnya yang ganda. Selain seorang sarjana yang mengajar di kampus modern (George Mason University di Virginia), dia juga seorang kiai/ulama yang berinteraksi dengan umat.
Posisi ganda seperti ini penting, membuat Dr. Sachedina paham dengan baik aspirasi umat dan konteks dunia sekular sekaligus.
Kita butuh sosok-sosok kiai-intelektual semacam Dr. Sachedina ini sebagai "jembatan" umat ke dunia modern. Di Indonesia, sosok semacam ini diwakili oleh tokoh seperti Kiai Husein Muhammad, Bunyai Nur Rofiah, Kang Faqih Abdul Kodir, Mbak Lies Marcoes, dll.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews