Adios Atheos

Para pewarta ateisme mutakhir ini, mendiang Hawking dan Hitchean serta yang gigih Harris dan Dawkins, menurut Gray merupakan penganut ateisme kontemporer yang menganjurkan "penerbangan dari dunia tanpa Tuhan."

Kamis, 12 Agustus 2021 | 08:38 WIB
0
157
Adios Atheos
Ilustrasi

Apakah ateisme itu sebuah agama? Atau, kompartemen kompetitor agama (baru)?

Sejak kapan ateisme tumbuh? Pertanyaan ini bukan menjawab hakikat ateisme sebagai suatu ideologi dan kepercayaan(faith). Ateisme adalah keniscayaan sejarah. Ia tumbuh seiring tumbuhnya teisme. Hanya saja, sejarah ateisme mutakhir berkembang sejak mitos dengan kekuatan rasio(logos) disingkirkan dari sejarah kosmosentris.

Ketika antroposentis telah memandu sejarah peradaban melalui kampiun logosentrisme Yunani, terlebih dari kalangan Stoicism di antaranya Thales dan Phitagoras di abad ketiga sebelum masehi. Produk rasio antroposentris ini via era Stoisisme langsung mengusung dua kampiun rasionalisme, Plato dan Aristoteles.

Dari keduanya, potensi ateisme berkembang memasuki produk utama dan mutakhir dari antroposentris: scire, scientia, science(sains).

Sejak itu, sains menjadi maskot dan kompas peradaban yang diadopsi di timur(Alexandria) dan di Barat(Eropa).

Menelisik jauh dalam sejarah sains, dari John Gray bisa ditahbiskan bahwa ateisme adalah anak kandung sains.

Meski populasi penganut ateisme di bawah 10% dari 83% penganut teisme(Fuentes,2018), rata-rata para ateisme itu dianut para sainstis dengan populasi dunia di bawah 0,3% atau bahkan di Indonesia tumbuh di bawah 2%. Sebut saja di antara para kampiun penganut Marx, Nietzsche, Mill, Freud, Russel hingga Sartre, Rand dan milenial-21 ini terkenan dengan nama-nama Hawking, Hitchean, Harris, Dawkins(four horseman).

Para pewarta ateisme mutakhir ini, mendiang Hawking dan Hitchean serta yang gigih Harris dan Dawkins, menurut Gray merupakan penganut ateisme kontemporer yang menganjurkan "penerbangan dari dunia tanpa Tuhan."

Karna itu, buku Gray ihwal 7 tipe ateisme ini bukan sebagai kritik atas paham ateisme. Tapi, sebagai "kisi-kisi" bagaimana membangun dialog dengan kalangan teisme yang umumnya penuh masalah, konflik dan perseteruan dalam apa yang disebut oleh seorang gnostik, Karen Armstrong, sebagai "religious violence" dalam "Fields of Blood"(2018).

Ringkas cerita, bukankah ateisme ancaman bagi bagi kedaulatan manusia? Tapi, teisme organisasional dan institusionallah yang secara "legal formal" masih menyimpan -- meminjam istilah ahli sains agama, Bernard Lewis -- "roots of rage" (akar-akar keganasan) teologisme.

Gratia Atheos.

a.k.a ReO Fiksiwan

***