Mi'raj dan Akal Profetis

Kekuatan kajian agama wahyu melalui cahaya filsafat, sebagaimana kisah isra miraj kenabian Muhammad, hampir mematahkan semua argumen-argumen rasional agama wahyu.

Senin, 28 Februari 2022 | 21:47 WIB
0
185
Mi'raj dan Akal Profetis

"Salah satu yang sangat dibutuhkan oleh seorang analis adalah kemampuan untuk menyatakan secara ringkas dan jernih inti dan maksud argumen dan doktrin yang kompleks“ (Charles J. Adams,1924-2011).

Charles Joseph Adams, guru besar emeritus dan mantan Direktur studi-studi Islam dari universitas Mc.Gill Chicago, pernah menuliskan sebuah risalah ihwal kontribusi pemikiran atau filsafat pengkaji Islam modernis asal Pakistan, Prof. Dr. Fazlur Rahman(1919-1988) — yang juga guru pemikir pembaruan Islam di Indonesia, Buya Ahmad Syafii Maarif dan mendiang Nurcholish Madjid(1939-2005) alias Cak Nur — sebagai sosok filosof kontemporer yang menguasai secara paripurna hampir semua sejarah dan doktrin agama-agama wahyu (religions of revelation).

Tak terkira sikap kita pada setiap agama yang telah dianut melalui wahyu-wahyu yang diturunkan dan diterima dari para nabi (prophecys). Karena itu, semua wahyu dikleim sebagai hasil final dari "sejarah Tuhan di bumi“ dan harus bisa dipertahankan sampai kapanpun.

Dari sekian nabi yang telah menerima wahyu langsung dari pemberinya (Tuhan), sekurang-kurangnya tiga yang hingga kini masih berkutat pada perselisihan teologi (truth‘s claim) atau antara doktrin dan ortodoksi, yaitu Yahudi (Moses)-Kristen (Jesus)-Islam (Muhammad) dan ketiga-tiganya harus dirujuk pada "Abrahamic faith“ sebagai pangkal kultus monoteisme.

Meski ketiganya dikenal sebagai "agama wahyu“ (ahlul kitab), satu yang paling seru dalam sejarah kenabian adalah Muhammad (570-632). Atas alasan itu, Fazlur Rahman sebelum diusir oleh otoritas Islam di Pakistan — ketika itu dikuasai "Jamiatul Islam“ Abu Ala‘ Maududi(1903-1979) — pada 1958 telah melakukan kajian atas sejarah filsafat kenabian dan dibukukan oleh George Allen & Unwin Ltd. dengan judul: Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy. 

Buku klasik dari kajian klasik yang mendalam, terutama sumber awal filsafat Islam mulai digeluti — Al-Farabi (wafat 950 M), Ibnu Sina (wafat 1037) hingga Al-Ghazali (1058-1111) dan Ibnu Taimiyah (w.1328 M) serta Ibnu Khaldun (w.1408) — lebih dari cukup untuk merampungkan pada pemahaman kita atas sejarah sekurang-kurangnya dari hasil analisis filosofis profetik (prophetic intellect) ala Fazlur Rahman.

Dengan mendekati cahaya wahyu yang diterima para nabi, sepantasnya tiap nabi memiliki miraj (ميراج) sendiri yang didasarkan atas tiga kekuatan yang diberikan atau diwahyukan oleh otoritas tertinggi (divine authority) melalui imajinasi(l (خيال), akal aktif (عقلي) dan otoritas ilahi (di luar jangkauan nalar) yang maha berkehendak (الارادة). 

Dengan menelusuri tiga kekuatan yang dimiliki mahluk manusia (الانسان), Rahman berhasil menguak tabir cara-cara para nabi, khusus Muhammad dalam Islam, menerima dan memperlakukan wahyu (وحي) dalam dua dimensi, naqliyah (eksoteris) dan ubudiyah (esoteris) atau aqliyah (العقليه). Namun, pada manusia selain nabi yang diberi kekuatan miraj seperti filosof dan mistikus, sebagaimana dikutip Rahman dari Al-Farabi sebagai akal aktif (in actu absoluto), tidak dimandati oleh otoritas ilahi sehingga bisa terperosok ke dalam esoterisme palsu atau pseudo-akal.

Kekuatan kajian agama wahyu melalui cahaya filsafat, sebagaimana kisah isra miraj kenabian Muhammad, hampir mematahkan semua argumen-argumen rasional agama wahyu sebagai fondasi mensejajarkan "akal wahyu“ dan "akal praktis“ yang sering dijadikan rujukan utama untuk memaknai semua perintah agama wahyu. 

Bukankah miraj (harafiah: akal esoteris) itu tidak hanya dimiliki semua nabi? Karena para nabi pun hanya manusia (رجل) yang diberi otoritas penerima wahyu. Karena itu, Ibnu Arabi kelak menyimpulkan kekuatan kreatif kenabian itu dapat diwujudkan dalam "wahdatul-wujud“ (Jawa: Manunggaling Kawulo-Gusti). Atau, dalam tradisi sastra suluk dikenal sebagai masalah monisme (hablul warid). Ibarat bunyi ayat: "Aku lebih dekat dari urat leher manusia.“ Dan Rahman kelak pada 1980 — ketika telah bermukim ke Chicago dan mengajar di universitas Mc. Gill — masih memasukkan tema kenabian (prophecy) dan wahyu (revelation) dalam bukunya: "Major Themes of The Qur‘an“ sebagai tema pokok Al-Quran yang kelima dari delapan tema utama.

***