Keculunan Saya "The New Salafy"

Hal seperti ini yang seringkali belum dipahami oleh The New Salafy yang masih menggunakan taqlid buta dan belum memahami fiqih ikhtilaf.

Selasa, 20 Agustus 2019 | 22:11 WIB
0
929
Keculunan Saya "The New Salafy"
Ilustrasi salafy (Foto: Muslim.or.id)

Apa yang ditulis ust Ahmad Sarwat, seperti sedang menceritakan masa lalu saya saat sedang culun-culunnya baru mempelajari sesuatu yang baru, Aqidah Ahlus sunnah wal jamaah versi Manhaj Salaf.

Dan keculunan ini memang sindrom umum bagi siapa saja yang baru belajar ilmu baru, baru seuprit dengan ghiroh yang masih menggebu-gebu.

Jadi jika sedang gaspol gigi 5 lalu kebablasan itu hal yang tidak mustahil akan selalu terjadi. Tentu bukan sesuatu yang harus dimaklumi, karena memang salah. Tidak benar.

Kita hanya perlu menganggapnya itu adalah bagian dari tahapan kita berproses belajar. Dan namanya proses, tentu tidak boleh hanya berhenti pada tahap 'culun'.

Dan setelah tahapan awal itu terlewati, kita tinggal menertawakan keculunan kita di masa lalu. Bagaimana pernah membuat orang lain kesal, marah, jengkel, dengan segala kekerasan kepalaan kita, padahal hanya dengan modal seuprit ilmu.

Yang agak memiriskan, seperti juga ditulis ust.Ahmad Sarwat, jika kita tidak berproses dan terus menerus culun.

Saya kira, semangat untuk berdakwah yang menggebu-gebu itu memang akan menghinggapi semua orang yang merasa dirinya sudah menemukan "jalan kebenaran", "the true path", the true of Islam".

Demikian juga dulu saya begitu. "Sampaikanlah walau hanya satu ayat", itu seperti kalimat sakti yang dipedomani semua orang yang baru belajar. 

Tiada hari tanpa memposting minimal satu ayat, hadits atau fatwa ulama. Dan tentu saja ulama yang kita ambil pendapatnya. Musik haram! Gambar makhluk hidup haram! Televisi haram! Ini tasyabuh! Itu bid'ah! Anu murtad!

Kita tidak tahu atau tidak peduli, bahwa di luar sana akan ada banyak orang yang mengambil pendapat dari ulama yang berbeda lagi. Kita tidak peduli. Karena tentu saja pendapat ulama kita yang paling benar. Ulama lain ahlul bid'ah & ahlul hawa.

Lalu gelut medsos pun dimulai, comment war yang paling diminati jamaah fesbukiyyah akan dititipi dengan banyak sandals.

Dan tentu saja dalam sebuah gelut, keculunan itu bukan hak milik satu pihak. 

Di pihak lain umat yang awam agama, yang sejak kecil hanya mengenal satu pandangan agama, satu aqidah, satu sumber fiqih, yang diajarkan oleh orang tuanya secara turun temurun, akan jadi pihak yang juga sama keras kepalanya.

Semua pihak merasa yang paling benar.

Alhamdulillah tahap itu sudah saya lewati. Tapi tentu saja merasa menjadi "yang paling benar" akan selalu menjadi tantangan umat beriman hingga akhir jaman. Syaithan akan selalu mengganggu manusia pada levelnya masing-masing.

Saya yakin saling mengolok-olok antar kelompok itu akan terus terjadi, tapi tantangannya adalah bagaimana kita beragama menurut keyakinan yang kita yakini, tanpa perlu terlibat di dalamnya.

Dalam pandangan saya, mereka yang mengolok-olok Ibnu Taimiyah tidak ada bedanya yang mendewakan Ibnu Taimiyah sebagai satu-satunya ulama salaf abad ke-7 yang paling patut diambil pendapatnya, dan mengabaikan banyak ulama khibar lainnya seperti Yahya bin Nawawi, Ibnu Katsir, Ibnu Rajab, Ibnul Qoyyim, dlsb..

Atau para Salafiyyin yang hanya mempertimbangkan fatwa dari ulama Saudi, seperti Al-Albani, Bin Baz, Bin al-Utsaimin, Imam Muqbil, Shalih bin Fauzan, Rabi bin Hadi al-Madkhali, dst dan mengabaikan fatwa dari ulama Indonesia misalnya.

Padahal fatwa adalah sumber hukum yang terendah, bukan hal yang wajib diimani. Ada banyak pertimbangan ketika seorang ulama membuat fatwa yang bisa menyangkut hal-hal yang spesifik sifatnya. Sehingga fatwa dari ulama Saudi belum tentu tepat diterapkan di Indonesia, fatwa ulama dari Mesir tidak selalu tepat kita pakai, dst...

Hal seperti ini yang seringkali belum dipahami oleh The New Salafy yang masih menggunakan taqlid buta dan belum memahami fiqih ikhtilaf.

Bahkan para senior, dari kelompok manapun yang menggunakan prinsip "ulama kami yang paling benar",

Dan penyakit "merasa paling benar" sudah menjadi borok yang menggerogoti Islam dari dalam.

Pada akhirnya, kita hanya mampu memohon ampunan atas segala keculunan yang kami lakukan. 
Semoga Allah azza wajal senantiasa memberikan petunjuk dan melembutkan hati-hati kami..

Penyesalan dan Mohon Ampunan

by. Ahmad Sarwat, Lc.MA

Salah satu penyebab rusaknya agama adalah sikap kurang etis yang terbenam dalam alam bawah sadar kita, yang sukanya ngotot memenangkan pendapat dan fatwa versi kelompok kita sendiri. Sambil hobi menyalahkan semua orang.

Sikap macam ini boleh jadi karena selama ini kita sudah jadi korban dari proses indoktrinasi akut yang kebacut dan kasep.

Biasanya orang awam agama macam kita-kita ini memang terpengaruh dan mudah terkena syndrome macam ini. Sejak kecil kita memang tidak pernah dikenalkan dengan adanya fiqih perbedaan, fiqih ikhtilaf atau pun juga muqanarah (perbandingan) mazahib.

Pengajian dan majelis taklim kita tanpa terasa sudah terlanjur mengajarkan bahwa kebenaran agama harus cuma satu saja. Tiidak boleh ada kebenaran yang berbilang. Tidak boleh ada keragaman, keragaman adalah kafir, keragaman adalah liberal, keragaman adalah kefasikan dan kemunafikan.

Pokoknya segala sesuatu harus hanya ada satu saja, semua harus kompak dan eksak. Dua itu harus sama hasil penjumlahan 1 dengan 1. Dua itu tidak boleh merupakan hasil pengurangan, 3 dikurang 1 atau 4 dikurang 2. Pokoknya tidak boleh. Begitulah doktrin agama yang mencetak fikrah dan manhaj kita selama ini.

Barangkali kalau untuk konsumsi anak-anak, memang tepat bila kita pilihkan satu saja, biar mereka tidak bingung. Mengajarkan doa iftitah itu cukup 1 versi saja, tidak perlu 2 versi. Toh, mereka itu anak kecil yang hanya butuh mengerjakan saja.

Tapi seiring dengan kedewasaan, maka sebenarnya kita ini perlu juga diperkenalkan adanya perbedaan-perbedaan itu. Qiraat Quran yang kita pelajari ternyata ada banyak versinya. Mau tidak mau kita memang harus berbeda dan tidak selalu sama.

Begitu juga cabang-cabang ilmu aqidah juga ada banyak sekali versinya. Mau tidak mau kita terpaksa juga harus berbeda, tidak mungkin sama persis.

Apalagi kalau sudah masuk wilayah fiqhiyah, dalam satu mazhab Syafi'i sekalipun masih ada banyak aqwal, pandangan serta wajah yang berbeda-beda. Apa boleh buat, perbedaan pendapat di kalangan ulama itu memang ada sejak zaman sahahabat yang mulia.

Yang paling disayangkan kalau kita sudah beranjak dewasa, tapi cara kita memahami agama ini masih versi anak-anak, yaitu format kebenaran hanya satu. Cabang dan detail aqidah hanya satu, fiqih dan syariah juga hanya satu.

Yang corak keagamaannya kok lain dan tidak sama dengan yang diajakrkan oleh tokoh kita, maka sudah dipastikan harus keliru, kudu salah, wajib sesat, bahkan jadi kewajiban untuk kita diperangi dengan kekerasan, makian, cacian, serta diposisikan sebagai musuh umat dan musuh Allah SWT.

Kadang tanpa sadar, kita memeranginya sambil teriak takbir menggema, seakan saudara muslim kita hanyalah gerombolan iblis sejati laknatullah penghuni neraka jahannam yang harus kita rajam bersama.

Padalah, seringkali urusannya cuma masalah sepele, cuma beda seuprit, cuma tidak sama secuil. Cuma beda pandangan politik yang hanya main-main, tidak ada teman atau musuh abadi.

Tapi makian demi makian yang kita lontarkan kepada saudara muslim kita sendiri seringkali jauh lebih dahsyat dari pada kalau kita menghadapi Fir'aun, Namrudz, Jalut, dan Abu Jahal sekaligus.

Hanya kepada-Mu saja kami bertaubat. Dan hanya kepada-Mu kami minta ampunan atas semua kesalahan kami. Jangan Engkau siksa karena keawaman kami. Jangan Kau jatuhkan murka-Mu pada kami yang awam dan belum paham makna perbedaan, kesantunan dan keshalihan.

Ya, Allah . . . terima lah penyesalan dan taubat kami.

***