Tantrum

Tantrum salah satu bentuk paling umum dari perilaku bermasalah pada anak-anak. Cenderung menurun dalam frekuensi dan intensitas ketika anak tumbuh.

Selasa, 3 September 2019 | 06:43 WIB
0
250
Tantrum
Ilustrasi anak tantrum (Foto: Kompas.com)

Di sebuah yayasan pengasuhan anak-anak, ada seorang anak asuh yang suka tantrum. Apalagi kalau punya ingin, dan keinginannya tak dituruti. Aksi tantrumnya, bukan hanya nangis sekencang-kemcangnya. Kadang ekstrim, lompat pagar gedung panti, atau naik ke atap gedung.

Tantrum (atau tantrum temper) adalah ledakan emosi. Biasanya dikaitkan dengan anak-anak atau orang-orang dalam kesulitan emosional. Ditandai dengan sikap keras kepala, menangis, menjerit, berteriak, menjerit-jerit, pembangkangan, mengomel marah, resistensi terhadap upaya untuk menenangkan dan, dalam beberapa kasus, kekerasan.

Bagaimana para ibu asuh mengatasi anak yang saya ceritakan itu? Jawabannya mengejutkan; didiamkan!

Itu karena selama ini polanya seperti itu. Pada awalnya, para ibu-ibu pengasuh tentu saja panik. Namun karena aksi tantrum itu berulang-ulang, dengan cara mendiamkannya, artinya betah-betahan bertahan dalam sikap masing-masing (yang satu minta perhatian, satunya membiarkan untuk justeru ‘tidak memperhatikan’ alias membiarkan). Cara itu efektif.

Namun tentu saja, itu bukan resep ampuh menghadapi setiap anak. Tak pernah ada resep tunggal untuk kasus-kasus anak manusia, apalagi berkait sosio-psikologisnya.

Tantrum salah satu bentuk paling umum dari perilaku bermasalah pada anak-anak. Cenderung menurun dalam frekuensi dan intensitas ketika anak tumbuh. Pada balita, tantrum atau amukan dianggap normal, sebagai pengukur pengembangan karakter.

Sementara amukan kadang dilihat sebagai prediktor anti-sosial pada masa depan. Ia dianggap sekadar tanda frustrasi berlebihan sesuai dengan usia. Soal berkurang (bertambah), seiring kualitas penanganan yang konsisten atau tidak.

Namun Selma Fraiberg, psikiater, memperingatkan tekanan luar dan control berlebihan dalam membesarkan anak, justeru bisa memprovokasi tantrum dan bibit pemberontakan. Dalam beberapa hal ada yang disebut sejenis tantrum narsisme situasional..

Pada intinya, tantrum atau amukan demikian, memiliki satu tujuan: membuat keadaan di sekitarnya tidak nyaman sampai seseorang (yang ditantrumi) memberikan apa yang diinginkan. Tapi, celakanya, jika dia mendapat yang diinginkan, tantrumnya akan lebih sering.

Itu kalau mengenai jiwa atau psikologisme anak-anak, atau seorang individu manusia. Kalau anak bangsa? Dibiarkan? Tapi, saya ingin ceritakan kasus tantrum yang lain. Masih dari lembaga pengasuhan yang sama. Ada seorang anak yang ‘minggat’ dari panti. Apa tindakan ibu pengasuh? Sama. Dibiarkan.

Menurut cerita, anak yang minggat itu keluyuran di jalanan (jadi anak jalanan). Tapi hanya beberapa hari. Kurang dari seminggu. Anak itu balik lagi ke panti. Daya survivalitasnya rendah. Ia merasa sendirian. Tak punya komunitas. Hidup di jalanan lebih merana. Keras. Mungkin saja ia tidak kuat menjalani. Karena sejarah yang berbeda. Mungkin.

***