Agama, Inti Sel yang Terbelah

Inti sel manusia itu satu kasih sayang, sebab dengan kasih sayang kecemberuan akan menyurut, kebencian akan lenyap dan persahabatan terjalin.

Rabu, 30 Oktober 2019 | 18:18 WIB
0
238
Agama, Inti Sel yang Terbelah
Ilustrasi toleransi beragama (Foto: detik.com)

Mulanya hanya satu sel inti ajaran agama. Setelah manusia berkembang biak maka pembelahan itu tidak terbendung. Dalam setiap individu manusia membelah sel-sel menjadi jutaan bahkan milyunan. Manusia hidup dengan rupa- rupa sifat dan karakter yang beda satu sama lain. Tidak ada yang sama persis. Padahal awal mulanya manusia berasal dari satu sel inti.

Ketika dalam perkembangan peradaban muncul agama, kepercayaan berdasarkan ajaran wahyu muncul agama Kristen. Kristen adalah kepercayaan berdasarkan ajaran- ajaran kristus. Mereka mengimani dan menjalankan ajaran- ajaran kristus sebelum meninggal disalib oleh karena pengkianatan Yudas Iskariot, serta nafsu kekuasaan, radikalisme kepercayaan orang–orang Yahudi.

Kristen pun tidak kuasa menolak pembelahan dan datanglah era kegelapan ajaran yang banyak diselewengkan dan ditafsirkan beda oleh manusia- manusia penggila kekuasaan dan penggila kesucian sampai harus mengorbankan relasi manusia dengan manusia lain.

Pembelahan, perbedaan pemahaman tidak terbendung sehingga melahirkan konflik yang berkepanjangan. Ada yang memberontak ada yang tidak terima inti sel ajaran diluluhlantakkan oleh nafsu berkuasa manusia. Tetapi kekacauan tetap terjadi karena manusia salah memahami ajaran manusia.

Selanjutnya muncul Islam adalah pencerahan dari kehadiran bidaah- bidaah yang tidak bermoral, kekacauan ajaran agama dan kejinya pada bidaah memunculkan nabi baru yang hendak meluruskan inti ajaran agama. Tetapi semakin berkembang agama baru muncul pemahaman baru, yang akhirnya menjauh dari inti sel itu sendiri. Saling serang, saling ejek dan saling klaim kebenaran melahirkan kejahatan luar biasa. Padahal semua mengaku beragama.

Inti ajaran agama sebetulnya satu cinta kasih. Namun banyak manusia memperlakukan beda “cinta kasih tersebut”. Kasih bukan miliknya, bukan milik mereka yang tidak sepaham dengan kita. Kamu itu kamu bukan kita. Cinta kasih itu memilih karena manusia akan didoktrin oleh sebuah perasaan ah dia jelek, dia tidak cantik, bawel, ambyar cinta kasih itu pemilih( menurut segelintir orang, tetapi kalau dikalkulasi menjadi jutaan bahkan milyaran).

 Sepemahaman penulis agama tidak lagi bisa menjadi penjamin perdamaian. Bahkan sekarang ini mau tidak mau harus mengakui bahwa agama adalah sumber perpecahan, peperangan, dan sumber tragedi berdarah.

Apa sih sebenarnya yang dimaui agama? Dari satu sel inti kemudian saling membelah dan akhirnya berbenturan cara memaknai kasih sayang, memaknai surga dan neraka dan apa sih sebenarnya yang boleh dan tidak boleh dilakukan ketika manusia khusuk menjalankannya.

Kadang yang tidak beragama, terutama mereka yang hidup di hutan lebat, tidak tersentuh peradaban, terkucilkan dari informasi masih bisa melakukan kehidupan harmoni, selaras dengan alam semesta. Mereka mempraktikkan cinta kasih tanpa banyak acuan teori, referensi. manusia–manusia nir agama itu sangat mengerti bagaimana memupuk kerukunan, saling bekerja sama bergotong royong dala melewati suka dan duka. Seperti koloni semut yang terus berbaris rapi, menjijing makanan dengan kerja sama luar biasa.

Manusia? Dan sampai saat ini terus memelihara dendam, kebencian menggelegak akibat perbedaan agama. Bahkan pada sesama satu pemeluk agama saling sindir, saling melontarkan olok- olok karena pemahaman ajaran agama tidak sejalan.

Inti selnya sama tetapi tafsir- tafsir yang berkembang tergantung lingkungan, etnis, dan mazhab. Hingga akhirnya tafsir- tafsir itu melahirkan perbenturan dan perbenturan itu melahirkan orang orang berpikiran liberal, ada yang moderat dan ada yang visioner sampai banyak kaum beragama mempunyai dunia sendiri untuk mentahbiskan diri sebagai wakil Tuhan di dunia.

Penulis kadang tidak habis pikir: Ketika manusia bersimbah darah, tubuh hancur dan otak tercuci oleh pemahaman fanatik agama maka kehidupan relasi agama perlu dipertanyakan. Apakah agama hanya dijadikan pengisi kolom, membuat manusia penuh kemunafikan berteriak- teriak tentang siapa yang paling suci, paling sempurna untuk masuk dalam lubang jarum surga.

Inti sel manusia itu satu kasih sayang, sebab dengan kasih sayang kecemberuan akan menyurut, kebencian akan lenyap dan persahabatan terjalin. Sayangnya manusia dipenuhi ego, dipenuhi kesombongan yang dibawa semenjak lahir. Kesombongan utama karena dengan berdoa menganggap bahwa ia boleh mengklaim surga.

Kesombongan kedua adalah menganggap dirinya sendiri bahwa pasti akan menjadi anak tersayang jika ia mampu mendirikan yayasan apapun untuk menolong sesama manusia. Dengan beramal ia akan mendapat tiket otomatis ke Surga? Siapa yang menjanjikan?

Kesombongan ketiga: manusia merasa lebih dari makhluk lain sehingga merasa sebagai manusia unggul mereka menggunakan otak, rasa dan kecerdasannya untuk merendahkan nilai- nilai moralitas orang lain, apalagi lebih - lebih kepada mereka makhluk lain yang tidak berakal dan berbudi.

Banyak manusia beragama lebih biadab dari mahkluk yang menjalani hidup hanya berdasarkan naluri. Mengaku beragama tetapi tega memenggal dan menanam penderitaan kepada makhluk lain. Apakah manusia biadab benar- benar mengetahu inti agamanya? jika memenggal dengan enteng dilakukannya.

Manusia memang unggulan dan berhak menaklukkan makhluk lain tetapi apakah keyakinan, ajaran dan tafsir membuat manusia menjadi makhluk keji yang bisa melenyapkan mereka yang beda keyakinan.

Ah Semakin membelah manusia menjadi jauh dari inti sel ajaran agamanya sendirinya yang harusnya berdengung suara perdamaian dan saling menghargai sesama makhluk hidup. Kapan manusia menyadarinya dan mengungkap pertobatannya.

Ah, penulis sendiri pesimis mampu memahami inti ajaran agama seutuhnya. Berdoa saja belum cukup, semakin berdoa serasa semakin tenggelam dalam api pencobaan.

Salam damai selalu.

***