Kejahatan orang-orang saleh adalah kejahatan yang paling keji. Ia dilakukan oleh orang-orang yang merasa suci. Senyuman dan kesombongan berbarengan dengan penindasan terhadap orang lain.
Bajunya religius. Senyumnya lebar. Ia ingin menampilkan diri sebagai manusia saleh. Doa rajin, apalagi ketika banyak orang menonton. Puasa pun kuat, asal juga disaksikan oleh banyak orang.
Tampilan religius dibalut juga dengan kekayaan yang gilang gemilang. Sayang, hobinya mencuri, alias korupsi. Ia memandang rendah orang-orang miskin, dan orang-orang yang berbeda identitas dengannya. Jika mungkin, ia mempersulit, dan bahkan menindas mereka.
Tampilan religius dan kekayaan melahirkan kesombongan. Ia merasa, Tuhan ada di pihaknya. Jilat atas (orang-orang kaya dan berkuasa), injak bawah (orang-orang miskin dan minoritas), itulah semboyan hidupnya. Tentu saja, doa jalan terus, terutama jika banyak orang menyaksikan.
Kejahatan dan Kesalehan
Inilah kejahatan orang-orang saleh. Intinya adalah kemunafikan. Hidup beragama tak dibarengi dengan peningkatan kepekaan terhadap alam dan orang lain. Semakin hari, manusia semacam ini semakin banyak ditemukan di Indonesia.
Kesalehan adalah keutamaan yang berpijak pada tradisi atau agama tertentu. Ia bersifat pribadi. Di dalam masyarakat multikultur dan demokratis, seperti Indonesia, kesalehan harus dibarengi dengan keutamaan hidup sebagai warga negara modern, seperti berpikir rasional, patuh hukum, bersikap kritis dan terbuka pada perbedaan. Jika tidak, ia akan terjatuh pada kemunafikan.
Pemikir Jerman, Hannah Arendt, menyebut ini sebagai banalitas dari kejahatan (Banalität des Bösen). Karena kurangnya kepekaan, dan tajamnya kebiasaan yang dibangun lama, kemunafikan menjadi hal biasa. Bahkan, kemunafikan dipertontonkan di depan orang banyak, seringkali dibalut dengan upacara keagamaan, supaya terlihat saleh dan suci. Tak ada rasa malu.
Inilah jiwa dari manusia kerumunan. Martin Heidegger, pemikir Jerman lainnya, menyebutnya sebagai Das Man, yakni manusia-manusia palsu. Ini adalah manusia yang secara buta patuh mengikuti tradisi dan agama. Setiap pertanyaan dan pemikiran kritis dibungkam oleh ketakutan dan kepatuhan dangkal.
Akar dari jiwa Das Man, menurut Heidegger, adalah ketidakberpikiran (Gedankenlosigkeit). Orang bisa cerdas menghafal dan menghitung. Namun, ia tidak berpikir kritis. Ia hanya mengikuti secara buta apa yang menjadi kecenderungan masyarakat umum.
Publik dan Privat
Maka, kesalehan tidaklah cukup. Keutamaan publik demokratis haruslah dikembangkan. Kesalehan agamis menjadi urusan pribadi dan golongan semata, serta bukan urusan negara. Seperti dijelaskan oleh Habermas, pemikir Jerman kontemporer, kesalehan agamis harus bisa diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa yang bisa dimengerti oleh semua pihak, terutama oleh orang-orang yang berbeda identitas.
Tentunya, pembedaan ruang publik dan ruang pribadi harus ditekankan dulu. Persoalan alat kelamin dan orientasi gender adalah urusan pribadi yang mesti dilepaskan dari mata negara. Korupsi, kekerasan dan diskriminasi adalah persoalan publik yang harus dihadapi oleh negara dan hukum. Tanpa dua pembedaan ini, kemunafikan berbalut kesalehan akan terus berkembang.
Di Indonesia, orang boleh memeluk tradisi ataupun agama tertentu. Namun, ia juga adalah warga negara yang hidup bersama di dalam negara hukum dengan beragam orang yang berbeda latar belakang. Keduanya harus berjalan seimbang, walaupun tetap terpisah.
Jika orang saleh, namun tak memiliki keutamaan publik demokratis, maka ia dan kelompoknya akan dimanfaatkan oleh para politisi busuk untuk merusak keadaan. Pilkada Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 kiranya harus menjadi pelajaran bersama.
Kejahatan orang-orang saleh adalah kejahatan yang paling keji. Ia dilakukan oleh orang-orang yang merasa suci. Senyuman dan kesombongan berbarengan dengan penindasan terhadap orang lain.
Kiranya benar, bahwa setan di abad 21 tidak lagi bertanduk dan bertaring, namun menggunakan dandanan religius, dan pandai berbicara soal kesalehan. Ia berdoa keras-keras, sambil terus korupsi, mencuri dan menindas.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews