Tuhan
Ilustrasi (Foto: Rumahfilsafat)

Sudah lama, saya menghindari berbicara tentang konsep tuhan. Terlalu banyak konsep ini dibicarakan di berbagai tempat. Seringkali, tuhan dibicarakan dengan penuh sikap sok tahu. Semakin tidak tahu, orang justru semakin percaya diri, dan semakin sok tahu.

Dalam sejarah, konsep tuhan memang banyak mengundang kontroversi. Berbagai agama mencoba memahami dan menjelaskannya. Beragam tafsiran muncul. Di dalam proses, pengaruh politik kekuasaan pun semakin terasa, ketika orang berbicara tentang tuhan.

Antara Cinta dan Benci

Di satu sisi, konsep tuhan mendorong orang untuk mencintai. Tuhan menjadi teladan sekaligus lambang untuk cinta sejati yang tanpa pamrih. Tuhan menjadi lambang kebaikan. Orang percaya tuhan juga berarti siap untuk hidup dalam kebaikan setiap saatnya.

Di sisi lain, konsep tuhan juga mendorong orang untuk membenci. Perang dan penindasan dilakukan atas nama tuhan. Diskriminasi dilakukan atas nama melaksanakan perintah tuhan. Bahkan, politik kekuasaan yang penuh kemunafikan dan kebusukan juga menggunakan konsep tuhan sebagai pembenaran.

Memang, tuhan tak akan pernah bisa sepenuhnya dipahami dengan akal manusia. Ia terlalu besar untuk ditangkap dengan konsep. Ia terlalu luas untuk dipenjara dalam kata. Upaya untuk memahaminya dengan pikiran akan berujung pada kebingungan.

Namun, tuhan bisa dialami. Melalui laku spiritual yang tepat, manusia bisa melebur dengannya. Asalkan, ia berani melepaskan semua tradisi dan pikiran yang melekat pada dirinya. Selama orang terjebak pada tradisi dan pikiran, ia tak akan pernah mengalami tuhan. Walaupun begitu, ini semua tak menghalangi manusia, dari berbagai latar belakang, untuk berupaya mendekati tuhan.

Upaya Mendekati Tuhan

Ada orang yang memahami tuhan sebagai tuhan kosmik. Tuhan inilah yang menjadi perancang segala yang ada di alam semesta. Ia adalah awal dan akhir dari segalanya. Ia berada sebelum tradisi, dan akan hidup terus, ketika semua tradisi manusia berakhir.

Ada yang memahami tuhan sebagai tuhan pribadi. Tuhan semacam ini ikut campur dalam hidup manusia. Jika manusia berdoa padanya, tuhan ini akan membantunya dalam menjalani hidup. Jika tidak, tuhan semacam ini bisa memberikan hukuman.

Para ilmuwan modern melihat tuhan yang penuh misteri dan mengagumkan. Masih banyak hal di alam semesta ini yang diluar jangkauan manusia. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Di sini, tuhan adalah mahluk yang menakjubkan sekaligus penuh dengan teka teki, yang merangsang pencarian manusia akan makna hidup, sekaligus makna alam semesta yang maha luas ini.

Orang-orang terbelakang dan radikal melihat tuhan sebagai pemberi hukum mutlak. Mereka merasa mampu mengenal tuhan, termasuk apa yang tuhan benci dan suka. Tuhan pun lalu mengatur cara manusia berpakaian, sampai selera seksual manusia. Pemahaman tentang tuhan semacam inilah yang menciptakan banyak konflik dalam hidup manusia.

Tetap “Tidak Tahu”

Pada akhirnya, kita tetap sungguh “tidak tahu”, ketika berbicara tentang tuhan. “Tidak tahu” adalah sebuah sikap terbuka. Orang tak mengira-ngira, apa yang menjadi perintah sekaligus keinginan tuhan. Tentang moralitas, empati dan akal sehat jauh lebih penting, daripada konsep tuhan.

Jalan paling tepat untuk menemukan tuhan bukanlah keluar diri, seperti ke bangunan atau tempat suci, melainkan ke dalam diri. Ada kesadaran murni yang berada sebelum semua bentuk pengetahuan dan pengalaman manusia. Ia sekedar menyadari, tanpa menciptakan bentuk-bentuk pikiran ataupun emosi. Kesadaran murni ini berisi kedamaian dan kejernihan. Ia mendekati sifat-sifat ketuhanan.

Menjadi „tidak tahu“ berarti melepaskan tuhan dari tradisi. Yang sering terjadi, tradisi justru membuat manusia jauh dari tuhan. Manusia lebih fokus pada aturan-aturan dangkal yang memenjara jiwa dan ketinggalan jaman, daripada soal kedekatan dirinya dengan tuhan. Memang, sudah waktunya tuhan dibebaskan dari penjara-penjara yang dibuat manusia.

***