Masyarakat diharapkan untuk mewaspadai provokasi di masa pandemi Covid-19, termasuk melalui fenomena mural yang tren belakangan ini. Pembuatan mural tersebut dinilai tidak solutif karena hanya membuang-buang biaya dan menciptakan pesimisme rakyat dalam melewati wabah virus Corona.
Pandemi membuat kita memiliki beragam perasaan. Ada yang ikhlas menghadapinya,tetapi ada juga yang negative thinking lalu menyalahkan pemerintah dan presiden. Mereka yang suka marah (biasanya bukan pendukung presiden pada pilpres lalu), melakukan beberapa cara untuk mengekspresikannya.
Di masa pandemi Covid-19, ternyata kita tak hanya berperang melawan virus Covid-19 dan efek negatifnya, tetapi juga provokasi. Mereka yang suka emosi dan menyalahkan keadaan lalu melakukan provokasi agar lebih banyak lagi yang menjadi kroco, sehingga bisa bersama-sama menghujat. Salah satu bentuk provokasi yang belakangan ini dilakukan adalah dengan lukisan mural.
Lukisan mural yang dipotret lalu viral berisi provokasi dan penghujatan terhadap presiden. Meski akhirnya dihapus, tetapi mural tersebut sudah terlanjur populer dan menancap di pikiran masyarakat. Mural, kata sang pembuat, menjadi bentuk kritik pada pemerintah. Namun sayang kritik yang dilayangkan salah karena tidak sesuai dengan fakta yang ada.
Masyarakat diminta untuk tidak terpengaruh dengan provokasi dari mural tersebut, karena buktinya presiden tidak seperti itu. Saat pandemi, apakah beliau tidak ditemukan alias cuek-cuek saja? Faktanya, Presiden Jokowi bisa jadi orang yang paling sedih karena memikirkan nasib rakyatnya, lalu melakukan berbagai cara agar mereka selamat dari ganasnya corona.
Selain itu, apa yang dikatakan oleh mural juga salah besar. Selama ini Presiden Jokowi selalu ada untuk memberi berbagai bantuan terhadap rakyatnya. Untuk mengatasi efek buruk pandemi Covid-19, beliau memberi Bansos, BLT, kartu prakerja, dan berbagai program lain. sehingga rakyat mendapatkan intensif dan bisa survive tanpa bingung harus mencari utang ke mana.
Masyarakat diminta untuk tenang dan tidak perlu memikirkan masalah mural tersebut dengan serius. Jangan malah marah-marah, terprovokasi lalu berpikiran macam-macam, karena hanya menghabiskan energi, waktu, dan juga tenaga. Memang masa pandemi ini banyak orang makin sensitif tetapi sebagai manusia dewasa kita seharusnya tetap stay cool dan tidak mudah tersulut emosi.
Lantas, daripada marah-marah gak jelas dan membuat mural (lalu beresiko dihapus dan ditangkap oleh aparat), bukankah lebih baik bekerja sama untuk mengatasi dampak pandemi? Lagipula membuat mural juga butuh modal yang cukup besar, bisa mencapai jutaan rupiah. Daripada uang tersebut dihamburkan, bukankah lebih baik dijadikan modal usaha dan menjadi pebisnis yang bonafit?
Lupakan saja urusan mural, kritik, dll dan mari singsingkan lengan baju untuk lebih bekerja keras serta berkolaborasi untuk mengatasi efek buruk pandemi. Kalau ada dana lebih, daripada dibelikan cat atau pylox dan dijadikan mural, lebih baik dibelikan sembako dan dibagikan kepada mereka yang membutuhkan. Hal ini lebih mulia daripada marah-marah via mural, bukan?
Di masa pandemi, kita seharusnya lebih mengasah kepekaan sosial. Misalnya dengan berbagi paket sembako, memberi makan anak yatim-piatu dan fakir miskin, atau melakukan penggalangan dana. Kita juga bisa membuat pelatihan entrepreneur online agar mereka yang pengangguran bisa memulai usaha baru dan bangkit perekonomiannya di masa pandemi.
Waspadalah akan provokasi di masa pandemi dan jangan terpengaruh oleh sekadar mural yang dibuat oleh oknum yang iseng. Penyebabnya karena yang ia tuangkan dalam tembok hanya kritik yang menghancurkan dan samasekali tidak berdasarkan fakta. Daripada memikirkan urusan mural, lebih baik kita bekerja sama untuk mengatasi dampak pandemi dan melakukan bakti sosial. (Muhammad Yasin)
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews