Sampai Seribu Tahun Lamanya

Diri kita yang sejati bukanlah tubuh ataupun pikiran. Diri kita yang sejati tak punya tempat dan waktu. Ia berada sebelum tubuh dan pikiran.

Selasa, 30 Juli 2019 | 07:04 WIB
0
396
Sampai Seribu Tahun Lamanya
Ilustrasi Zen (Foto: Rumahfilsafat.com)

Hidup yang utuh dan penuh. Hidup yang bermakna dan berbahagia. Ah, semua orang menginginkannya. Semua cara ditempuh untuk mencapainya.

Kata orang, uang akan membawa kebahagiaan. Punya uang berarti mendapat kehormatan. Orang bisa membeli apapun, termasuk pengabdian dan kesetiaan orang lain. Namun, setelah diperoleh, hidup yang utuh dan penuh tak kunjung tiba. Yang berkunjung justru kecemasan dan kerakusan.

Namun, bukankah uang bisa membeli kenikmatan? Pada jumlah yang masuk akal, kenikmatan itu menyehatkan, seperti makan, belanja, seks dan sebagainya. Namun, jika ia dilihat sebagai sumber kebahagiaan, maka orang akan memeras kenikmatan. Derita pun akan berkunjung.

Setelah semua jalan ditempuh, kita pun akan sampai pada perasaan hampa. Dunia memang menyediakan kenikmatan. Namun, ia tak akan pernah memberi kebahagiaan. Kesadaran inilah yang mendorong kita untuk mencari ke dalam diri kita sendiri.

Jalan Zen

Dengan menengok ke dalam, kita sedang menempuh jalan Zen, yakni jalan meditasi. Derita dan kecewa tetap berkunjung. Namun, semua itu dijalani dengan kesadaran. Kesadaran, sebagai dasar dari semua pengalaman dan pikiran, inilah sumber kebahagiaan yang sesungguhnya.

Di titik ini, kita pun sadar. Penderitaan datang dari ingatan. Kita mengulang-ulang peristiwa yang telah lalu, dan hidup di masa lalu. Inilah trauma. Ingatan lalu menjadi sumber penderitaan besar bagi orang yang tak mampu melepas masa lalunya.

Sumber derita lainnya adalah bayangan. Kita berpikir berlebihan tentang sesuatu. Kita lalu menciptakan bayangan-bayangan yang tak nyata di dalam pikiran. Kita pun jadi takut terhadap masa depan yang belum tiba.

Mungkin, ini bukan hal baru bagi kita. Kita sudah pernah mendengar pandangan ini. Namun, entah mengapa, kita tetap jatuh lagi pada derita dan kecewa. Kita jatuh lagi pada lubang yang sama.

Jika jatuh, maka kita harus bangun lagi. Kita harus mencoba lagi untuk sadar, untuk terus hidup dalam kesadaran. Sampai kapan? Sampai seribu tahun lamanya. Jatuh lagi. Bangun lagi… Sampai seribu tahun lamanya.

Tubuh dan Pikiran

Sumber derita lainnya adalah tubuh. Ia akan sakit, menua dan hancur. Ini tak bisa dihindari. Inilah jalan alam semesta, yakni jalan Dharma.

Namun, kita bukanlah tubuh kita. Tubuh hanyalah sisa dari semua makan yang pernah kita makan. Pendek kata, tubuh adalah tempat sampah. Walaupun ia penting, tubuh bukanlah diri sejati kita.

Begitu pula dengan pikiran. Ia bukanlah milik kita. Pikiran adalah ide-ide yang kita kumpulkan dalam hubungan dengan dunia sosial, sejak kita kecil. Pikiran penting untuk menjalani kehidupan. Namun, ia tetaplah tempat sampah dari lingkungan sosial kita.

Diri kita yang sejati bukanlah tubuh ataupun pikiran. Diri kita yang sejati tak punya tempat dan waktu. Ia berada sebelum tubuh dan pikiran.

Pandangan ini juga bukan hal baru. Namun, walaupun memahaminya, kita tetap jatuh dalam derita dan kecewa. Cukup disadari, lalu bangun lagi dengan penuh kesadaran. Sampai kapan? Sampai seribu tahun lamanya.

Ketidakpastian Hidup

Hubungan antar manusia adalah sumber kebahagiaan besar. Ia memberikan rasa aman, sekaligus dukungan sosial dalam kehidupan. Namun, seringkali hubungan justru menjadi sumber penderitaan besar. Patah hati kerap membawa duka yang begitu mencekam, bahkan sampai mendorong orang melakukan bunuh diri.

Semua dilakukan dengan penuh kesadaran. Kebahagiaan datang. Kebahagiaan pergi. Sadar. Sadar. Sadar.

Jatuh lagi. Bangun lagi. Hidup dengan kesadaran. Sampai kapan? Sampai seribu tahun lamanya.

Ini semua memang bagian dari perubahan. Perubahan menciptakan ketidakpastian. Semua teori dan ramalan runtuh, ketika kenyataan bersuara.

Tak selamanya pula kita akan beruntung. Terkadang, bisnis gagal. Rencana juga berantakan. Ini semua bagian dari perubahan yang tak akan pernah berhenti.

Zen mengajarkan kita untuk tetap sadar di tengah perubahan yang ada. Kesadaran ini terwujud dalam „pikiran tidak tahu“. Kita tidak membuat penilaian. Kita juga tak membuat kesimpulan. Kita tetap menjadi „seorang pemula“.

Sekali lagi, ilmu ini bukan hal baru. Tetap saja, derita dan kecewa, akibat perubahan, tetap tiba. Jatuh lagi. Bangun lagi dengan penuh kesadaran. Sampai kapan?… Sampai seribu tahun lamanya.

Sampai Seribu Tahun Lamanya

„Sampai seribu tahun lamanya“ berarti kita terus mencoba. Dalam jatuh bangun kehidupan, kita terus sadar dari saat ke saat. Kita tidak mengecek pikiran ataupun emosi yang muncul. Mereka datang, lalu mereka pergi. Kita jalan terus.

Kita terus mencoba kembali ke keadaan sebelum pikiran. Terkadang, emosi begitu kuat, dan kita larut. Terkadang, kita membuat kesalahan, dan melukai orang lain, maupun diri kita sendiri. Terkadang pula, kita lemah tak berdaya di hadapan ketidakpastian hidup.

Terkadang, kita putus asa. Terkadang, kita begitu marah pada keadaan yang tak kita inginkan. Ini semua adalah Dharma, yakni jalan alam semesta. Sejatinya, semua adalah jalan menuju pencerahan batin.

Apapun yang terjadi, tetap sadar. Kembali ke saat ini. Seringkali, lelah dan penat berkunjung. Bangun lagi. Sadar lagi. Sampai kapan?

Anda sudah tahu jawabannya…..

***