Dalam Pelukan Negeri di Atas Awan

Tampaknya, penyebaran memang sungguh sulit dibendung sekarang ini. Kita hanya bisa mempersiapkan fasilitas kesehatan yang memadai, serta menjaga kesehatan pribadi masing-masing.

Rabu, 4 Agustus 2021 | 20:50 WIB
0
103
Dalam Pelukan Negeri di Atas Awan
Wisata Bali di kala pandemi (Foto: detik.com)

Pertengahan Mei 2021, saya masih melanjutkan perjalanan di Bali. Tidak ada rencana yang dibuat. Tidak ada jadwal tetap. Kemana hati mengarah, kesana kaki melangkah.

Setelah tenggelam dalam pesona alam dan budaya Ubud, Bali, saya memilih untuk pergi ke gunung. Yang terdekat adalah Gunung Batur, Kintamani, Bali.

Di hati saya, gunung selalu memiliki tempat yang istimewa. Di sekitar, atau di puncak, gunung, saya selalu merasa damai, dan menyatu dengan segala yang ada.

Saya memutuskan untuk berangkat jam 6 pagi. Perjalanan antara Ubud ke Gunung Batur ditemani cuaca dingin yang menusuk tulang.

Jaket saya kurang tebal untuk perjalanan semacam ini. Alhasil, setiap beberapa kilometer, saya berhenti di pinggir jalan.

Sambil berhenti, saya menikmati keadaan. Saya menghirup udara segar dingin dalam-dalam.

Mata saya dipenuhi nuansa Bunga Jepun di setiap jengkal Bali. Pagar-pagar khas Bali juga terbentang sepanjang mata memandang.

Saya sungguh menikmati keunikan arsitektur Bali semacam itu. Berbeda dengan Jakarta, yang sudah tercabut dari rasa khas Indonesia, masyarakat Bali memang sungguh bangga atas budayanya.

Mereka memeliharanya secara sungguh-sungguh. Budaya yang sama pula yang menjadi inspirasi keindahan bagi seluruh dunia.

Satu hal yang menarik: perjalanan lancar sekali. Mungkin, karena hari masih pagi, sehingga jalanan sepi.

Mungkin juga, karena pandemi, masyarakat membatasi banyak kegiatan. Yang jelas, untuk saya, perjalanan pagi itu sangatlah menyenangkan.

Tak lama, saya memasuki Jalan Raya Penelokan. Matahari baru saja terbit.

Saya memilih jalan turun ke Danau Batur. Ah, pemandangannya luar biasa. Saya pun tercengang.

Spontan, saya berhenti. Matahari berwarna keemasan.

Jalanan sepi dari lalu lalang. Udara dingin menusuk tulang.

Semua begitu cerah dan gemilang. Ini seperti di surga.

Perlahan, tetes air mata muncul. Saya menangis, tidak karena sedih, namun karena disentuh keindahan yang melampaui kata-kata.

Beginilah pesona negeri di atas awan. Tak ada kata yang mampu mengungkapkannya. Tak ada nada yang sangguh menuturkannya.

Di dalam keheningan dan keindahan, saya terdiam, dan meneteskan air mata dengan deras.

Disentuh keindahan itu seperti disentuh oleh Tuhan. Tak ada bahasa yang mampu menggambarkannya.

Dada meluap oleh rasa bahagia yang tak terkira. Ada rasa syukur yang tak terkatakan muncul di dada.

Alam adalah Tuhan. Begitu kiranya pandangan panteisme di dalam filsafat.

Banyak pemikir yang mengutarakannya. Berada bersama alam di dalam keseluruhannya berarti berada bersama Tuhan itu sendiri.

Alam pun bukan sesuatu yang tanpa arah dan tanpa pola. Alam punya hukum-hukumnya sendiri.

Inilah yang disebut sebagai Dharma. Dengan hidup sesuai dengan Dharma, orang akan menemukan pencerahan dan pembebasan dari penderitaan hidup.

Sebagai hukum alam, Dharma berlaku universal.

Ada dua yang menjadi pilarnya. Yang pertama, segala hal berubah. Tak ada yang bisa digenggam di dalam kehidupan ini.

Segalanya seperti air dan pasir. Digenggam erat, maka ia akan pergi.

Digenggam dengan lunak, ia akan menetap. Walaupun, dalam perjalanan waktu, ia tetap akan berubah.

Yang kedua, segala hal di dunia tidak akan mampu memberikan kepuasan yang sejati. Benda-benda berubah, maka nilainya pun berubah.

Kekayaan tidak melulu menjadi berkah, tetapi bisa menjadi kutuk yang mengundang kerakusan. Hubungan cinta yang hangat juga amat mungkin berubah menjadi dingin dan membunuh.

Kepuasan sejati hanya ada di dalam diri. Orang perlu melihat ke dalam, yakni ke kesadaran yang bercokol di dalam dirinya.

Disitulah rumah yang memberikan kebahagiaan yang seutuhnya. Tidak di tempat lain.

Masyarakat Bali punya pemahamannya sendiri tentang Dharma. Mereka menyebutnya sebagai Tri Hita Karana.

