Korupsi sebagai Budaya

Pengangkatan orang-orang seperti Terawan, Fahrul Razi, Nadiem Makarim pun mendapat perlawanan. Dari siapa? Mereka yang tak mau lahan basahnya diganggu atau berubah.

Selasa, 5 November 2019 | 08:49 WIB
0
223
Korupsi sebagai Budaya
Ilustrasi (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Pertaruhan, atau halangan terbesar bangsa Indonesia adalah korupsi. Bahkan ketika amanat Reformasi 1998 melahirkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), pun korupsi tak surut. Bahkan komisi negara itu menjadi bagian dari persoalan.

Ketika Presiden Terpilih 2019 - 2024 menyatakan akan all out, karena nothing to lose dan nggak mikirin sebagai kandidat lagi, ternyata juga tak mudah. Dengan jumlah kursi sekitar 34 kursi, Jokowi beberapa hari setelah pelantikan kabinetnya, ngaku bahwa ia mendapat sodoran 300-an nama calon menteri.

Dari mana? Dari mana lagi jika bukan partai politik (pendukung Jokowi), bahkan dari ormas agama yang konon terbesar di dunia. Kita tahulah siapa mereka. Jangan ditulis jelas-jelas. Nanti dituding fitnah. Juga bahkan dari para relawan, yang entah dari jurusan rela - wan atau re - lawan!

Soal suka tak suka, wajar. Ada yang kecewa, namun juga harus diingat ada yang bahagia. Hepi-hepi aja. Tentu absurd jika dengan kursi kurang dari 40, harus mempertimbangkan latar suku, latar agama, latar kampus, latar kelamin, latar ormas agama, latar organisasi profesi, latar asosiasi pedagang ongol-ongol. Sementara kita pura-pura tak tahu, Presiden adalah posisi yang tak mungkin sendirian.

Presiden adalah pusat dari segala, tapi mempunyai tim kerja juga di luar kabinetnya. Ia punya penasihat, para ahli. Memiliki berbagai kemungkinan, juga previlige, untuk mengakses apa saja. Ia punya lembaga intelijen negara, yang memungkinkan untuk mendapatkan apapun.

Bahkan dengan mensinergikan Menkopolhukam, Kejakgung, dan Menteri Dalam Negeri sebagai TPK (Tim Pemburu Koruptor), ketika KPK mungkin saja dirasa gagal melakukan pendampingan agar pejabat pemerintah tidak korupsi.

Namun karena itu pula, Presiden mestilah menjaga semuanya dalam irama bernama keseimbangan, harmoni, keselarasan. Bukan hanya untuk kepentingan kekuasaan, tetapi juga dampak dari kekuasaannya, yang menyangkut hajat hidup banyak orang. Bukan sekedar kelompok kepentingan, mahasiswa, SJW, para pengamat TV, atau kelas menengah ngehek (kanan maupun kiri).

Ada beberapa lembaga negara dan pemerintah yang dikenal penyerapan anggaran boros, karena tak jelas hasilnya. Setidaknya kita bisa mencatat beberapa diantaranya; Parlemen, MK, MA, Kemenpora, Kemenag, Kemendikbud, Kemenkes, Kemensos, telah terbukti sebagai bagian dari pelaku korupsi yang lebih menonjol.

Pengangkatan orang-orang seperti Terawan, Fahrul Razi, Nadiem Makarim pun mendapat perlawanan. Dari siapa? Mereka yang tak mau lahan basahnya diganggu atau berubah. Berubah agar tak jadi lahan korupsi untuk kepentingan kelompok mereka sendiri. Karena ada beberapa lembaga negara atau pemerintah, yang justeru dipakai sebagai bunker politik dan ekonomi. Mereka ini biasanya triple-ccc. Corruption's Content Creator.

Tapi kalau benar Bung Hatta pernah berkata jika korupsi menjadi budaya; Artinya koruptor adalah budayawan bukan?

***