Ukuran Sopan-santun yang Berbeda

Saya sempat berang, karena di Indonesia sangat tidak sopan menawarkan rencana penguburan kepada orang yang masih hidup.

Kamis, 14 November 2019 | 08:55 WIB
0
356
Ukuran Sopan-santun yang Berbeda
Ilustrasi menyeberang jalan di zebra cross (Foto: MSN.com)

Di Indonesia, bila sedang dalam perjalanan, baik dengan menggunakan transportasi kereta api ataupun pesawat, kalau kebetulan duduk bersebelahan dengan sesama orang Indonesia maka secara sopan santun kita akan menyampaikan beberapa pertanyaan sederhana. Misalnya, "Maaf, dari mana, Pak?" 

"Saya dari  Surabaya, kalau bapak dari mana?"

"Kalau saya dari Padang, Pak."

Kemudian kita diam sambil memonitor bahasa tubuh yang di kedepankan "teman" seperjalanan kita. Kalau orangnya langsung diam dan mengalihkan pandangan keluar jendela atau tampak mulai sibuk membaca, maka hal ini merupakan sinyal bahwa yang bersangkutan tidak mau diganggu dengan pertanyaan berikut. Maka jalan paling baik adalah sama-sama menyibukkan diri dengan urusan masing-masing.

Tetapi bila yang bersangkutan tampak antusias dengan cara masih memandang kita sambil tersenyum, maka pertanyaan berikutnya boleh disusul, misalnya:

Lagi tugas atau liburan?
Oya namanya siapa pak?
Dan seterusnya...

Beda Negeri, Beda Budaya dan Takaran Kesantunan

Pada awal tinggal di Australia, saya sempat mengalami semacam culture shock. Suatu waktu ada telepon masuk dan kebetulan putri kami sedang tidak bekerja di rumah, maka saya menjawab panggilan telepon tersebut.

Terdengar suara merdu di ujung sana yang memperkenalkan namanya dan kemudian minta waktu beberapa menit untuk menjelaskan paket rumah masa depan. Rasanya tidak tega menolak orang yang minta waktu hanya beberapa menit saja, maka saya bilang, silakan.

Namun ternyata yang maksudnya paket rumah masa depan adalah rencana penguburan. Saya sempat berang, karena di Indonesia sangat tidak sopan menawarkan rencana penguburan kepada orang yang masih hidup. 

Secara sopan saya katakan, nanti akan saya rundingkan dengan istri, dan kemudian mengakhiri pembicaraan yang membuat hati saya tidak nyaman. Begitu telepon ditutup, putri kami pas tiba di rumah. Menyaksikan wajah saya tidak enak dilihat, maka ia bertanya mengapa?

Saya jelaskan bahwa tadi ada gadis yang kurang sopan karena telah berani menawarkan rencana penguburan kepada saya. Kata putri kami, "Papa tidak usah dipikirkan. Hal itu di sini sangat biasa. Kalau papa tidak suka, lain kali bilang saja, "Sorry, papa lagi sibuk".

Saya hanya mengiyakan, tapi sebenarnya masih dongkol rasanya. Kemudian terpikir oleh saya bila saya bilang, saya sibuk, ntar yang menelpon nanya, "Kapan Anda ada waktu?" Maka sejak saat itu bila ada yang menelpon mau menawarkan "rumah masa depan" saya cukup menjawab dengan santun, "Sorry, no english".

Ternyata "password" ini ampuh. Begitu mendengar saya menjawab "Sorry, no english" maka langsung dijawab, "Oh sorry, thank you and bye". Beres deh.

Kembali ke Judul Tulisan

Di sini kalau pertama kali bertemu, orang saling sapa, "Hi, Good morning, How are you?" Dan kemudian bercerita tentang cuaca bagus. Tidak ada yang bertanya:

nama anda siapa?
datang dari mana?
agama anda apa?
kerja di mana?
berapa umurnya?
dan seterusnya ...

Kalau sudah sering ketemu atau karena memang ada sesuatu urusan dengan diri kita, maka barulah orang menanyakan tentang nama, di mana tinggal, dan seterusnya, kecuali mengenai agama. Karena beragama atau tidak, bagi orang di sini adalah urusan sangat privasi, yang tidak layak ditanyakan.

Kami sudah bergaul dengan banyak orang dari berbagai suku bangsa di Australia ini, tapi tidak seorang pun yang tahu apa agama saya dan begitu juga sebaliknya. 

Kesimpulan: Mengenai perbedaaan kriteria sopan dan tidak sopan, tidak dapat diperdebatkan karena setiap negeri memiliki budaya dan adat istiadat masing-masing.

Hal ini baru menyangkut dalam hal bertutur kata. Sesungguhnya perbedaan terjadi di hampir seluruh ruang hidup, termasuk dalam hal sopan santun dalam berlalu lintas. 

Yakni, kalau di zebra cross tidak pernah ada yang berani membunyikan klakson pada pejalan kaki. Di negeri kita itu adalah hal yang biasa. Yang penting, seperti kata peribahasa, di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung, tanpa harus kehilangan jati diri kita sebagai orang Indonesia.

Tjiptadinata Effendi

***