Menyontek Pun Tetap Butuh Wawasan

Kamis, 10 Januari 2019 | 21:58 WIB
0
707
Menyontek Pun Tetap Butuh Wawasan
Debat Capres-Cawapres (Foto: Koran Jakarta)

Saya kemarin berjanji untuk memaparkan percakapan saya dengan Margarito Kamis, salah seorang Panelis Debat Capres perdana topik Hukum, HAM, Korupsi dan Terorisme mengenai isu-isu terkait debat Capres. Misalnya, soal pembocoran materi debat seminggu sebelum debat dilaksanakan.

Media massa dan di internet menyebut hal itu berarti KPU memberi "contekan" pada kandidat. Hal itu dicemooh akan menghasilkan Capres "penghapal" jawaban pertanyaan debat dan mendegradasi kualitas debat Capres. Banyak lagi penilaian sejenis yang tidak saya sebut satu per satu.

Saya sendiri bersikap tidak keberatan dengan langkah KPU itu karena alasan yang bersifat pribadi. Selaku dosen, rata-rata ujian yang saya adakan berbentuk take home test yang karenanya, soal diberikan terlebih dahulu dan mahasiswa bebas membuka catatan dan buku.

Apakah tes semacam itu gampang? Belum tentu! Itu tergantung bagaimana soal disusun sehingga mampu menguji "pemahaman"dan bukan hapalan.

Saya ingat dulu sewaktu S2, dosen teori-teori komunikasi saya, Prof Alwi Dahlan, mengadakan ujian di kelas dan mahasiswanya diperbolehkan membuka buku. Beliau menyatakan, "Silakan saja anda membuka buku. Toh, kalau Anda tidak memahami esensi teorinya, anda akan sulit menjawab juga."

Jadi, "menyontek" itu juga bukan suatu perbuatan sederhana. Dia tidak sekedar menulis apa yang tertuang di buku, tetapi membutuhkan wawasan atau pemahaman atas pertanyaan dan materi yang ada dalam bahan bacaan "contekan". Pengalaman melakukan take home test membuktikan bahwa tidak semua mahasiswa mampu menjawab sesuai dengan jawaban yang saya harapkan.

Dan jika Anda seorang dosen, Anda pasti memiliki pengalaman bahwa, meski tidak semua, banyak makalah presentasi mahasiswa yang kutip sana, kutip sini tanpa alur yang bersifat substantif sesuai target materi perkuliahan. Bahasanya pun aneh-aneh, bahasa buku banget. Kalaupun berbentuk power point, berlaku apa yang dikatakan Rocky Gerung, banyak mereka yang menggunakan point justru tidak punya point, hehehehe.

Mengapa bisa terjadi demikian? Di sinilah pentingnya kita sedikit membahas soal konsep "Functionaly Illiterate" (Buta aksara fungsional) yang menurut Wikipedia diartikan sebagai sebutan yang digunakan untuk menjelaskan kemampuan membaca dan menulis yang belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Hal ini sama dengan buta aksara dalam arti terbatas, yang berarti ketidakmampuan untuk membaca atau menulis kalimat sederhana dalam bahasa apapun.

Kondisi Mayoritas

Saya lantas ingin mengutip sebuah tweet dari Bank Dunia, 6 Juni 2018 lalu yang menyatakan, "Di bidang pendidikan, Indonesia telah mencapai kemajuan besar dalam kuantitas. Tapi masih banyak kekurangan dalam mutu.Sekitar 55% penduduk Indonesia kemampuan membacanya masih terbatas - bisa membaca tapi mungkin sulit mengerti apa yg dibaca” ~Frederico.

Temuan yang merupakah ikhtisar dari World Bank’s Indonesia Economic Quarterly Report edisi Juni 2018 memang cukup menggelisahkan. Dalam publikasi tersebut, terdapat sebuah figur yang berjudul “Most Indonesians are functionally illiterate”, Dalam figur yang datanya diambil dari PISA 2015 itu disebut, kemampuan membaca terbagi menjadi 6 kategori, dengan level 1 sebagai level terendah, dan level 6 sebagai level tertinggi.

Dilihat dari figur yang dimuat Bank Dunia, mayoritas masyarakat Indonesia (55%) hanya menempati level 1. Tidak perlu muluk-muluk membandingkan dengan negara-negara OECD, dibandingkan dengan negara tetangga kita saja, Vietnam, kita masih jauh tertinggal. Mayoritas rakyat Vietnam memiliki kemampuan membaca pada level 2 dan 3, dan hanya 13.9% yang “tertinggal” pada level 1.

Mayoritas rakyat kita, bisa membaca, tapi tidak mampu mengambil pemahaman dari apa yg dia baca sehingga wawasan analisa permasalahannya rendah!

Dalam sebuah tulisan di medium.com, Gianina Amadira membandingkan laporan Bank Dunia itu dengan “Survey of Adult Skills”, sebuah program yang dilaksanakan OECD yang bertujuan untuk memetakan kemampuan orang dewasa di berbagai negara dalam 3 hal; literasi, kemampuan berhitung, dan problem solving. 

Survey dilaksanakan di Jakarta, dari bulan April 2014 hingga Mei 2015, dengan 7.229 responden berusia 16 sampai 65 tahun. Dalam penelitian ini, kemampuan literasi orang dewasa dibagi menjadi 6 level, yaitu level 1–5, dan below level 1 atau dibawah level 1, Hasil survey OECD itu cukup memprihatinkan untuk ukuran warga Jakarta yang merupakan ibukota kita.Hasil penelitian menyebut, 70% dari responden di Indonesia memiliki kemampuan literasi pada level 1 dan dibawahnya (below level 1), presentase yang sangat besar dan paling besar diantara negara-negara lain yang disurvey.

Proporsi terbesar (32.1%) berada dalam kategori below level 1, dimana orang dewasa yang masuk ke dalam kategori ini hanya mampu membaca teks singkat dengan topik yang familiar baginya, dan hanya mampu menangkap satu buah pesan atau informasi dari teks tersebut. Untuk menyelesaikan tugas yang diberikan pada level ini, hanya dibutuhkan perbendaharaan kata yang sederhana, dan pembaca tidak harus mengerti struktur dari kalimat atau paragraf yang diberikan.

Hanya 5.4% responden di Jakarta yang menempati level 3, dan hanya 1% yang menempati level 4 atau 5. Dengan hasil tersebut, Indonesia menempati posisi buntut dari 33 negara yang disurvey.

Saya kira, dari pembicaraan saya ini, Anda semua sudah mengira ke arah mana maksud tulisan ini ya?

Intinya adalah, kalaupun kandidat Capres diberikan soal bocoran, kemudian tim sukses menyiapkan jawaban, kita masih akan bisa menilai isi kepala si Capres dan sejauh mana tingkat literasinya memahami bahan dari tim sukses.

Dalam mekanisme debat yang disusun nanti, tingkat kesulitannya masih ada sehingga bisa memicu grogi Capres yang tak berwawasan karena; MENYONTEK PUN BUTUH WAWASAN.

***