Narasi Hoax Calon Presiden dan Tips Mengatasinya

Rabu, 9 Januari 2019 | 23:55 WIB
0
1159
Narasi Hoax Calon Presiden dan Tips Mengatasinya
Ilustrasi hoax (Foto: Waspada Online)

Sejak genderang Pilpres ditabuh, semua mesin pemenangan mulai ancang-ancang strategi persuasi hingga teknik menjegal lawan. Namun satu hal yang mesti dihindari dari fase kampanye yang sudah diberikan KPU adalah menghindari hoax alias kabar kibul.

Kalau jerat hoax ini dijadikan strategi menjegal kandidat lain, maka komitmen sang kandidat terhadap konsolidasi politik bangsa ini setelah lepas landar dari reformasi , masih perlu dipertanyakan.

Menghindari hoax memang sudah diwanti-wanti KPU sejak awal diumumkannya kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden yaitu Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi. Sebagai sosok panutan di gelanggang kontestasi politik tertinggi nasional, sudi kiranya menunjukkan akhlak politik yang asketis dan menghindari perilaku kampanye hoax.

Dalam UU Pemilu atau PKPU terkait kampanye, baik di media massa maupu media sosial, para tim sukses atau relawan capres-cawapres mewajidbkan dilakukannya pendaftaran resmi akun-akun media sosial yang digunakan untuk berkampanye ke KPU, hal ini guna menghindari tebaran hoax, fake news, dan ujaran kebencian (hatespeech).

Kalau akun medsos saja didaftarkan untuk menghindari hoax, maka sudah sepatutnya kandidat capres-cawapres beserta tim tidak boleh melakukan itu. Namun apa yang terjadi, narasi hoax terus dilakukan dengan penuh kesadaran untuk mengendalikan opini publik. Mungkin, dengan cara ini, mereka anggap bisa menarik perhatian pemilih dan mengelola perhatian itu menjadi insentif elektoral.

Hal ini sudah beberapa kali dilakukan oleh kubu Prabowo-Sandi yang kerap berulang kali menebar hoax bahkan dilakukannya melalui saluran resmi seperti jumpa pers dan pemberitaan media. Belakangan, ketika informasi tersebut diendus publik sebagai berita palsu, barulah Prabowo dan tim kembali meminta maaf.

Repetisi maaf ini sungguh amat berbahaya jika hanya dilakukan demi untuk mengakali hukum, padahal isu sudah kencang terhembus.

Isu hoax terakhir kali yang digulirkan adalah kabar palsu tentang layanan kesehatan yang diberikan Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Prabowo menyebut, RSCM menggunakan satu alat pencuci darah kepada 40 pasien dan hal tersebut membuat pasien dapat menderita sakit ginjal dan penyakit lainnya.

Tentu saja RSCM tidak tinggal diam, pernyataan Prabowo pun langsung dibantah bahwa pelayanan di RSCM selalu mengutamakan mutu pelayanan dan keselamatan pasien, termasuk ya pelanan cuci darah.

Nah, bantahan ini lagi-lagi menjadi bukti bahwa sebenarnya narasi kebohongan yang dibangun Prabowo bukanlah sebatas ketidaksengajaan atau kebodohannya melainkan kesengajaan untuk menyita perhatian publik.

Lantas, mengapa harus kabar kibul terus yang diriwayatkan selama ini? Dari perspektif komunikasi politik, dikenal dengan konsep heteronomi komunikasi dimana seorang komunikator menyampaikan pesan kepada pihak lain dengan didasari prinsip-prinsip moral yang bersifat eksternal bukan karena kesadaran otonom dirinya tentang arti penting moralitas dalam berkomunikasi.

Heteronomi komunikasi itu dipandu oleh prinsip hypotesis imperative, yakni berlakunya syarat mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sebagai contoh, syahwat menang dalam pilpres yang tinggi, membuat kubu Prabowo harus menyerang lawan dengan ragam cara, termasuk hoax.

Padahal, komunikasi yang ideal itu ya yang dipandu oleh prinsip categories imperative dimana tingkah laku seseorang dalam berkomunikasi dilandasi moralitas dari dalam dirinya sendiri, bukan sekedar karena mencapai kepentingan atau tujuan pragmatisnya semata-mata.

Jelaslah bahwa Prabowo dalam urusan berkomunikasi dengan publik banyak dipengaruhi para pembisik yang memang terkadang menjerat dirinya sendiri dalam kubangan berita palsu yang ujung-ujungnya membuat dirinya meminta maaf. Namun kalau ini dilakukan terus menerus, maka kebohongan ini memang dikonstruksi atau disengajakan untuk booming di tengah keriuhan publik.

Supaya kita tak terjerat terus-menerus dalam narasi kebohongan Prabowo dan tim pemenangannya, maka saya ingin mengutip sedikit tips dari William J McGuire dalam Inoculation Theory (1997), yakni kita harus menyuntikan vaksin kekebalan mental agar kita tak terhanyut ke dalam pusaran tawuran opini yang merusak hari-hari kita yang indah ini, terutama merusak hubungan kekeluargaan dan pertemanan.

Ada dua cara; Pertama, kita harus menghormati perbedaan pilihan supaya tidak terjebak dalam narasi kebohongan yang memantik kebencian di antara kita. Kedua, kita harus kritis terhadap informasi yang sampai kepada kita, baik lewat media sosial maupun bisikan dari kerabat kita. Tentu saja tabayyun akan lebih baik dan membuat kita terhindar dari racun informasi hoax.

***