Hati yang Riang

Covid adalah penyakit yang lonely. Meminta kita untuk lebih menyendiri. Sebab berkumpul setiap saat tanpa kedekatan hati, apa gunanya. Saya kira itu pesan dari pandemi ini pada kita manusia.

Rabu, 16 Juni 2021 | 08:03 WIB
0
104
Hati yang Riang
Isolasi mandiri (Foto: kompas.com)

"Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang."

Tidak pernah terpikirkan oleh saya betapa amsal ribuan tahun lalu itu menjadi nyata di era pandemi Covid. Apa saat amsal itu ditulis, ada pandemi yang terjadi juga...

Entah.

Yang jelas, meski pandemi telah berlangsung satu tahun lebih, saya baru memikirkan amsal itu kemarin. Saat anak lanang positif terkena Covid. Jefferson mulai panas minggu sore, dan saya bawa ke dokter hari Selasa. Dari Dokter ia dirujuk ke internist di RS Brayat Minulya.

Rabu pagi saya dan Jepri bergegas ke RS Brayat. Ia terlihat ceria, dan panasnya sudah relatif turun dibanding kemarin, meski masih melewati angka 37°C. Ia diminta rontgen, dan terlihat antusias untuk rontgen. Setelah itu kami menunggu antri dokter internist yang lumayan panjang. Kami terus bercanda, bahkan sempat makan bareng di kantin.

Melihat hasil rontgen, dokter menyarankan swab mandiri. Tentu saja saya lakukan drngan sukarela. Jepri pun terlihat senang-senang saja. Ketika hasilnya positif dan Jepri harus masuk ruang isolasi, ia pun masih terlihat senang dan gembira. Sambil menunggu kamar, kami ditempatkan di ruang isolasi IGD. Perawat dan dokter bahkan menyuruh saya menemaninya, meski tentu saja tanpa boleh melepas masker.

Lama juga kami di ruang isolasi itu. Jepri cukup ceria dan tertawa-tawa menonton film di Netflix. Ia berkata, ia berani di ruang isolasi, asal kuota dia harus yang express Tentu saja emaknya mengangguk setuju. Ia juga sempat bercerita, kucing di rumah menolak didekati dia saat ia demam. "Kucing tanpa swab paham virus, Ma... "

Sekitar pukul 1.30 malam, Jepri dipindah ke kamar isolasi. Sejak itu ia tak boleh dijenguk. Ia terlihat tegar, dan berkata agar tak perlu mengkhawatirkan dia. Saya mulai menahan tangis, tak ingin ia melihat saya menangis. Maka mendadak saya jadi cerewet berpesan ini itu: harus banyak makan, pake kaus kaki, gosok gigi, bahkan yang tak berhubungan dengan Covid seperti harus kirim foto selfie setiap pagi.

Saya berhasil tidak menangis di depan dia. Tapi di mobil saya langsung menangis. Sendirian di jalan pada pukul setengah dua pagi, dengan anak diisolasi, mendadak saya merasa nelangsa sekali.

Tetapi kemudian saya mendapati daerah Tirtonadi masih cukup terang. Lampu-lampu berpendar indah dari kafe-kafe baru di situ. Saya teringat, yang paling saya suka dari Solo adalah perasaan bahwa kota ini selalu terasa hidup 24 jam. Tak pernah ada yang menakutkan, bahkan bagi perempuan yang sedang sendiridi jalan seperti saat ini.

Tiba-tiba saya merasa lapar, dan memang sejak sore belum makan. Saya mampir membeli gudeg Bu Kasno untuk dibawa pulang. Saya melihat wajah-wajah ceria sedang makan gudeg di situ. Saya pun teringat, ada banyak kisah menyenangkan saya rasakan saat berkumpul dengan teman pada tengah malam menjelang pagi. Keceriaan yang hanya bisa kita rasakan di Solo.

Saya melanjutkan menyetir. Hati saya sedikit lega. Benar kata Kakak Rani Rumita: driving sometime is the best healing. Saya mensugesti diri, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Justru Jepri dalam penanganan yang tepat.

Bangun pagi saya segera panik. Jepri memberi tahu ia merasa sesak nafas, dan minta pulang. Saya menelepon ruang isolasi dan segera lari ke RS. Meski tentu saja tak bisa menemui Jepri, tapi saya bisa bertemu petugas RS. Jepri dijadwalkan PCR hari itu. Dokter mengatakan segera ia akan diberi obat dan oksigen.

Jepri terus menghubungi saya dengan menangis. Sebagai emak, betapapun cuek dan funky-nya saya, rasanya saya hancur berkeping-keping. Saat itulah, sembari berdoa saya teringat amsal itu.

Saya pulang ke rumah. Entah kenapa saya kemudian tertidur, dan bangun mendapati wa Jepri yang mengatakan ia telah diberi oksigen dan tidak sesak nafas lagi. Ia juga makan banyak, hanya menyisakan 10% nasi (ia betul-betul menyebut 10% itu untuk menggambarkan betapa banyaknya ia makan). Dan sedikit kol karena batang kol yang tebal. "Semua protein aku habiskan..."

Saya jadi ceria mendengarnya. Perawat juga mengabari bahwa saturasi oksigen Jepri 99%. Tensi normal, hanya suhu masih 37,2 dan trombosit di angka 27.000. Perawat menjelaskan, setlah demam 5 hari, seseorang akan turun trombositnya.

Perawat juga mengirimkan hasil PCR Jepri yang positif.

Tapi saya sudah sedikit bergembira. Kemudian saya sedikit tertawa saat perawat berkata, "Mas Jefferson itu sesudah nggak sesak nafas, suka joget-joget sendiri di gang. Ngintip-ngintip. Kami yang memantau dari CCTV jadi tertawa..."

Saya belum pernah sebahagia ini mendengar berita tentang dia. Amsal itu terus terngiang-ngiang di kepala. Dan mendadak saya tersenyum..

Ada banyak orang yang sayang pada saya. Ada yang meminta saya tetap tenang. Karena mungkin tahu saya terkadang emosional dan panik. Tentu saja saya akan berusaha menjalankan pesannya itu. Siapa tahu saya akan dapat senyum manis karenanya.

Teman-teman dolan mengirimi saya aneka kue. Tahu persis betapa saya selalu menyukai kue lebih dari apapun di dunia ini. "Untuk teman isolasi mandiri," kata mereka. Teman lain setia mendengar keluh kesah saya tiap menit.

Kakak Imel mengirimi herbal dan kroket buatannya yang lezat. Seorang Kakak menjanjikan mengirimi racikannya, membuat saya gembira ria membayangkan lezat dan relaxnya. Doa dan simpati tak kunjung henti.

Covid adalah penyakit yang lonely. Meminta kita untuk lebih menyendiri. Sebab berkumpul setiap saat tanpa kedekatan hati, apa gunanya. Saya kira itu pesan dari pandemi ini pada kita manusia.

Saya segera merasa beruntung. Circle saya mungkin tidak luas, terbatas, tapi saya tahu pasti, mereka orang-orang yang benar-benar sayang dan peduli pada kami. Bukan karena ada kepentingan dengan saya...

Hati saya menjadi riang.

***