Korona Mengajak Kita Berkaca

Perbedaan dan permusuhan akan dilampaui melalui pemahaman yang mendalam. Jika ini sungguh terjadi, maka kita harus berterima kasih terhadap Korona.

Selasa, 17 Maret 2020 | 07:53 WIB
0
349
Korona Mengajak Kita Berkaca
Ilustrasi Corona (Foto: wartaekonomi.co.id)

Beberapa mahasiswa bertanya kepada saya. “Bapak tidak takut dengan virus Korona?” Jawab saya sederhana. Kematian karena serangan virus itu hal biasa di dalam sejarah manusia. Sekarang, kita hanya bisa berusaha untuk tetap sehat di dalam badan maupun pikiran. Sisanya serahkan pada alam.

Yang menjadi ketakutan saya adalah dampak Korona terhadap keadaan politik, sosial, ekonomi dan budaya dunia. Kehadiran Korona menyibak luka global yang lebih dalam, yakni penyebaran berita palsu untuk menciptakan ketakutan, ketololan teologis, berkembangnya teori konspirasi sampai dengan rasisme yang meledak. (Zizek, 2020)

Korona memancing kita berkaca tentang penyakit manusia yang sesungguhnya.

Hoaks Global

Berita menggemparkan memang laku dijual. Itulah fakta dunia pers, baik di Indonesia maupun dunia. Jika tak ada berita buruk, maka spekulasi yang mencemaskan lalu diciptakan. Jika ada berita bencana, maka ia harus dibuat segempar mungkin, sehingga menciptakan ketakutan yang berlebihan.

Hoaks adalah berita palsu yang disebarkan sebagai fakta. Ia menciptakan kecemasan pribadi. Ia mempengaruhi keadaan politik dan ekonomi global. Dalam hal virus Korona, industri pariwisata di berbagai negara lumpuh.

Hoaks juga melahirkan kebencian. Kebohongan pasti melahirkan kebencian. Kebencian memecah manusia ke dalam kelompok-kelompok fiktif. Kekerasan dan kematian lalu adalah buahnya.

Ketololan Teologis

Akibat pemahaman agama yang lemah, Tuhan lalu digiring kemanapun. Segala hal selalu dicari sebabnya pada Tuhan. Padahal, manusia diberi kebebasan dan akal budi. Dengan dua hal itu, manusia bisa mengubah dunia.

Ketololan teologis lahir dari kedangkalan berpikir. Ini tentu terkait dengan mutu pendidikan yang rendah di Indonesia. Manusia tak diajak berpikir kritis, rasional dan mendalam. Yang ditekankan dan dipuja justru kepatuhan buta dan mental menghafal.

Buah dari kedangkalan adalah tafsir agama yang sesat. Tafsir sesat melahirkan kebencian di dalam hati. Tafsir sesat juga melahirkan kebencian terhadap orang lain yang berbeda pandangan. Di abad 21, agama dengan tafsir sesat adalah salah satu biang keladi berbagai persoalan politik global.

Teori Konspirasi

Teori konspirasi memang menarik. Intinya, bahwa di balik semua masalah yang ada, ada satu tokoh yang menjadi penjahat utamanya. Tokoh ini bisa satu orang, ataupun satu kelompok. Teori konspirasi telah menginspirasi begitu banyak film maupun novel sepanjang sejarah manusia.

Hal serupa terjadi pada virus Korona. Ia bukanlah kebetulan semata. Ada aktor global yang mendalangi semuanya. Begitulah kata para pendukung teori konspirasi.       Teori konspirasi seringkali mengabaikan data. Ia senang dengan kegemparan. Data yang tak sesuai diabaikan, supaya teori yang menggemparkan bisa tercipta, dan tersebar. Apapun yang menggemparkan lebih cocok berada di film dan novel. Kenyataan terlalu membosankan.

Rasisme

Tersebarnya virus Korona kiranya menyingkap tabir rasisme yang tertutup. Rasisme adalah kebencian terhadap ras lain. Motifnya beragam, mulai dari politik, sejarah sampai dengan ekonomi. Rasisme adalah salah satu bentuk dari heterofobia, yakni ketakutan pada yang lain.

Kali ini, negara Cina yang menjadi sasaran. Mereka dianggap sebagai biang keladi utama penyebaran virus Korona. Di berbagai belahan dunia, warga Cina dan keturunan Cina mengalami diskriminasi. Di sisi lain, upaya menjadikan Cina sebagai pelaku utama ini merupakan salah satu cara untuk melumpuhkan kejayaan ekonomi Cina beberapa dekade ini.

Kebencian juga diarahkan pada para korban virus. Mereka dicaci maki oleh orang-orang yang ketakutan. Tak hanya harus menderita sakit, mereka pun menjadi tumbal dari ketakutan dan kebodohan masyarakat. Sikap berbudaya tinggi yang diajarkan tradisi dan agama tunduk di bawah rasa takut dan kebodohan.

Penyakit Manusia Yang Sesungguhnya

Tersebarnya Korona mengangkat kembali penyakit manusia yang terpendam. Jika karena Korona, umat manusia punah, maka tak ada lagi masalah. Namun, jika karena korona, kita saling membenci dan membunuh satu sama lain, itulah bencana yang sesungguhnya. Korona mengajak kita berkaca.

Korona mengajak kita berkaca tentang kebohongan yang kita ciptakan tentang satu sama lain. Korona mengajak kita berkaca tentang ketololan teologis yang mengendap di dalam hidup beragama kita. Korona mengajak kita berkaca tentang gosip hampa yang kita sebarkan secara buta. Korona juga mengajak kita berkaca tentang kebencian terhadap perbedaan yang bercokol di hati kita.

Korona lalu mengajak kita untuk berpikir lebih kritis dan rasional di dalam menanggapi peristiwa. Ia juga mengajarkan kita untuk beragama dengan lebih cerdas dan seimbang. Di bidang jurnalisme, Korona mengajarkan kita tentang betapa pentingnya kehadiran media yang sehat dan mencerahkan. Kita bisa bersatu sebagai manusia, belajar dari semua ini, lalu menjadi bijak karenanya, asal kita mau.

Melampaui Korona

Pendapat Yuval Harari kiranya tepat. Kita perlu melakukan dua hal di dalam menanggapi Korona. Pertama, kita harus percaya pada kekuatan ilmu pengetahuan di dalam menyelamatkan hidup manusia. Metode ilmiah, terutama dalam bidang medis dan kedokteran, telah berulang kali menyelamatkan manusia dari kehancuran. Seluruh dunia harus mendukung sepenuhnya berbagai penelitian medis untuk memerangi Korona.

Dua, kita perlu melakukan kerja sama global untuk melawan virus ini. Prasangka antarbangsa harus dilampaui. Kebencian karena perbedaan harus dibuang jauh-jauh. Di hadapan musuh bersama, pilihan hanya satu, yakni bersatu.

Jika dua hal ini dilakukan, manusia akan mampu melampaui berbagai tantangan. Budaya dan peradaban akan kembali diselimuti nilai-nilai luhur kehidupan. Perbedaan dan permusuhan akan dilampaui melalui pemahaman yang mendalam. Jika ini sungguh terjadi, maka kita harus berterima kasih terhadap Korona.

***