Lockdown

Lalu, apakah strategi itu akan efektif untuk diterapkan di Indonesia saat ini untuk membatasi penyebaran Corona dan memudahkan dalam penyembuhan orang-orang yang terpapar?

Selasa, 17 Maret 2020 | 13:35 WIB
0
195
Lockdown
lockdown (Foto: forbes.com)

Saya paling tidak mau dimasukkan ke dalam WAG. Bahkan kalau bisa, saya ingin keluar dari beberapa WAG. Dalam sistem nilai sosial di Indonesia, agama ditempatkan di tingkat tertinggi. Siapapun yang mengemukakan pemikirannya atau pemikiran orang lain (forward) yang disertai referensi agama dengan mengutif ayat suci atau apalah namanya, seolah telah sah menjadi orang baik-baik dan saleh.

Yang terjadi kemudian, WAG menjadi komunitas orang-orang saleh, alim, agamis. Hampir semua anggota WAG menjadi ustadz dan ustadzah, mereka gemar memberi atau memforward tausiyah. Meskipun sering ditambah embel-embel ‘self reminder’ atau ‘pengingat diri’. ‘Self reminder’ kok dipampang di ruang publik?

Nah terkait isu Virus Corona, untuk menghentikan penyebarannya, seorang anggota WAG memposting strategi yang diterapkan di zaman nabi: “Jika terjadi wabah di satu daerah (kota), kamu jangan datang ke daerah itu. Tapi ketika wabah itu menyebar dan kamu sedang berada di sana, janganlah meninggalkan daerah itu.” Ini menarik. Saya japri dia.

Strategi itu, kalau disimpulkan dalam satu kata adalah isolasi atau bahasa kedokterannya: lockdown (seperti disampaikan oleh seorang dokter #lockdown yuk? Kayak ngajak makan bakso). Menurut saya, pada zaman nabi strategi itu benar, tepat, dan bisa diterapkan dengan efektif.

Karena, satu daerah atau kampung di jazirah Arab di abad ke-6 pasti tidak terlalu luas, antara satu kampung dengan kampung lainnya di Arab dipisahkan oleh lahan kosong (gurun) yang luas, jumlah penduduk kampung tidak banyak, daya dukung lingkungan untuk menyediakan bahan pangan dalam kurun waktu isolasi sangat memungkinkan, dan otoritas nabi yang sangat kuat.

Lalu, apakah strategi itu akan efektif untuk diterapkan di Indonesia saat ini untuk membatasi penyebaran Corona dan memudahkan dalam penyembuhan orang-orang yang terpapar? Saya yakin tidak. Misalnya, dua orang pertama yang terpapar Corona di Indonesia tinggal di Depok. Mungkinkah Depok diisolasi?

Kalaulah Depok (dipaksakan) akan diisolasi, amat sangat sulit. Ingat, luas wilayah Depok 220 kilometer persegi, berbatasan dengan wilayah Bogor, Bekasi, dan Jakarta. Sebagai wilayah pemukiman, Depok nyambung dengan pemukiman yang masuk wilayah kota lain. Depok tidak dipisahkan oleh wilayah kosong (tanpa penduduk) seperti halnya sebuah kampung atau kota di Arab.

Bagaimana cara mengisolasinya? Apakah di tiap perbatasan jalan atau gang ditunggui polisi atau tentara? Kan gak mungkin. Itu baru soal wilayah. Bagaimana dengan air? Kebutuhan air bersih warga Depok dipenuhi dari Bogor. Lalu kemana limbahnya akan disalurkan? Apa semua sungai atau kali yang melintasi wilayah Depok harus dibendung?

Terus, apakah mungkin Depok bisa memenuhi kebutuhan pangan warganya yang berjumlah 2,33 juta orang dalam periode isolasi? Apa mungkin 2,33 juta warga Depok tidak boleh keluar dari Depok selama masa isolasi? Apa mungkin warga dari luar Depok tidak boleh masuk Depok selama masa isolasi?

Lalu, kalau isolasi dilakukan, bagaimana jika ada yang melanggar? Ingat, otoritas Presiden RI sebagai kepala negara demokrasi, dalam mengatur warganya, gak ada apa-apanya dibanding otoritas nabi atau khilafah pada zaman itu. Di Indonesia sekarang, seorang Gubernur saja berani melawan instruksi Presiden.

Itu baru Depok. Sementara sekarang orang yang terpapar Corona hampir tersebar di setiap kota besar, paling tidak Pulau Jawa dan Bali. Apa mungkin Jawa dan Bali diisolasi? Bisa bubar negara ini. Jadi strategi nabi yang diterapkan di Arab pada abad ke-6 masehi itu, kata saya, tidak bisa diterapkan di Indonesia saat ini.

Lalu apakah strategi yang merupakan perintah nabi itu salah? Jelas tidak. Saya memahaminya begini: Katakan terjadi masalah publik (massal), misalnya wabah. Premi mayornya, nabi memerintahkan: segera atasi. Kemudian dijelaskan strateginya: jangan ada yang keluar atau masuk wilayah epidemi. Lalu panduan teknisnya: detail bagaimana sesuai kondisi lokal dan pada masanya.

Jadi, satu perintah dari pemegang otoritas tertinggi dalam Islam, apalagi diyakini bahwa nabi itu maksum, terjaga dari kesalahan (bagian ini sangat spesifik, terkait dengan keyakinan seorang muslim), yang pertama harus ditangkap adalah perintahnya: segera atasi, dan pikirkan caranya (strategi dan teknisnya). Kalau teknis dan strateginya tidak convinience dengan kondisi lokal saat ini, ya ikuti perintahnya: segera atasi. Lalu berpikir merumuskan strategi dan teknis pelaksanaannya.

Sehingga, jika strategi dan teknisnya tidak sama dengan apa yang dilakukan di zaman nabi (abad ke-6 masehi) di Arab sana, bukan berarti tidak mengikuti ‘cara nabi’ atau menentang nabi. Karena strategi dan teknis mengatasi wabah yang dikemukakan nabi waktu itu di Arab, adalah hasil berpikir yang didasarkan pada variabel tetapan (konstanta) yaitu kondisi geografis, topografis, planologis setempat.

Di akhir telepon, saya katakan, “Semoga, Anda mengemukakan hal itu bukan karena tidak suka dengan Pemerintah sekarang. Tapi murni karena Anda ingin sharing pemikiran.”

Saya katakan itu karena saya tahu, pada masa kampanye hingga pasca Pilpres 2019 kemarin, kawan saya ini termasuk ‘The Bats’. Dia seorang tokoh jurnalis photografi di Pamulang sana. Namun satu hal yang saya khawatir, apakah dia paham apa yang saya jelaskan? Kalo soal dia marah mah bodo amat sih.

***