Refleksi Sebuah Corona

Di Republik ini, hidup saya urusan saya. Tidak seorang pun ingin mati terpapar Covid-19. Tidak juga ada yang ingin mati kelaparan.

Sabtu, 1 Mei 2021 | 11:27 WIB
0
92
Refleksi Sebuah Corona
Presiden Joko Widodo (Foto: Agus Suparto)

Sudah setahun lebih. Pandemi Virus Corona bukan hanya melanda dunia, melainkan juga Indonesia. Dari Kemenkes Republik Indonesia, waktu setahun tak ada perubahan. Ada tapi dikit.

Sekitar dua bulan lalu, di samping prokes 3M, ketambahan pemberitahuan soal cari dan buka informasi resmi mengenai Covid-19 itu. Tambahan lain; Tingkatkan imunitas tubuh. Setelah anggaran demi Covid-19 habis, atau mepet?

Selebihnya, secara rutin disodorkan data suspek, spesimen, kasus aktif, Kemenkes terus-menerus meneror dengan angka-angka. Yang positif tambah sekian, yang sembuh tambah sekian, yang meninggal tambah sekian.

Kalau yang positif 1,66 juta dan yang sembuh mencapai 1,52 juta, artinya apa? Cara mbacanya gimana? Dari jumlah itu, total yang meninggal 45.521 jiwa, karena apa saja dan artinya apa? 

Mereka yang ahli pandemi pasti tahu arti angka-angka itu. Apa penyebab dan akibat utama, dan apa yang disarankan. Jika melihat jumlah yang terpapar, yang sembuh, dan yang meninggal, segitu itu, sangat berbahayakah Covid-19?

Dengan segala maaf pada yang saudara atau orang terdekatnya meninggal karena Covid-19, saya tidak bermaksud menganggap enteng. Tapi, apa arti prokesnya, yang hanya 3M atau 5M itu?

Kalau benar prokes itu sahih (cuci-tangan pakai sabun, pakai masker, jaga jarak), kenapa harus pakai vaksin, yang mahal tapi masih tetap saja dibilang bukan jaminan?

Lantas untuk apa uang trilyunan bagi yang bukan jaminan itu? Dokter sendiri yang bilang, adanya vaksin bukan berarti masalahnya selesai.

Lantas selesainya di mana, dan gimana? Kalau masalahnya pada yang sakit dan yang meninggal, pangkal persoalan adalah pada ‘kualitas tubuh’ manusia itu.

Adakah penelitian yang terpapar karena apa? Yang meninggal karena apa? Karena Covid atau politisasi Covid yang pernah ditudingkan?

Pemerintah banyak melakukan larangan dan himbauan. Tapi apa kompensasi himbauan dan larangan itu? Karena larangan melakukan aktivitas manusia, bisa memunculkan akibat tidak sederhana.

Pemerintah sendiri kecipuhan, berapa bansos yang sudah dianggarkan, dikeluarkan, dan diberikan. Cek dari dalam rapat hingga dalam perut rakyat. Kalau terjadi nyelip, selain Jualiari Barubara siapa lagi yang brengsek?

Sebagai awam saya tidak paham. Senyatanya terus didengungkan gerakan 3M atau mungkin 5M, atau berapa M (anggaran untuk operasi Corona). Himbauan dan larangan tumpuk-undung, tumpang-tindih. Satu dan lain hal, bisa bertentangan. Acap kontradiktif, kadang penuh paradoks.

Aparat yang membidangi, kadang bukan hanya tidak adil, tapi juga tidak tahu tupoksinya. Apalagi ketika aturan itu hanya berpihak pada yang kaya, dengan dispensasi atau hukuman bisa diatur dengan membayar berupa duit.

Tapi senyampang itu, tak ada data terintegrasi dari daerah hingga pusat. Padal Jokowi bilang kita hidup di jaman revolusi teknologi 4.0.

Dan seterusnya. Banyak keluhan. Juli 2021 kelak, Negara baru bisa memvaksin 70 juta orang. Anggarannya sudah habis berapa, saya nggak ngerti. Ekonomi anjlok dan apa akibatnya, bagi negara dan rakyatnya, saya hanya bisa menduga-duga. Yang hidup dan matinya dijamin negara, tak ada alasan untuk cemas. Rakyat jelata yang bansos pun hanya mendengar dan melihat, tapi tidak pernah diberi, dan tidak pernah menerima?

Sementara cari nafkah di ruang publik dipersulit dengan alasan Covid-19, tetapi infarstruktur teknologi informasi dan komunikasi tidak dikembangkan. Pemerintah tidak menggunakan TVRI dan RRI sebagai official media, hingga TVRI malah berorientasi pada televisi swasta pun, bagi saya sangat menggumunkan. Direktur baru tapi akhirnya sama saja. 

Pada titik kritis tertentu, sebelum frustrasi sosial, saya hanya bisa meyakinkan diri saya sendiri. Mengutip berbagai pendapat sebagian kecil ahli medis, ahli farmasi, psikolog; Meski belum divaksin, saya percaya tubuh manusia itu sempurna. Hanya gaya hidup, juga pola konsumsi kita yang membuat kesempurnaan itu berkurang atau rusak.

Semua anak-anak saya, bekerja di ruang publik. Berhubungan dengan banyak orang. Mobilitas tinggi dari ruang, orang, wilayah. Saya cuma mengajak mereka hidup bersih. Berangkat mandi, pulang mandi. Pakai air hangat dan sabun (kan sabun dianggap paling ampuh membasmi virus? Kenapa vaksinasi, bukan sabunisasi?).

Konon virus corona mati kutu dengan alkohol berkadar 70%, kenapa tidak alkoholisasi?

Indonesia banyak tanaman herbal, potensi sebagai obat. Buat apa bikin Kemenristek, kalau mau bikin ‘minuman keras’ sudah dihadang pasal haram? Padal ‘minuman keras’ pengertiannya bukan minuman biasa, tetapi minuman yang mengandung obat?

Wine dari Perancis, adalah minuman fermentasi yang masuk ke Indonesia dengan bebas. Tapi mengapa untuk memberi ijin pada pabrik-pabrik minuman lokal, dengan teknologi fermentasi seperti di Bali, Makassar, Bekonang, Pati, Bandung, Aceh, NTT, Papua, bisa dimentahkan karena pasal haram-jadah?

Padal kadar alkohol dari minuman tradisional itu secara medis bisa menjadi pendorong daya imunitas tubuh? 

Para birokrat pemerintah dan ASN lebih suka memberi himbauan lewat virtual, dari ruang ber-AC, ruang yang sama-sama disukai virus. Itu pun saya tidak mendengar ajakan untuk melakukan gaya hidup baru dan pola konsumsi berimbang, yang mudah dan murah, beberapa gratis.

Apa coba uraian new-normal itu? Kalau imunitas tumbuh galak, memang ada yang dirugikan sih. Makanya di sisi lain, daya imunitas manusia juga merupakan ancaman bagi mereka yang lebih suka daya imunitas manusia punya ketergantungan.

Memang berat hidup di Indonesia. Mengritik dibilang benci. Tapi mencaci-maki mendapat tepuk tangan. Padal tepuk tangan dibilang Yahudi. Jadi, keputusannya; Saya patuh dengan prokes 3M, agar tidak ribet dan ribet dengan Satgas Covid-19.

Tapi, di Republik ini, hidup saya urusan saya. Tidak seorang pun ingin mati terpapar Covid-19. Tidak juga ada yang ingin mati kelaparan. 

@sunardianwirodono

***