Jadul yang Membanggakan

Jika semua tidak ada, ditatapnya langit-langit kamarnya. Dihitung berapa lama lagi kehidupan ini harus dijalani. Hidup yang begitu pahit, tapi mesti ditelan.

Selasa, 24 Maret 2020 | 16:17 WIB
0
152
Jadul yang Membanggakan
Mahasiswi membaca (Foto: weharthit.com)

Menginjakkan kaki pertama kali di Yogyakarta pada 1991. Status berubah. Dari siswa SLTA jadi mahasiswa. Mahasiswa, Broh....

Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun. Dan hidup itu tak seindah mimpi semalam. Terlebih ortu sudah keras kepala tak lagi bisa membantu. Itu adalah kode jika hidup harus dijalaninya sendiri.

Di dekat auditorium kampus dan tempat daftar ulang, ada pemandangan aneh. Ada sederet mahasiswa memajang mesin ketik. Di dekatnya, dijual stopmap, pensil 2B, penghapus, metrei, dan beberapa alat tulis.

Begitu sudah lengkap digelar, pemiliknya menghampiri para mahasiswa yang sedang mengantre. Dengan lantang, mereka berteriak, "Ketik kartu mahasiswa. Ketik KRS. Ayo... Ayo..."

Satu dua mahasiswa yang sudah selesai membayar SPP terlihat menyerahkan blangko kartu mahasiswa dan KRS. Dengan wajah ceria, dokumen itu dibawanya ke lapak.

Sambil duduk lesehan, kartu mahasiswa dan KRS itu diketik sesuai isi dokumen. Tidak boleh salah. Jika salah mesti diperbaiki dengan tipex kertas.

Usai dikerjakan, dokumen itu diserahkan kepada pemiliknya. Dokumen berpindah tangan. Lalu, selembar uang 500 diberikan. Dengan wajah suka cita, diterimanya uang itu. Tak lupa tentu diucapkannya terima kasih.

Jika betah menahan panas, sehari minimal uang 5000 bisa masuk kantong. Proses daftar ulang sekitar seminggu. Artinya, paling tidak uang 30.000 bisa diraih nya. Jumlah yang sangat banyak.

Makanan mahal bisa dibelinya. Juga kadang baju bermerk. Sekadar bergaya karena juga ingin tampil muda. Ditambah sebotol parfum. Hem....

Sayang seribu sayang. Momen itu hanya terjadi dua kali setahun. Registrasi mahasiswa baru dan daftar ulang mahasiswa senior. Dua momentum yang sangat ditunggunya. Pada kedua momen itu, kantongnya tak hanya berisi angin.

Jika pesta sudah usai, kembali kehidupan asli dinikmati. Puasa Senin Kamis dijalani. Buka puasa dengan nasi lauknya sambal dan kerupuk.

Atau sesekali berdoa, semoga ada undangan tahlilan. Karena ngajinya lancar, biasanya disuruh memimpin doa. Dan ini adalah rezeki mewah. Karena pasti ada oleh-oleh yang bisa dibawa pulang ke kos-nya. Lumayan, ada secuil ayam di situ.

Jika semua tidak ada, ditatapnya langit-langit kamarnya. Dihitung berapa lama lagi kehidupan ini harus dijalani. Hidup yang begitu pahit, tapi mesti ditelan. Mau tidak mau, ini adalah jatah hidupnya. Hingga nyanyian pusar itu membangunkan agar segera ke kampus. Di sana, perutnya bisa diisi dengan sendau gurau. Sedikit bisa menghilangkan rasa perih yang menyayat.

***