Tempo Sedang Menggali Kuburnya Sendiri

Walhasil, sepertinya Tempo sedang menuding netizen yang sebetulnya adalah pembacanya sendiri. Tempo sedang mengajak 'perang' konsumennya. Ini kebodohan yang luar biasa.

Minggu, 6 Oktober 2019 | 06:54 WIB
0
519
Tempo Sedang Menggali Kuburnya Sendiri
Saver majalah Tempo yang diadukan (Foto: Detik.com)

Asyiknya, media sekelas Tempo jatuh mempermalukan dirinya sendiri. Dalam salah satu editorialnya Tempo menulis soal bozar-bazer. Tentu saja dengan rasa insinuatif, seperti menghakimi.

Membaca tulisan Tempo, rasanya lucu dan miris. Ternyata media sebesar Tempo menulis soal bazer, tapi ditulis oleh orang yang gak ngerti tentang bekerjanya media sosial. Saya jadi maklum. Wajar kalau orang mulai meninggalkan media ini. Wong, sebuah opini berani disebarkan padahal jelas menunjukkan ketidaktahuannya. Tempo cuma ingin mempertontonkan jaraknya dengan realitas.

Mulanya tulisan itu dibuka dengan protes Tempo pada cuitan tentang batu di ambulans. Bagi Tempo itu adalah hoax. Dasarnya ketika polisi mengatakan bahwa batu dan molotov yang ada di ambulans tidak berkaitan dengan ambulansnya. Mungkin batu dan molotov dibawa oleh perusuh ke dalam ambulans.

Penjelasan polisi bahwa bukan ambulans yang membawa batu dan molotov, tentu tidak menghilangkan fakta bahwa ada kejadian ditemukan batu dan molotov di ambulans. Artinya faktanya memang ada. Kalau kemudian ada yang menyampaikan informasi ke publik, itu sama sekali bukan hoax. Batu dan molotov ada. Tersangkanya sudah ada. Ambulansnya ada. Lantas hoax-nya di mana?

Kedua, soal ada fenomena taliban di KPK. Ini dianggap Tempo sebagai hoax. Istilah taliban pertama dilemparkan oleh ketua police wacth Neta S. Pane. Istilah ini menggelinding. Ade Armando, misalnya, lebih suka menggunakan istilah islamis bukan taliban.

Fenomenanya memang terlihat, kok. Lihat saja simbol-simbol yang ditampilkan sebagian karyawan KPK. Atau masuk saja ke kantor KPK. Telusuri dalamnya. Kita seperti berada di kantor Rodja TV ketimbang di institusi pemerintah. Dan soal ini, sudah lama jadi perbincangan publik.

Kita tahulah, selama ini bagaimana hubungan Tempo dengan KPK. Ada mutualisme. Kalau Tempo menentang revisi UU KPK, ya wajar saja. Dan itu sah.

Yang gak sah, ketika Tempo menyudutkan orang yang berbeda opini dalam melihat KPK, sebagai buzzer. Bukannya mengurus esensi masalah, misalnya membantah fenomena islamis di KPK. Malah sibuk menstempel orang yang beda pandangan. Ya, publik akan membaca bahwa beritanya benar. Tapi cara membantahnya dengan merusak nama orang yang memberitakan.

Ketiga, Tempo menulis bahwa akun-akun medsos pengkritik pemerintah banyak yang diberangus. Seolah menuduh pemerintah yang melakukan. Inilah yang saya maksud Tempo benar-benar tidak tahu cara kerja media sosial.

Yang bisa men-takedown akun di medsos, selain pemiliknya sendiri juga platformnya. Platform (FB, Twitter, IG, YouTube) hanya men-takedown akun apabila kontennya tidak sesuai dengan etika komunitas yang mereka rumuskan. Salah satunya dibuktikan dengan pengaduan pengguna lain.

Jadi pemerintah sama sekali gak bisa meng-takedown sebuah akun. Hanya platform yang bisa. Kecuali platformnya ditutup sekalian seperti pernah terjadi pada Instagram.

Keempat, Tempo meminta pemerintah menertibkan buzzer. Ini lebih aneh lagi. Dengan dasar apa ditertibkan? Seruan ini mirip kosa kata Orde Baru.

Sepertinya Tempo tidak bisa membedakan mana buzzer, mana influencer, mana cybertroop atau yang mana cyberboots. Tempo seperti menuding influencer, orang yang opininya banyak diikuti follower, sebagai buzzer.

Padahal buzzer (bazer) adalah orang yang hanya mendengungkan sebuah pesan. Pesannya sudah dirancang dan buzzer hanya mengamplifikasi saja. Sedangkan influencer adalah penyampai opini. Beda banget dengan buzzer.

Contoh paling konkret buzzer adalah Tempo dan Gerindra. Dalam salah satu twitnya, akun Gerindra dan akun Tempo isinya sama persis. Entah siapa membazeri siapa.

Yang paling jelas, sepertinya Tempo gagap melihat fenomena era media sosial ini. Informasi yang tadinya berada di tangan media seperti Tempo, kini di era medsos terdistribusi ke semua orang. Setiap orang bisa menuliskan opininya, disebar diakunnya, sama seperti redaksi Tempo. Artinya setiap orang bisa jadi juru warta.

Bedanya, jika netizen menyebar hoax, ancaman hukumannya empat tahun penjara. Kalau media seperti Tempo menyebar hoax, hukumannya hanya menerbitkan hak jawab. Artinya, ngapain Tempo mengurus netizen yang pagarnya sudah tinggi itu.

Yang perlu diwaspadai justru hoax, disinformasi, atau penggiringan opini yang dilakukan media. Risikonya rendah. Dan media jelas-jelas sebagai institusi bisnis yang tujuannya cari profit. Motif untuk melakukan manipulasi informasi jauh lebih besar dilakukan oleh media ketimbang netizen.

Walhasil, sepertinya Tempo sedang menuding netizen yang sebetulnya adalah pembacanya sendiri. Tempo sedang mengajak 'perang' konsumennya. Ini kebodohan yang luar biasa.

Hasilnya. Rating Tempo di Google Apps, anjlok drastis. Demikian juga harga sahamnya. Melorot seperti celana kebesaran.

Walhasil. Tempo sedang menggali kuburnya sendiri.

Innalillahi.

***

Keterangan: tulisan ini sudah tayang sebelumnya di Tagar.id dengan judul "Tempo Tempo Buzzer".