Kritik atas Nalar Religius

Tanpa pemahaman semacam itu, agama akan merusak hidup manusia, menindas hak-hak asasi manusia, serta menciptakan perang yang tak berguna.

Jumat, 26 November 2021 | 11:26 WIB
0
120
Kritik atas Nalar Religius
Lukisan orangtua (Foto: rumahfilsafat.com)

Tiga buku Immanuel Kant membentuk wajah Filsafat Eropa Modern. Judulnya adalah Kritik der reinen Vernunft (Kritik atas Rasio Murni– 1781), Kritik der praktischen Vernunft (Kritik atas Rasio Praktis– 1788) dan Kritik der Urteilskraft (Kritik atas Kemampuan Mempertimbangkan – 1790). Sampai detik ini, banyak orang masih membaca buku-buku tersebut. Di dunia akademik, pandangan Kant di dalam buku-buku itu masih menjadi tema penelitian yang terus relevan.

Kata Kritik bukanlah berarti ketidaksetujuan. Di dalam ketiga buku itu, kata kritik berarti penyelidikan yang menyeluruh. Kant memang ingin memeriksa tiga kemampuan dasar dari pikiran manusia, yakni soal pengetahuan, moralitas dan estetika. Untuk Indonesia, pola kritik serupa kiranya diperlukan untuk hidup beragama.

Nalar Religius

Ada tiga ciri dari nalar religius yang berkembang di Indonesia di awal abad 21 sampai sekarang. Pertama, nalar sehat cenderung tiarap, dan digantikan dengan kepercayaan buta. Apapun yang bersifat buta, pasti membawa masalah. Nalar religius yang buta semacam ini menelan mentah-mentah pemahaman dari masa lampau, dan memaksakannya untuk masa kini. Kebodohan dan konflik pun tak terhindarkan.

Dua, nalar religius cenderung tertutup. Pandangan lain, yang lebih relevan dan maju, cenderung ditolak. Nalar tertutup melahirkan intoleransi pada perbedaan. Agama dengan nalar tertutup cenderung menindas hak-hak asasi manusia, terutama perempuan, dan menganggu harmoni hidup bersama.

Tiga, nalar kematian berkembang pesat di dalam nalar religius. Ini kiranya sesuai dengan pandangan Nietzsche. Nalar kematian membuat agama merusak kehidupan disini dan saat ini demi mencapai surga yang tidak pernah ada. Nalar kematian akan menghasilkan agama kematian.

Tiga nalar tersebut membuat agama menjadi korup. Agama adalah lembaga buatan manusia. Ada pertarungan kepentingan di dalamnya. Tanpa perubahan, tiga nalar tersebut akan merusak agama dari dalam, dan menghancurkannya.

Revolusi atas Nalar Religius

Maka, di Indonesia, nalar religius harus mengalami perubahan mendasar. Pertama, nalar religius harus menjadi nalar kritis. Segala ajaran harus dikaji sejarah dan dasar berpikirnya. Hanya ajaran yang lolos dari kajian kritis dan historis yang layak untuk diterapkan.

Dua, nalar religius harus menjadi nalar terbuka. Agama harus terbuka pada ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Agama juga harus terbuka pada perubahan kehidupan manusia yang semakin kompleks. Hanya dengan memeluk nalar terbuka, agama menjadi sahabat bagi kemanusiaan dan kehidupan.

Tiga, yang terpenting, nalar religius harus terbuka pada hukum-hukum kehidupan (Dharma). Kehidupan adalah segalanya di alam semesta. Alam semesta sendiri adalah sesuatu yang terus berkembang, karena ia hidup, bagaikan kesadaran kosmik yang maha luas. Agama harus berjalan berbarengan dengan hukum-hukum abadi alam semesta (Sanatana Dharma) yang merupakan sumber dari segala sesuatu tersebut.

Dharma itu bersifat universal. Ia tidak hanya berlaku untuk satu kelompok tertentu. Inti Dharma sangatlah sederhana, bahwa pada hakekatnya, kita semua adalah satu dan sama. Segala hal berada dalam keterkaitan yang tidak terpisahkan dan saling membutuhkan satu sama lain, karena itu semua adalah bagian dari alam semesta yang sama.

Tanpa pemahaman semacam itu, agama akan merusak hidup manusia, menindas hak-hak asasi manusia, serta menciptakan perang yang tak berguna. Kritik (penyelidikan menyeluruh) atas nalar religius di Indonesia harus terus dilancarkan, supaya ada perubahan mendasar di dalam kehidupan beragama. Jangan sampai agama dijadikan alat pembenaran untuk kebodohan, penindasan dan kekerasan. Jika itu terus terjadi, Indonesia akan terus menjadi lelucon di dunia internasional, dan akhirnya lenyap ditelan lautan sejarah.

***