Too Big Too Fail

Agama seseorang tidaklah menjadi halangan siapa pun untuk bisa menjadi presiden di AS. Umat Islam pun bisa menjadi presiden Amerika.

Sabtu, 20 Juli 2019 | 06:39 WIB
0
209
Too Big Too Fail
Stanley J. Harsha (Foto: Kompasiana.com)

"Menurut pendapat saya, di Indonesia tidak ada umat Islam yang jahat, yang ada hanyalah orang-orang kejam yang sudah kehilangan imannya," demikian kata Stanley J. Harsha, seorang diplomat Amerika muslim yang telah tinggal di Indonesia selama hampir 30 tahun.

Beberapa cendekiawan menyetujui bahwa paling sedikit 80% orang Indonesia adalah moderat, kurang dari 20% konservatif, hanya beberapa persen berpandangan ekstrem, dan sangat sedikit yang fanatik, sedangkan kaum fanatik yang ganas jumlahnya sangat kecil.

"Kaum moderat di Indonesia terlalu besar jumlahnya untuk gagal," kata Azyumardi Azra di sebuah konperensi di Aceh pada 2014.

Bagaimana dengan di Amerika Serikat?

Perlu dipahami bahwa Thomas Jefferson, salah seorang pendiri negara Amerika Serikat, adalah pembela gigih kebebasan beragama, termasuk Islam. Thomas Jefferson mengenal Islam karena mempelajarinya. Ia punya Alquran dan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh (lebih daripada kebanyakan umat Islam bahkan pada saat ini). 

Jefferson membeli terjemahan Alquran karya George Sale di sebuah toko buku di Duke of Gloucester Street ketika ia tengah menyelesaikan studi hukumnya di The College of Willam and Mary. 

Sejak 1776 Jefferson sudah membayangkan orang muslim sebagai warga negara masa depan bagi negeri barunya, Amerika Serikat. Entah apakah hal itu karena ia membaca Alquran terjemahan George Sale sehingga ia memiliki sikap toleran yang tinggi pada agama-agama lain.

Tapi toleransinya pada agama-agama lain menyebabkannya dituduh oleh musuh-musuhnya sebagai penganut Islam, seperti juga Barrack Obama. 

Thomas Jefferson mungkin orang Amerika kulit putih pertama yang betul-betul mendalami Islam dan Alquran. Hal ini terlihat bukan hanya pada bagaimana ia bisa berdiplomasi dengan negara-negara Islam, tetapi juga berpengaruh besar pada pembentukan undang-undang yang kelak dijadikan dasar negara hingga hari ini.

Sebagaimana disampaikan oleh Denise A. Spellberg, seorang guru besar sejarah dan kajian Arab di University of Texas, dalam sebuah buku berjudul "Thomas Jefferson’s Qur’an: Islam and the Founders". Jefferson adalah salah satu pendiri bangsa Amerika, yang ketika merumuskan bentuk negara tersebut, mengatakan bahwa suatu waktu nanti Amerika bakal dipimpin oleh seorang muslim.

Maksudnya, agama seseorang tidaklah menjadi halangan siapa pun untuk bisa menjadi presiden di AS. Umat Islam pun bisa menjadi presiden Amerika.

Sejak 1776 Jefferson sudah membayangkan orang muslim sebagai warga negara masa depan bagi negeri barunya, AS. Dan mereka punya hak yang sama dengan warga beragama lain, termasuk Protestan yang mayoritas. Mungkin itu hasil dari hikmahnya membaca Alquran terjemahan George Sale tersebut.

Pendapat tersebut tentu saja sangat kontroversial dan sangat maju bagi sebuah negara yang baru berdiri di atas nilai pluralitas yang tidak berdasar pada agama.

Di Indonesia, tanpa organisasi agama moderat seperti NU dan Muhammadiyah, dan tanpa pemimpin muslim yang mendukung reformasi seperti Gus Dur, Amien Rais, Syafii Maarif, dan Nurcholish Madjid, tidak mungkin ada demokrasi dan hak azasi manusia di Indonesia seperti sekarang ini, demikian kata Stanley J. Harsha.

***