Tafsir Kepentingan

Gempa bumi berkekuatan 7,4 Skala Richter pun ditafsirkan sebagai Jokowi-Ma'ruf, bahkan surah ke-7 ayat 4 Alquran dan 74 tahun HUT Kemerdekaan RI.

Minggu, 4 Agustus 2019 | 08:33 WIB
0
238
Tafsir Kepentingan
Jokowi dan Iriana di Danau Toba (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Soal gempa semalam, dengan skala richter 7,4, melahirkan banyak penafsir. Tapi tentu saja, namanya tafsir (oleh) manusia, tak bisa dilepaskan dari kepentingan atau frame yang mau dibangunnya.

Kalau yang kepentingannya untuk mendelegitimasi Jokowi-Ma'ruf Amin, ya, bisa dikait-kaitkan. Mana yang kaitannya dengan peringatan dalam Quran Surat ke-7, ayat 4. Apalagi konon terjadinya gempa jam 7.4 malam. Di usia rekiblik yang 74 tahun. Dst. Dst. Intinya, kesalahan karena Jokowi.

Tuhan tidak merestui Jokowi-Amin jadi presiden, makanya tuhan marah. Duh, tuhan kok pemarah? Dari 99 namanya, tak satu pun bersifat negatif.

Kalau tafsir itu dari framing pembelaan pada Jokowi-Amin, ya tinggal di balik frasanya. Sama-sama nyebut gempa itu peringatan tuhan, kalau dari sisi ini, tuhan memperingatkan pada umat manusia yang tak tahu diri. Udah dikasih presiden yang baik kok tetep ngeyel, minta presiden yang jelek kualitasnya dan temperamental meski suka joget, walaupun kalahan. Bukankah angka 7-4 itu sudah menandakan bahasa langit, 7okowi - 4min, kan?

Lha kalau kita ngrembugi tafsir, maka tampak bahwa korupsi itu juga bisa terjadi dalam hal apapun. Termasuk korupsi kebenaran. Apalagi kalau nganggep diri paling bener sak-duniyah ewa-ewa.

Tafsir gotak-gatuk itu, cirinya yang paling pasti; Hanya akan ngambil yang menguntungkan. Pasal yang sekiranya merugikan, pasti disembunyikan, sama sekali tak disebut. Yang kayak gitu itu, sebenarnya tak layak disebut tafsir. Karena tafsir berangkat dari ilmu, dan ilmu kata Al Ghazali, ialah sinar penglihatan dari (tindak) kedzaliman.

Every principle contains in itself the germs of a prophecy and interpretation, ujar Samuel Taylor Coleridge, penyair dan pengritik Inggris permulaan abad 18. Setiap prinsip mengandung sendiri benih-benih sebuah ramalan dan tafsir. Semuanya hanya karena kepentingan.

Dan kita tetep saja gebleg, terkungkung waham kebesaran, merasa paling salih, paling deket tuhan, paling top dan benar sendiri. Mentang-mentang majoritas. Enggan jadi manusia pembelajar. Pantesan makin nyungsep.

***