Hidup Itu Indah

Hidup itu sebenarnya indah, sekiranya tidak kau buat jelek.

Rabu, 18 September 2019 | 16:23 WIB
0
232
Hidup Itu Indah
Hidup itu indah (Foto: passtheaux.co)

Dalam semalam, saya bertemu tiga orang baik. Kebetulan saja, mereka beragama Islam, Katholik, dan Kristen Protestan. Tak ada hubungannya cerita ini dengan agama. Tapi mumpung hari Jumat, hari kutbah nasional, untuk mengganti hari dema-demo yang kehilangan investor. Saya ingin sedikit mengait-kaitkannya. Sedikit saja. Nggak usah baper, kayak ketemu Surya Paloh saja.

Apa pasal? Tak ada pasal. Apalagi pasal belinghaljo atau pun salkem. Orang baik mah, baik saja. Tidak diperlukan KTP dengan kolom agama, atau SKKT dari Kepolisian. Karena urusan agama adalah urusan privat. Kebaikannya hanya bisa dilihat dari manifestasinya dalam kehidupan dunia. Dalam kesehariannya. Dalam perilaku dan sikapnya.

Bagaimana ia menjalin relasi dengan manusia, akan menjadi ukuran penting. Bukan melulu diukur hubungan dengan yang di atas. Apalagi jika tuhan maha di mana saja, ia bisa juga di bawah. Bukan sebuah kehinaan. Sebagaimana ada adagium sorga di bawah telapak kaki Ibu. Kenapa bukan di atas ubun-ubun Ibu? Siapa yang membuat ungkapan itu? Bagaimana logikanya bisa ketemu kalimat seperti itu? Kenapa tidak dituding pelecehan sorga? Takut kena semprot the power of emak-emak?

Bukan status yang membuat orang itu mulia. Mau emak-emak, bapak-bapak, eyang-eyang, kalau cebong mah cebong saja. Sebagaimana kalau kampret juga kampret saja. Toh sampai kini ujaran kebencian juga tetap marak. Tak gentar UU-ITE bisa begitu kejamnya, bahkan kepada korban seperti Baiq Nuril. Dan Mahkamah Agung yang tidak sensitive jender, merem saja karena yang ditangani cumalah data, bukan soal kemanusiaan.

Berkali-kali saya suka mengutip Ali bin Abi Thalib, soal bagaimana manusia adalah makhluk yang ajaib, saking tak bisa dipercaya. Karena dibilang paling mulia sebagai makhluk ciptaan tuhan, senyatanya sering sama sekali tidak tercerminkan.

Maka dalam kutbah kali ini, saya ingin pastikan pada Anda, Jemaah rahimmakumullah. “Kamu tidak akan masuk surga, kecuali kamu punya keyakinan kepada Allah. Dan keyakinan kamu tidak akan komplit, kecuali kamu mencintai sesama manusia,” demikian ngendika Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim.

Kok beda dengan yang diujarkan Neno Warisman, dan orang-orang sebangsanya? Yah, itu beda tafsir karena beda capres saja. Kalau menurut kelompok ini, yang milih Jokowi masuk neraka.

Haduh, kayak tukang parkir ngatur-atur kendaraan orang. Padahal, sampai atau tak sampai tujuan, bukan kekuasaan tukang parkir. Juga bukan urusan apakah jenis kendaraannya dari negeri setan atau negeri allah.

The smallest minority on earth is the individual. Those who deny individual rights cannot claim to be defenders of minorities, begitu tulis Ayn Rand. Minoritas terkecil di bumi adalah individu. Mereka yang menolak hak individu, tak dapat mengklaim sebagai pembela minoritas. Apalagi mereka yang tukang pemberi stempel seenak jidatnya. Coba kalau jidatnya ditampolin stempel. Mau?

Hidup itu sebenarnya indah, sekiranya tidak kau buat jelek.

***