Politik, Demokrasi dan Keadilan di Indonesia

Politik para mafia bermain di belakang layar, serta menciptakan keresahan besar di masyarakat. Inilah tanda mental feodal-korup yang masih hidup nyaman di alam demokratis sekarang ini.

Minggu, 15 September 2019 | 20:35 WIB
0
287
Politik, Demokrasi dan Keadilan di Indonesia
Ilustrasi (Foto: Rumahfilsafat.com)

“Tugas menyedihkan dari politik”, demikian tulis Niebuhr, pemikir asal Amerika Serikat, “adalah untuk mewujudkan keadilan di tengah dunia yang penuh dengan dosa.”

Itulah pergulatan Indonesia di pertengahan September 2019, ketika persoalan Komisi Pemberantasan Korupsi mengundang kontroversi besar di masyarakat. Banyak pihak yang merasa, bahwa ketidakadilan besar telah terjadi. Masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia pun kini dipertaruhkan.

Di abad click bait ini, dimana berita-berita sensasional dijual begitu cepat dan laku, media pun menggoreng isu tersebut besar-besaran. Semua sudut dianalisis. Semua tema sensitif diangkat ke permukaan. Semua dilakukan secara terus menerus demi memperpanas keadaan, dan memperoleh keuntungan finansial.

Alhasil, masyarakat semakin resah. Keresahan pun dibarengi dengan rasa tak berdaya. Di tengah pemerintahan yang mengaku demokratis, rakyat justru merasa tak berdaya. Inilah salah satu ironi politik terbesar di Indonesia.

Politik yang Sejati

Beberapa hal kiranya perlu diperjelas. Politik yang sejati berkisar dua hal, yakni membangun tatanan sosial yang adil untuk kebaikan bersama. Demokrasi berusaha memastikan, bahwa hal ini terjadi. Pemahaman tentang keadilan, sekaligus penerapannya, memiliki peran penting disini.

Di dalam sepak terjang para mafia politik, yang kerap kali mengaku pejabat negara ataupun wakil rakyat, keadilan adalah isu yang tak relevan. Pun jika ada, keadilan hanya menjadi persoalan bagi-bagi proyek hasil korupsi. Keadilan dan kebaikan bersama menjadi konsep asing yang nyaris tak terdengar. Inilah salah satu masalah terbesar di dalam politik Indonesia.

Persoalan keadilan menjadi semakin kabur, ketika agama dipolitisasi. Agama digunakan untuk menggiring suara rakyat di dalam politik. Agama juga dipergunakan untuk memecah belah rakyat. Keadilan pun dipelintir menjadi keadilan kelompok mayoritas belaka, sekaligus diskriminasi dan penindasan terhadap kelompok agama minoritas.

Demokrasi di Indonesia

Dalam hal ini, ada empat hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tradisi demokrasi di Indonesia masih amat lemah. Sistem modern yang ada tidak dibarengi dengan perkembangan budaya. Yang terjadi kemudian adalah sistem negara demokrasi modern, lengkap dengan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, namun mental pelaksananya masih pola kerajaan dari masa lalu.

Dua, inilah yang disebut mental feodal. Mental ini membuat orang gila hormat, dan gemar melakukan penindasan. Orang menjilat untuk meningkatkan karirnya, sekaligus menindas para pesaing yang mungkin lebih baik darinya. Kaidah demokrasi dan politik modern diabaikan demi mencapai kekuasaan politik yang sifatnya amat sementara dan rapuh.

Tiga, keadilan pun menjadi korban, ketika feodalisme justru menjadi jantung hati demokrasi. Proyek dikucurkan bukan untuk kebaikan bersama, namun untuk korupsi bersama. Lembaga penegak hukum justru menjadi pelindung para koruptor. Ketika ini terjadi, demokrasi dan keadilan hanya tinggal nama indah, tanpa isi yang berarti.

Empat, ketika feodalisme dan korupsi menjadi jantung demokrasi, maka kepentingan rakyat akan dikesampingkan. Dalam jangka panjang, ini menciptakan keteladanan politik yang buruk. Rakyat seolah menjadi penonton pasif di dalam panggung politik mafia yang penuh kebusukan. Ini tentunya menciptakan ketidakpedulian politik besar yang justru merupakan tanda akhir dari demokrasi itu sendiri.

Beberapa Kemungkinan

Beberapa hal kiranya bisa dilakukan. Pertama, budaya demokratis harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional secara menyeluruh. Keluarga dan masyarakat luas pun harus menerapkannya. Pola pendidikan yang berpijak pada kepatuhan dan hafalan buta harus dibuang jauh-jauh. Mengikuti pandangan Humbolt, bapak pendidikan Jerman, sikap kritis, berani dan kreatif harus menjadi jantung hati pendidikan Indonesia, baik di keluaga, sekolah maupun di dalam masyarakat.

Dua, budaya egaliter juga perlu dikembangkan. Manusia berkedudukan setara, baik di hadapan hukum, politik maupun agama. Para pemimpin politik harus juga menerapkan hal ini, sekaligus menjadi teladan bagi masyarakat luas. Mental gila hormat dan menindas bawahan harus sungguh dilenyapkan dari politik demokratis di Indonesia.

Tiga, dengan dua hal di atas, maka keterlibatan masyarakat di dalam politik bisa semakin nyata. Keterlibatan tersebut ditandai sikap adil dan kritis untuk kebaikan bersama. Keterlibatan politik dan keadilan adalah jantung hati demokrasi modern yang sejati. Ini hanya bisa dibangun lewat pendidikan bermutu di semua bidang kehidupan, sekaligus keteladanan nyata dari semua pemimpin masyarakat.

Sebenarnya, kisruh soal KPK di pertengahan September 2019 ini menyingkap persoalan demokrasi yang lebih mendasar. Politik para mafia bermain di belakang layar, serta menciptakan keresahan besar di masyarakat. Inilah tanda mental feodal-korup yang masih hidup nyaman di alam demokratis sekarang ini. Sudah waktunya mental semacam ini dibuang jauh-jauh dari Indonesia.

***