Membongkar Irasionalitas Menjelang Suksesi

Jumat, 15 Februari 2019 | 23:38 WIB
0
460
Membongkar Irasionalitas Menjelang Suksesi
Irational Image

Irasional dalam arti sederhana adalah tidak rasional atau tidak dapat diterima dengan akal budi karena ada kesenjangan hubungan sebab-akibat dalam cara berpikir dan cara berbicara. Sebagai contoh, marah tanpa sebab merupakan sesuatu yang irasional. Propaganda hoaks merupakan sesuatu yang irasional.

Dalam dunia filsafat misalnya, adalah irasional kalau ilmu filsafat digunakan sebagai corong untuk memoles hoaks seolah-olah benar-benar terjadi.  Atau dalam dunia politik, merupakan irasional kalau isu SARA begitu kuat dimainkan, sementara tujuan politik yang sebenarnya adalah untuk mencapai kesejahtaeraan bersama. Kesejahteraan bersama ini hanya mungkin kalau semuanya benar-benar bersatu.

Reza A.A. Wattimena dalam sebuah tulisan yang berjudul Menimbang Irasionalitas, menguraikan konsep yang menarik tentang irasionalitas. Reza memperlihatkan irasionalitas sebagai sebuah cara berpikir dan sikap hidup yang tak sejalan dengan kepentingan dasariah manusia.

Lanjutnya lagi, ada dua kepentingan dasariah manusia. Yang pertama adalah kepentingan pelestarian diri. Yang kedua adalah kepentingan untuk mewujudkan kebaikan bersama yang secara langsung terkait dengan kepentingan pertama sebelumnya.

Berdasar pada dua kepentingan dasariah manusia di atas, irasionalitas seseorang dapat diukur. Belakangan, irasionalitas berarti cara berpikir dan cara bertindak yang menyimpang dari dua kepentingan dasariah di atas.

Yang pertama, kepentingan pelestarian diri. Melestarikan diri berarti menjaga dan menimbang pola pikir, hati nurani, perasaan dan perilaku dalam hidup bersama. Di sini, konsep pelestarian lebih diri erat kaitanya dengan yang lain, dalam usaha bersama untuk memajukan martabat manusia dan kepentingan bersama. Karena itu melestarikan diri selalu berarti melibatkan yang lain, bukan bertindak sendiri apalagi semena-mena.

Yang kedua, kebaikan bersama. Menurut Aristoteles, politik merupakan ruang dan aktivitas untuk mencapai kebaikan tertinggi yakni kebahagiaan. Konsep ini, oleh Aristoteles disebut eudaimonia. Di sini, Aristoteles sebenarnya ingin memperlihatkan bahwa politik merupakan corong dari idea-etis untuk mengungkapkan dirinya di tengah masyarakat manusia.

Lantas, apa kaitannya irasionalitas dengan dua kepentingan dasariah di atas?

Pertama-tama, saya mengajak anda untuk mencermati fenomena politik yang terjadi belakangan ini. Kalau kita mengikuti betul, kita akan menemukan fakta saling menuding, saling mendiskreditkan, saling nyinyir, ujaran kebencian, hoaks dan berbagai fenomen miris lainnya.

Menariknya adalah, fakta dan situasi seperti di atas, justru terjadi di tengah bangsa ini dalam suasana demokrasi menjelang pemilu. Irasionalitas nampaknya begitu kuat terkait adanya pihak tertentu yang lebih mengutamakan pelestarian dirinya dengan cara yang ditempuh adalah melemahkan pihak lain dengan berbagai cara irasional.

Fakta saling tuding menuding bahkan terhadap eksistensi bangsa pun ikut dimainkan. Berbagai rasionalisasi defensif entah filosofis maupun politis dilancarkan dengan kesan yang lebih kuat untuk menampakkan popularitas diri sebagai pemikir dan praktisi.

Jabatan-jabatan pun dipakai sebagai alasan untuk membenarkan begitu saja alasan-alasan politis. Bahkan pihak oposisi, terkesan memandang pemerintah sebagai musuh yang harus dimusnahkan. Fenomen seperti ini dapat diukur dari berbagai aksi hypercritical yang selalu menempatkan pemerintah sebagai kesatuan yang selalu tak berdaya.

