Bukan Apa-apa Sekaligus Segalanya

Sebagai debu semesta, kita penuh dengan derita. Ini semua berlanjut, sampai kita paham, siapa kita sebenarnya. Aliran filsafat dan spiritual berulang kali mengajarkan, bahwa kita harus “bangun”.

Minggu, 5 April 2020 | 06:57 WIB
0
138
Bukan Apa-apa Sekaligus Segalanya
Ilustrasi manusia dan semesta (Foto: italafeed.com)

Beberapa minggu ini, kita semakin sadar, bahwa hidup manusia itu rapuh. Sedikit penyakit, hidupnya bisa berakhir. Sedikit terjatuh, cacat langsung menimpanya. Sudah mencapai segalanya, harta dan kuasa, namun manusia harus mati meninggalkan semuanya.

Virus nan kecil bisa menganggu kesehatan badannya. Tak hanya itu, sang virus kecil kini menciptakan kepanikan dunia. Ekonomi ambruk. Politik kacau. Masyarakat hidup dalam kecemasan akan kematian.

Virus nan kecil pun tak pilih-pilih. Orang kaya dihantamnya. Orang muda dan tua diserangnya. Orang berkuasa, dengan kuasa politik dan uang, pun tak berdaya.

Begitulah hidup manusia. Amat gemilau, sekaligus juga amat rapuh. Setelah usaha seumur hidup membangun harta dan kuasa, kematian lalu menjemputnya. Kematian bisa memicu derita, namun juga bisa membangunkan kita dari tidur yang sia-sia.

Pada dasarnya, manusia hanyalah debu di alam semesta. Keseluruhan semesta amatlah tua dan luas. Tak ada ukuran pasti. Bahkan, penelitian terbaru menyatakan, bahwa alam semesta terus berkembang dan meluas, tanpa henti.

Sebagai debu semesta, kita tak berdaya. Berbagai peristiwa menghantam kita. Tahun 2020 ini sudah bisa menjadi alat berkaca. Banjir di awal tahun, kini Korona datang menghadang. Semuanya membuat kita panik dan bertanya-tanya.

Sebagai debu semesta, kita penuh dengan derita. Ini semua berlanjut, sampai kita paham, siapa kita sebenarnya. Aliran filsafat dan spiritual berulang kali mengajarkan, bahwa kita harus “bangun”. Kita harus bangun pada kenyataan tentang siapa kita yang sebenarnya.

Gautama, manusia yang hidup lebih dari 2500 tahun yang lalu, menjalani hidup yang serupa. Ia kaget dan cemas melihat usia tua, sakit dan kematian manusia. Ia juga terbangun, ketika melihat sang pertapa mencari yang sejati di tengah hidup yang fana. Perjalanan Gautama adalah perjalanan kita semua.

Derita bisa membuat manusia patah. Namun, ia bisa menjadi titik balik untuk berubah. Di dalam tradisi Yoga, derita mendorong manusia untuk menemukan Mukti, yakni pembebasan dari derita dan bahagia. Setelah melampaui derita dan bahagia, manusia menyatu dengan semesta.

Agama-agama Timur Tengah, yakni Yahudi, Kristen dan Islam, juga mengajarkan hal serupa. Manusia harus melebur ke dalam sesuatu yang lebih besar darinya.

Lepas dari beragam aturan yang ketinggalan jaman, agama-agama Timur Tengah memiliki unsur mistik yang dalam. Sayangnya, di berbagai belahan dunia, unsur itu kini terlupakan.

Kita memang debu semesta. Tetapi, kita juga adalah alam semesta. Begitulah temuan terbaru di berbagai bidang penelitian fisika. Manusia adalah alam semesta kecil yang rumit dan perkasa.

Kita harus sadar dan bangun sepenuhnya pada hal ini. Ini bisa dilakukan, asal kita tidak terjebak pada pikiran dan emosi yang muncul. Kita masuk ke dalam keadaan sebelum pikiran (before thinking arises). Inilah jati diri kita yang asli, yang juga adalah alam semesta itu sendiri.

Berbagai laku spiritual, seperti meditasi dan yoga, adalah upaya untuk kembali ke keadaan sebelum pikiran ini. Jika pikiran muncul, kita cukup secara lembut menyadarinya (gentle awareness). Ketika emosi dan perasaan muncul, kita hanya perlu dengan lembut mengamatinya (gentle observation). Kata “lembut” menjadi amat penting disini.

Kita adalah debu semesta. Namun, kita juga seluas dan seagung alam semesta itu sendiri. Inilah kebenaran yang tertinggi. Dengan ini, kita bisa keluar dari derita kehidupan yang selama ini mencekik.

Rasa sakit kita adalah rasa sakit semesta. Derita kita adalah derita semesta. Dengan kesadaran ini, ada rasa lega di dada. Ada solidaritas yang muncul dengan segala yang ada.

Kita bukanlah apa-apa, sekaligus segalanya. Saat demi saat, hal ini perlu untuk disadari. Saat demi saat, kita perlu bangun seutuhnya pada kebenaran ini. Selamat mencoba. Jika perlu, sampai seribu tahun lamanya.

***