Secara harafiah, kata ini berarti “Tiga Penyebab dari Kebahagiaan maupun Kesejahteraan Hidup Manusia.”. Tiga penyebab itu adalah harmoni dengan Tuhan, harmoni antar manusia dan harmoni dengan alam.

Ketiga hal ini tampak dalam berbagai bentuk kerja sama di dalam masyarakat, guna mewujudkan harmoni tersebut. Ritual keagamaan dan persembahan diberikan secara rutin kepada para Dewa.

Keindahan alam sungguh dirawat, supaya hidup sebagai keseluruhan bisa lestari. Dengan Tri Hita Karana di dalam hati masyarakat Bali, seluruh keindahan alam dan budaya Pulau Bali menjadi amat terjaga.

Alam indah. Budaya terawat. Warga pun menemukan kebahagiaan dan kesejahteraan di dalam hidupnya.

Bukankah ini hidup yang sempurna?

Arsitektur Bali secara keseluruhan pun amat mencerminkan pemahaman Tri Hita Karana semacam ini. Yang juga unik, Subak, sistem pengelolaan sawah khas Bali, secara langsung merupakan cerminan dari Tri Hita Karana.

Semuanya mencerminkan keterkaitan yang harmonis antara berbagai unsur yang berbeda-beda. Tuhan, Manusia dan Alam berada dalam keterkaitan yang seimbang dan harmonis satu sama lain.

Di bawah sinar mentari pagi Batur, saya melanjutkan perjalanan. Saya seperti dipeluk oleh cuaca pagi.

Kabut pagi masih tebal, namun langsung disertai dengan cahaya matahari yang tajam, dan cuaca yang dingin menusuk. Tak terasa, ternyata sudah waktunya sarapan.

Saya memutuskan untuk berkeliling di sekitar Danau Batur. Air di sana memantulkan cahaya matahari.

Ia seperti cermin bening yang menakjubkan. Sambil menenangkan perut yang terasa lapar, saya berhenti sejenak, menyerap nuansa negeri di atas awan tersebut.

Ada satu tempat kecil yang menangkap mata saya. Ia terletak persis di hadapan Gunung Batur. Sungguh, tempat itu seperti di negeri dongeng. Ia terletak di atas awan. Saya pun melanjutkan perjalan ke sana.

Karena hari masih pagi, tempat itu belum buka. Sejenak, saya menunggu. Tak lama, dua orang datang menghampiri saya. Mereka adalah pasangan suami istri yang memiliki dan mengelola restoran tersebut.

Dengan senyum lebar, mereka mempersilahkan saya masuk. Saya pun memesan makanan dari menu yang tersedia.

Sambil mempersiapkan makanan, saya pun bercakap-cakap dengan mereka. Saya mengajukan pertanyaan tentang keadaan masyarakat Bali sekarang ini.

Bali memang sedang mengalami pemurnian besar-besaran, kata mereka. Uang yang dulu begitu mudah dan cepat kini berhenti.

Kintamani yang dulu begitu ramai oleh wisatawan dari seluruh dunia kini sepi. Bali diajak untuk memurnikan diri, dan kembali ke jati dirinya yang asli, begitu kata Pak Wayan, pemilik dari rumah makan kecil tersebut.

Justru di dalam krisis, kita diuji, begitu katanya. Masyarakat Bali harus tetap menjaga harmoni dengan Tuhan, sesama manusia dan alam keseluruhan.

Perbuatan baik tetap harus dijalankan, supaya seluruh masyarakat bisa melalui semua krisis ini dengan selamat. Berbagai ritual keagamaan, dan upaya untuk menjaga alam, juga perlu untuk terus dijalankan.

Agama haruslah membimbing manusia ke arah keluhuran dan harmoni hidup. Agama tidak boleh menyebarkan kekerasan, apalagi membawa bom untuk membunuh orang lain, begitu katanya.

Pak Wayan memang sangat terpukul dengan tragedi Bom Bali. Ia merasa, Indonesia harus belajar dari spiritualitas Bali, yakni Tri Hita Karana tersebut.

Sebelum membangun restoran yang menghadap langsung Gunung Batur ini, pak Wayan adalah pelayan di sebuah hotel. Ia memutuskan untuk berbisnis dengan meminjam dari institusi di desanya.

Sambil menyantap sarapan, saya merenung di hadapan Gunung Batur. Sampai kapan pemurnian ini akan terus berlangsung?

Di bulan Juli 2021, keadaan justru semakin parah. Pemerintah mempersulit semua jalan masuk ke Bali.

Alasannya tetap sama, yakni mengurangi penyebaran COVID 19. Padahal, masyarakat Bali sangat patuh pada protokol kesehatan. Mereka juga wajib untuk vaksinasi.

Tampaknya, penyebaran memang sungguh sulit dibendung sekarang ini. Kita hanya bisa mempersiapkan fasilitas kesehatan yang memadai, serta menjaga kesehatan pribadi masing-masing.

Sampai kapan Bali, dan kita semua, harus terus menjalani pemurnian, akibat pandemi COVID 19? Jawabannya masih menjadi misteri untuk kita semua…

Juli 28, 2021

***