Yang kedua, Kepentingan bersama. Untuk mencapai kepentingan bersama, saratnya adalah partisipasi yang aktif dan sadar dari setiap warganegara. Partisipasi yang aktif dan sadar berarti seluruh potensi, tenaga dibaktikan untuk kepentingan bersama.

Menurut Aristoteles, Habermas dan Hannah Arendt, ruang dan aktivitas untuk mencapai kepentingan bersama ini adalah politik. Ketiga pemikir ini sesungguhnya disatukan dalam apa yang saya sebut sebagai rasionalitas kemanusiaan. Rasionalitas kemanusiaan berarti manusia dan segala kepentingannya, mampu dideskripsikan dan ditata secara bijaksana, agar tidak saling merugikan dan mengabaikan.

Aristoteles mengemukakan dua jenis keutamaan yakni keutamaan intelektual dan keutamaan. Kedua keutamaan ini merupakan basis yang kuat dan terutama dalam kehidupan bersama untuk mencapai kebahagiaan. Habermas mengemukakan tentang ruang publik sebagai media bagi setiap insan untuk membangun interaksi sosial dengan komunikasi intersubyektif.

Hannah Arendt mengemukakan tentang perlunya hati nurani yang tidak tumpul dan cara berpikir yang tidak malas untuk mencermati segala realitas sosial yang mengitari hidup manusia.

Mencermati uraian tentang pemikiran ketiga filsuf ini, kiranya jelas bahwa kepentingan bersama erat kaitannya dengan keutamaan-keutamaan, bukan kebencian dan hoaks, komunikasi yang intersubyektif, bukan saling menuding dan menghakimi, hati nurani yang tidak tumpul dan cara berpikir yang tidak malas, bukan saling mencatut, iri dengki, dan cara berpikir mengkambinghitamkan orang lain.

Sebagai catatan akhir, mari kita rumuskan akar-akar dari irasionalitas. Yang pertama, tumpulnya hati nurani. Hati nurani yang tumpul menyebabkan orang tidak memandang yang lain sebagai sesama. Ini irasional. Berbagai situasi yang mengitarinya pun selalu dipandang dan dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain.

Yang kedua, malas berpikir. Malas berpikir adalah akar dari segala irasionalitas. Ketika Hannah Arendt menyaksikan seorang Eichman yang merasa biasa-biasa saja setelah diadili karena membunuh banyak orang dalam peristiwa NAZI Jerman, Arendt menyimpulkan bahwa fenomen seperti itu terjadi karena Eichmann malas berpikir. Kemalasan berpikir ini disebabkan oleh ketumpulan hati nurani.

Yang keempat, motif kebencian dalam komunikasi. Komunikasi sering dipakai sebagai corong untuk mengumbar kebencian atau ujaran kebencian. Kita bisa menilai posisi bathin seseorang berdasarkan rumusan kata-kata dan konsep yang diungkapkannya. Di sini, komunikasi yang menggunakan kata-kata semisal, dungu, sontoloyo, dan kata-kata mirisnya lainnya, merupakan contoh bagaimana komunikasi menghadirkan kebencian. Menurut Habermas, komunikasi seperti ini bukan komukasi intersubyektif. Komunikasi intersubyektif merupakan suatu pola komunikasi di mana kedua subyek tidak saling mendiskreditkan.

Yang ketiga, homo homini lupus. Istilah dikemukakan oleh Filsuf Thomas Hobbes. Walaupun konteks asli muncul isitilah ini adalah konteks perang tetapi kiranya ada makna yang berharga yang dapat dipetik. Bahwa ketika diantara manusia saling memandang saling lawan yang perlu dimusnahkan, berbagai cara dapat ditempuh entah ujaran kebencian, saling mengkambinghitamkan, saling mendiskreditkan, saling diskriminasi dan berbagai saling lainnya. Semuanya ini irasional.

Sebagai ajakan demokratis terhadap para pemikir, praktisi, generasi muda, dan masyarakat pada umumnya, mari kita membongkar irasional menjelang suksesi dan membangun ulang rasionalitas kemanusiaan demi memanusiakan politik, demokrasi dan pemilu.

*** 

Sumber:

1, 2, 3, 4, 5, dan 6