Antara Kafir, Orang Sholat, dan Capres Ijtima Ulama

Terima kasih kepada tetangga yang berani mengkritik pengurus masjid untuk tidak mengundang penceramah yang suka memprovokasi jamaah.

Minggu, 31 Maret 2019 | 22:28 WIB
0
323
Antara Kafir, Orang Sholat, dan Capres Ijtima Ulama
Habib Muchsin Alatas (Foto: Chipstory)

Jujur saya jarang sholat di masjid. Apalagi untuk sholat Subuh berjamaah. Saya ke masjid biasanya untuk sholat Jumat itupun bila saya pas ada di rumah.

Salah satu alasan saya malas datang ke masjid di kompleks rumah saya karena beberapa kali saya mendengar khotbah Jumat yang menyerang pemerintah, lebih banyak kata kafir, haram, dan bidah yang diumbar, bahkan kata-kata itu disuarakan makin keras saat menjelang Pilkada DKI 2017 padahal jamaah tinggal di kawasan Jatiasih dan Jatirasa, Bekasi, yang sebagian besar warganya tidak punya KTP DKI.

Zaman ramai-ramainya demo berseri dua tahun lalu untuk menjatuhkan Ahok - dari 411 sampai 212 - masjid dekat rumah saya beberapa kali mengundang penceramah-penceramah dari FPI dan dari ormas terlarang HTI yang mengusung khilafah dan anti Pancasila.

Menurut kabar yang beredar pengurus masjid dekat rumah saya sudah dikuasai kader-kader PKS dan simpatisan HTI karena warga lain yang kader-kader NU memilih diam dan mengalah. Jadi, harap maklum, jika pengurus masjid suka mengundang penceramah dan khotib yang hobi menjelek-jelekkan pemerintah dalam ceramah atau khotbahnya.

Tapi saat subuh tadi saya bela-belain datang ke masjid untuk sholat Subuh berjamaah bersama warga kompleks. Saya datang pas lagi rakaat pertama. Saya dapat shaf paling belakang.

Jamaah yang sholat Subuh berjamaah pada Sabtu (30/3) tadi tidak sebanyak yang saya bayangkan. Tidak full-house dan meluber seperti sholat Jumat (28/3) siang kemarin atau sholat-sholat Jumat sebelumnya.

Padahal pengurus masjid sudah mengundang Habib Muchsin Alatas -salah satu pejabat teras FPI yang baru saja mengundurkan diri dari Caleg PBB karena ketua umumnya dan partainya memilih pasangan Jokowi-Amin pada Pilpres 2019 ini- untuk menyampaikan kuliah subuh dengan embel-embel “Taat Komando Ulama” seperti yang terpampang di poster-poster yang dipasang di gapura kompleks, taman umum kompleks (tanpa persetujuan seluruh warga), dan di pekarangan masjid.

Alhamdulillah saya tidak menemukan kata-kata keras keluar dari mulut Habib Muchsin Alatas yang menyerang pemerintah.

Ia menyinggung soal istilah Islam Nusantara dan penyebutan non-muslim yang digagas NU. Ia bahkan berani menyebut NU terima proyek dengan jumlah uang sangat besar untuk mengkampanyekan Islam Nusantara. Dan soal penyebutan non-muslim dia bilang tidak bisa untuk mengganti kata kafir.

“Kafir, ya, kafir. Tidak bisa kafir diganti dengan (kata) non-muslim.”

Menarik saat Habib Muchsin Alatas membahas soal sholat. “Kita kalau pilih calon mantu jangan lihat dia pakai jas dan dasi. Tapi coba lihat apakah dia sholat. Kita harus pilih orang yang sholat untuk jadi mantu kita,” jelas Habib Muchsin Alatas.

Lanjut Habib Muchsin Alatas, “Sholat itu ada di atas (seperti) kepala kita. Orang yang buntung tangan dan kakinya kalau masih punya kepala masih bisa sholat. Tapi orang yang tidak punya kepala - walau tangan dan kakinya sempurna - pasti tidak bisa sholat. Kalau Bapak-bapak lihat orang tanpa kepala apa namanya? Setan, kan. Kalau Bapak-bapak peluk istri di rumah tapi istri tidak sholat berarti Bapak-bapak pelukan sama setan.” Sebagian hadirin tertawa.

Sebelum ceramah kuliah subuhnya berakhir, selain berharap pemilu berjalan jujur dan adil, Habib Muchsin Alatas menyinggung netralitas wasit dalam pemilu. Yang dimaksud wasit dalam pemilu adalah aparat keamanan (polisi). Ia menyebut satu contoh kejadian di Bima, NTB, yang ia peroleh dari medsos. Alih-alih tabayun menunggu klarifikasi dari pihak-pihak yang terkait berita yang belum tentu benar itu Habib Muchsin Alatas menganggap kabar itu sebagai salah satu contoh wasit tidak netral.

Di akhir kata Habib Muchsin Alatas meminta jamaah untuk pilih pasangan Capres-Cawapres Hasil Ijtima Ulama padahal pengakuan dia sendiri bahwa pengurus masjid sudah mengingatkan untuk tidak bahas masalah pilpres dalam kuliah subuh pagi tadi.

Untuk diketahui, saat ini di sekitar pekarangan masjid ada dua spanduk dari kepolisian yang mengajak warga masyarakat untuk datang nyoblos ke TPS pada 17 April 2019 dan menjauhkan masjid untuk menjadi ajang kampanye pemilu dan penyebaran fitnah dan hoax terkait pilpres.

Saat saya ingin bertanya kepada Habib Muchsin Alatas entah mengapa pengurus masjid tidak memberi kesempatan. Padahal materi pertanyaan saya terkait kuliah subuh yang disampaikannya:

1. Berani tidak Habib Muchsin Alatas bilang langsung di depan muka Prabowo bahwa keluarga Prabowo kafir karena ibunya kristen, kakak pertamanya katolik, kakak keduanya kristen, dan adiknya kristen - bahkan keluarga besar Prabowo ada yang yahudi?

2. Apa pendapat Habib Muchsin Alatas mengenai pasangan Jokowi-Amin yang lebih jelas Islamnya dibanding Capres yang keluarganya kafir dan Cawapres yang sekolah dan kuliah di lingkungan kristen, katolik, dan yahudi?

3. Mengapa Habib Muchsin Alatas tidak menganjurkan jamaah memilih Jokowi-Amin yang lebih jelas Islamnya, lebih jelas sholatnya, dan bisa jadi imam sholat?

Mengapa, Bib, mengapa?

Mesti tak mendapatkan jawaban Habib Muchsin Alatas betapapun saya puas datang ke masjid Subuh tadi. Setidaknya saya sudah ikut “mencegah” penyebaran fitnah dan hoax yang mungkin saja terjadi. Saya bersyukur aparat keamanan (Polri dan TNI) memainkan peran penting mencegah terjadinya ujaran kebencian, fitnah, dan hoax di masjid-masjid menjelang pemilu tahun ini.

Dan terima kasih juga kepada para tetangga yang berani mengkritik pengurus masjid untuk tidak mengundang para penceramah yang suka memprovokasi jamaah. Sebab agama Islam sejatinya mengajarkan kedamaian untuk seluruh isi alam, termasuk di kompleks perumahan tempat saya tinggal lebih dari 22 tahun ini. 

***