Data lain tentang Sasrasoeganda, yang kadang ditulis dengan R (Raden) atau Kuwatin di depannya, beredar di kalangan media Muhammadiyah.
Harimurti Kridalaksana menyebut Baoesastra Melajoe-Djawa yang disusun Raden Sasrasoeganda sebagai kamus dwibahasa pertama karangan putra Indonesia. Kata-katanya yang tepat begini: Satu-satunya kekecualian yang harus dicatat di sini ialah kamus Melayu–Jawa yang berjudul Baoesastra Melajoe – Djawa (1916) karangan R. Sasrasoeganda, kamus bilingual pertama yang disusun oleh putra Indonesia.
Begitu yang tertera dalam buku Harimurti Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa (Nusa Indah, Ende, Flores, Edisi II, 1985). Edisi I terbit 11 tahun sebelumnya, 1974.
Kalimat yang saya kutip dari buku itu kemudian memperkaya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi II (1991) dalam uraian tentang “Latar Belakang Perkamusan Indonesia”. Di situ bahkan kutipannya lebih luas. Namun, untuk kutipan seluas itu, KBBI tidak menyebut sumber bukunya. Mungkin Harimurti mengikhlaskan tulisannya dijadikan isi KBBI, karena dia Pemimpin Redaksi KBBI Edisi II itu.
Uraian tentang perkamusan Indonesia itu sendiri tidak banyak berubah sampai Edisi V. Salah satu dari perubahan adalah penggantian ‘bilingual’ yang ada pada edisi II, menjadi ‘dwibahasa’.
Bukan persoalan kutipan yang ingin dibicarakan di sini, melainkan Baoesastra Melajoe-Djawa, kamus dwibahasa pertama susunan putra Indonesia itu.
Kamus ekabahasa pertama ialah Kitab Pengetahuan Bahasa karangan Raja Ali Haji, meskipun bukan kamus murni. Yang ‘lebih murni’, berjudul Baoesastra Djawa dibuat oleh W.J.S. Poerwadarminta bersama C.S. Hardjasoedarma dan J. CHR. Poedjasoedira, tahun 1930.
Baoesastra Melajoe-Djawa, yang saya miliki, digarap di percetakan pemerintah tahun 1915 atas “kersane” (izin) Komisi untuk Bacaan Rakyat (Commissie voor de Volkslectuur) di Betawi. Yang menyusun empat orang, semuanya guru.
Sasrasoeganda (guru bahasa Melayu di sekolah guru di Yogyakarta), menjadi penyusun utama dibantu (‘kabantu’) M. ‘Abdoellah (mengajar bahasa Melayu dan bahasa Jawa di sekolah untuk calon pamongpraja di Blitar), M. Karta-Adi-Soebrata (guru bahasa Melayu di sekolah pamong praja di Magelang), dan M. Sastrasoebrata (guru bahasa Melayu dan Jawa di sekolah guru di Ungaran).
Dalam terbitan 1916 oleh Balai Pustaka, seperti ditulis Bandung Mawardi di Majalah Tempo 20 April 2015, nama penulisnya hanya Sasrasoeganda.
Sasrasoeganda ternyata banyak mengarang buku. Pada sampul belakang Kitab jang Menjatakan Djalan Bahasa Melajoe, tertulis buku-buku lain yang dikarangnya. Selain Kitab Jang Menyatakan Djalan Bahasa Melajoe (1910), juga tercantum Peroempamaan Melajoe yang berisi sekitar 1.000 pepatah Melayu, lalu Alat Karang Mengarang dan Salin Menjalin Bahasa Melajoe-Djawa, kemudian Daftar D, “cekakan paramasastra Djawi, toelada rimbag-rimbag”, serta lima jilid Joedagama. Saya tidak memperoleh keterangan tentang isi buku-buku itu.
Buku terakhir yang saya temukan ditulis di blog mmzrarebook.blogspot.com. Buku itu berjudul Kekesahan Dhateng Rijo (Bepergian ke Riau) yang dicetak Balai Pustaka tahun 1921. Dalam buku yang ditulis dengan bahasa dan huruf Jawa itu Sasrasoeganda bercerita tentang pengalamannya bepergian ke Riau Kepulauan, termasuk ke Pulau Penyengat, tempat tinggal Raja Ali Haji, pengarang Gurindam 12.
Sayang, ketika ke pulau itu dia tidak bersua dengan Raja Ali Haji. Tujuan perjalanan sendiri ingin mengetahui langsung bahasa Melayu (dia tulis Malajeng yang berarti ‘melayu’ dalam bahasa Jawa).
Data lain tentang Sasrasoeganda, yang kadang ditulis dengan R (Raden) atau Kuwatin di depannya, beredar di kalangan media Muhammadiyah. Sebabnya tidak lain karena dia menjadi guru bahasa dan sastra tokoh kemerdekaan asal Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo.
Saya belum menemukan data utama lain seperti tempat lahir dan keluarga. Jika Anda memilikinya, silakan tulis di komentar atau kirim ke saya. Terima kasih sebelumnya...
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews