Jika kita menanti kerja-kerja Presiden dan Wakil Presiden 2019 - 2024, tuntutannya mungkin sederhana. Tegakkan hukum sebagai social religion kita tanpa kompromi.
Hingga sehari menjelang pelantikan Presiden Terpilih, soal pemenang sah Pilpres 2019, sebagaimana keputusan KPU dan dikuatkan oleh MK, masih saja ada yang menyangsikan. Sebagiannya menentang, dan bahkan menantangnya.
Sebagai negara berdaulat, Indonesia berdemokrasi baru sejak 1955 lalu. Setidaknya 10 tahun sejak proklamasi kemerdekaan kita baru mengadakan Pemilu. Tapi hingga kini, tetap saja tak berubah, setiap Pemilu berlangsung. Selalu saja kita dalam kondisi congkrah. Konflik berkepanjangan. Pertarungan antara PKI dan Masyumi di Pemilu 1955, tak kalah kasar dengan umpatan-umpatan di medsos hari ini.
Gus Dur pernah bilang, dalam demokrasi kita masih nak-kanak, masih TK. Bahkan mungkin, masih PAUD. Tapi jangan lupa Gus, sepeninggal sampeyan, anak PAUD pun bisa ikutan demo, bahkan sembari membawa bendera yang dipopulerkan HTI di Indonesia. Kalau kita masalahkan itu, kita balik dituding melecehkan agama.
Sejak Soeharto ambruk, maka pilar-pilar demokrasi, pilar-pilar kebangsaan, juga mengalami kerontokan, atau boleh dibilang kevacuman, kekosongan, kemandegan, atau kebingungan. Pembelajaran politik yang buruk selama Orde Baru Soeharto, menjadikan bangsa ini tidak memiliki pandangan kenegaraan dan kebangsaan yang kokoh. Partai politik ternyata hanya semacam usaha dagang, dengan kaum oligarkis yang sesongaran tapi tak memiliki konsep kebersamaan, kecuali bagi diri dan kelompoknya doang.
Di situ rancang bangun perubahan, di akhir kepemimpinan Soeharto, dan difasilitasi kebijakan politik yang lembek dari SBY, ormas-ormas dengan bendera keagamaan (Islam utamanya), semakin terlihat percaya diri. Kembali perdebatan mengenai 'tujuh kata dalam Preambule UUD 1945' menjadi wacana. Diskusi yang ternyata tak selesai sekalipun 1 Juni 1945 Sukarno menguncinya dengan Pancasila.
Diskursus sosial dan politik kita, kemudian mengeras ke nasionalisme dan agamaisme. Test case "mereka" yang nyata dimulai dari Pilkada DKI Jakarta 2017. Dengan tersingkirnya Ahok dan dimenangkannya Anies Baswedan. Meskipun embrionya bisa dilihat pada perlawanan atas nasionalisme yang menginti pada PDI Perjuangan, sebagai manifestasi Sukarnoisme, dan sosok Jokowi sebagai sasaran tembak dalam Pilpres 2014.
Pilpres 2019, dengan kandidat yang sama, menjadi representasi yang jelas antara kelompok kiri dan kanan itu. Tak ada jalur tengah. Berhadapan secara diametral. Jika pun ada kelompok SJW (Social Justice Warrior), mereka memiliki agenda sendiri. Asyik sendiri. Hingga tidak memiliki kepekaan dan prioritas agenda, kecuali ideologi utopisnya.
Sementara dalam beberapa sisi, kita acap memakai cara pandang mikroskopis. Nggede-gedein yang tak seberapa, justeru di jaman digital ini, di mana hatters adalah the good marketers. Kalau dibilang 19% ASN terbaui khilafah dan anti Pancasila, berapa jumlah ASN seluruh Indonesia? Demikian juga jika Tentara, Polisi, Dosen, Mahasiswa, sekian persen terkontaminasi paham khilafah, atau radikalisme, berapa jumlah mereka sesungguhnya di dalam 267 juta penduduk Indonesia Raya ini?
Tidak terbangunnya sistem sosial kemasyarakatan kita, membuat yang pinter bisa keblinger dan yang bener ra pener. Dari sisi kualitas SDM, tak sedikit manusia pintar Indonesia. Tapi buat apa jika outputnya sesuatu yang menyesatkan? Apalagi jika hanya sebagai agen funding kepentingan luar? Sementara yang bener, para SJW misalnya, juga belum tentu proporsional, karena acap memakai kacamata kuda. Tegak lurus dengan idealisme atau utopianismenya. Dan karenanya sering menjadi kuda tunggang dalam proxy war yang tak dimengerti.
Problem kita selama ini, adalah pemerintahan yang kompromis terhadap tekanan (majoritas). Hukum bisa diinterpretasikan masing-masing kepentingan. Sementara penyebab kedua, daya nalar bangsa yang lemah. Daya literasi rendah, padahal jumlah HP di negeri ini jauh lebih banyak dari penduduk Indonesia.
Jika kita menanti kerja-kerja Presiden dan Wakil Presiden 2019 - 2024, tuntutannya mungkin sederhana. Tegakkan hukum sebagai social religion kita tanpa kompromi. Tegakkan pendidikan secara independen, murni dan konsekuen. Tidak diinfiltrasi dengan agamaisme, yang justeru menjadikan dependen, eksklusive, intoleran, sektarian, rasis, primordial. Untuk menjadikan bangsa Indonesia bernalar dan mempunyai adab.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews