"Buzzer Istana" di Tengah Seteru Raja vs Pangeran Baru

Media adalah wujud kekuatan alternatif di luar trias politica, di luar elit politik, namun justru punya kekuatan lebih untuk "mengatur" ketiga pilar lain lewat pengaruhnya dalam membentuk opini.

Jumat, 11 Oktober 2019 | 15:28 WIB
0
608
"Buzzer Istana" di Tengah Seteru Raja vs Pangeran Baru
Ilustrasi Tempo vs Buzzer (Foto: video.tempo.co)

Isu obor rakyat, Jokowi punya nama China, Jokowi agamanya Kristen, Jokowi keluarga PKI, Jokowi minta maaf ke keluarga PKI, anak Jokowi hamil di luar nikah, Jokowi bersulang dengan miras, Jokowi salah kancing jas, adzan dilarang, pelajaran agama dihapus, 15 juta komunis, 10 juta tenaga kerja aseng.

Sudah cukup...? Belum!

Masih ada Jokowi undang pembakar masjid ke istana, Jokowi makan daging babi, Jokowi bernama Heribertus, ijazah SMA Jokowi palsu, BUMN dijual ke aseng, sampai yang terbaru jelang pilpres 2019, drama muka bonyok, 7 kontainer surat suara tercoblos, server KPU disetting masif digaungkan.

Itu baru segelintir fitnah dan hoax terkait Jokowi yang datang silih berganti dan berulang-ulang sejak 2012 sampai hari ini, 2019. Bahkan membuat sang ibunda ikut difitnah secara keji sebagai ibu kandung palsu. Mau dinamakan apa kelompok yang menyutradarai semua ini?

Percayalah, siapa pun bakal kesulitan mencari tokoh yang pernah dihujani fitnah dan hoax sebrutal ini dalam sejarah demokrasi Indonesia, malah mungkin sejak berdirinya negara ini. Bahkan tak seujung kuku pun andai kita hadapkan dengan rival terberatnya, Prabowo. Terlalu jauh.

"Sayangnya" (atau alhamdulillah-nya), semua isu tersebut gagal total. Mulai Pilkada 2012, Pilpres 2014 dan terakhir Pilpres 2019, justru orang yang secara terstruktur dihujani panah fitnah itu keluar sebagai pemenang.

Jadi kalau sekarang muncul isu "buzzer istana", tak perlu serius ditanggapi. Anggap saja itu luapan emosi kelompok yang gagal tadi. Sakit hati, kecewa, marah, sedih, semua campur aduk dan pelampiasannya banyak cara.

Pernah liat anak kecil yang ketahuan salah malah menyalahkan anak lain? Atau waktu kalah lomba lalu menuduh macam-macam ke yang menang?

Nah, saya melihat buzzer ahlul fitnah tadi sedang bertingkah seperti itu. Mereka perlu pelampiasan emosi. Jadi biarlah mereka merengek dan merudung sepuasnya. Maklumilah, namanya juga anak kecil.

Tapi media ikut meramaikan? Nah kalau ini mungkin ada sedikit beda. Selain tabu buang peluang emas kalau tak ikut bahas isu hits dan hot, saat ini di Indonesia, bahkan dunia, mulai ada pergeseran "kekuasaan" di alam demokrasi.

Ya, selama ini kita tahu ada 4 pilar demokrasi, yaitu trias politica eksekutif, legislatif dan yudikatif, ditambah media. 4 pilar ini sangat kuat. Yang terakhir malah bisa disebut sebagai sang "raja". Kenapa?

Baca Juga: Ciputra, Tempo dan Netizen Tantrum

Di era demokrasi, media adalah wujud kekuatan alternatif di luar trias politica, di luar elit politik, namun justru punya kekuatan lebih untuk "mengatur" ketiga pilar lain lewat pengaruhnya dalam membentuk opini.

Dalam demokrasi, suara publik adalah "suara Tuhan" (vox populi vox dei) sehingga ketiga pilar tadi sangat mudah untuk naik atau jatuh tergantung ke mana media "berpihak". Luar biasa bukan?

Tak cuma itu, dalam batasan tertentu, bahkan media memiliki "kekebalan hukum" karena dilindungi oleh UU Pers. Ingat seteru antara Livi Zheng dengan beberapa media? Livi protes atas beberapa artikel yang dianggap menyesatkan soal dirinya. Dewan Pers menyatakan ada pelanggaran kode etik. Media mengaku salah, memakai hak jawab lalu menyampaikan permohonan maaf. Selesai.

Apa "kerusakan" yang timbul bisa "ditutupi" klarifikasi tadi? Faktanya, isu selalu menjangkau lebih luas ketimbang klarifikasi. Saya jauh sekali dari pendukung Livi. Tapi ini bukan soal itu. Ini sekedar gambaran bagaimana kuasa media dalam menggiring opini publik dengan risiko yang relatif minim.

Tapi era itu nampaknya memudar. Seiring makin terjangkaunya internet dan perangkat elektronik, kedudukan media sebagai "raja" mulai tersaingi oleh "the rising star", media sosial. Sang "pangeran".

Di media sosial, posisi media diganti oleh influencer, opinion maker atau buzzer (cari sendiri bedanya ya). Media bukan lagi kekuatan tunggal yang mampu "menyetir" suara publik. Tidak. Kuasa mereka kini terbagi, dan bisa jadi, sudah jauh berkurang.

Isu KPK adalah bukti nyata kuasa media, sang "raja", bisa disaingi atau bahkan dikalahkan sang "pangeran". Banyak yang awalnya takut dan ragu akhirnya berani terbuka bersuara. Kalau dulu KPK dianggap "Tuhan" yang tak tersentuh, kini akibat suara "pangeran", posisi itu goyah. Publik mulai berani terbuka mengkritik KPK. Bukankah ini yang dinamakan demokrasi? Perang opini dan adu bukti.

Titik ini seolah jadi tonggak sejarah yang memperlihatkan bahwa sang "raja" sudah tak "sekuat" dulu. Mayoritas media yang menyuarakan tolak revisi UU KPK mendapat hantaman dahsyat dari sang "pangeran" dan publik di belakangnya. Sang "raja" limbung.

Kembali ke isu "buzzer istana", jadi kalau kini ada "raja" yang terkesan "marah" sampai terlihat terus menembak rentetan "peluru" ke sang "pangeran", maklumi saja. Buat saya ini mirip seperti yang tadi. Namanya juga anak-anak.

Baca Juga: Antara Moeldoko dan Buzzer

Suka atau tidak, cepat atau lambat, diakui atau tidak, "pernikahan" antara demokrasi dan teknologi telah melahirkan pilar baru. Pilar yang mampu mengimbangi kekuatan 4 pilar lama, termasuk hegemoni sang "raja".

Ia adalah pilar ke 5 di era demokrasi modern yang kekuatannya bahkan diprediksi bakal mengalahkan sang "raja". Dan peyangga pilar ini bisa siapapun, tak harus wartawan, penulis atau akademisi. Karena pengemudi ojol sampai ibu rumah tangga punya kesempatan yang sama menjadi pilar ke 5 ini. Pilar baru yang kini bahkan sanggup memberi "hukuman" ke sang "raja" (rating terjun bebas).

Selamat datang di era media sosial, selamat bergabung wahai pilar ke 5, sang "pangeran" baru demokrasi. Welcome aboard.

***