Memaknai 'Sepi ing Pamrih' atau Kemurnian Hati

Dengan melatih sikap-sikap itu manusia meninggikan kemampuannya untuk menentukan arah perkembangannya, dan tidak diombang-ambing segala macam emosi, nafsu, perasaan dangkal.

Kamis, 26 Desember 2019 | 08:28 WIB
0
328
Memaknai 'Sepi ing Pamrih' atau Kemurnian Hati
ilustr: oasisconnect.com

Kemampuan untuk mendengarkan suara hati dan untuk bertindak sesuai dengannya tergantung pada apakah kita mampu membebaskan diri dari penguasaan oleh berbagai macam perasaan dan dorongan irrasional yang terus menerus merongrong kesatuan tekad kita. Tatkala misalnya nafsu-nafsu condong untuk menguasai kita sehingga kita melakukan hal-hal yang kemudian kita sadari sebagai rendah atau merendahkan.

Di antara dorongan-dorongan irrasional itu termasuk perasaan takut terutama terhadap orang lain, yang membuat kita tidak berani menentang bujukan busuk dari lingkungan dan tidak sanggup untuk mengambil sikap secara mandiri. Kekhawatiran bahwa kita akan dikritik, ditegur atau ditinggalkan oleh orang-orang yang dekat dengan kita. Nafsu untuk memiliki dan menguasai. Perasaan malas, malu-malu, dendam, iri, dengki, benci, dan banyak perasaan lain lagi.

Semua perasaan, kecondongan dan nafsu itu cenderung untuk mencegah kita dari mendengarkan suara hati kita karena seakan-akan mengikat perhatian kita sepenuhnya dan membuat kita tidak lagi terbuka bagi kesadaran-kesadaran hati yang lebih halus, seperti kesadaran akan tanggung jawab kita sebagai manusia.

Dikuasai oleh perasaan-perasaan irrasional itu adalah mirip dengan orang yang panik, yang sudah tidak dapat melihat dan mendengarkan apa pun karena ia seluruhnya digenggam oleh naluri buta untuk lari menyelamatkan diri.

Perasaan-perasaan dan kecondongan-kecondongan itu tentu biasanya tidak sedemikian mutlak mencekam kita, namun semua cenderung untuk semakin menguasai kita. Oleh sebab itu, sebagaimana kita pernah mengalami, kebebasan eksistensial kita semakin berkurang tatkala kita tidak mau bertanggungjawab, karena itu berarti bahwa kita semakin membiarkan diri dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan irrasional itu.

Maka salah satu usaha terpenting bagi perkembangan kekuatan batin kita ialah berusaha untuk semakin membebaskan diri dari cengkeraman kekuatan-kekuatan irrasional dari dalam diri kita. Penguasaan oleh kekuatan-kekuatan itu dalam bahasa Jawa disebut pamrih. Manusia tidak mampu menjadi dirinya sendiri, dalam arti menguasai diri, kecuali ia menjadi sepi ing pamrih, bebas dari pamrih.

Manusia yang bebas dari pamrih tidak lagi perlu gelisah dan prihatin tentang dirinya sendiri, ia semakin bebas dari nafsu ingin memiliki, ia mengendalikan nafsu-nafsu dan perasaannya. Karena ia sepi ing pamrih, ia dapat semakin rame ing gawe, artinya sanggup untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawab yang menantangnya.

Dalam tradisi kerohanian barat pun apa yang di Jawa dimaksud dengan sikap sepi ing pamrih dikenal dan diungkapkan dengan tiga upaya, yaitu 'recta intentio' (maksud yang lurus) , 'ordinatio affectuum' (pengaturan perasaan) dan 'purificatio cordis' (pemurnian hati). Recta intentio membuat kita sanggup untuk mengejar apa yang memang kita rencanakan, tanpa dibelokkan ke kiri atau ke kanan.

Ordinatio affectum berarti bahwa kita tidak membiarkan diri begitu saja digerakkan oleh nafsu-nafsu, emosi-emosi, perasaan-perasaan, kecondongan-kecondongan kita, melainkan semua dorongan itu dapat diatur sehingga mendukung dan tidak mengacaukan sikap tanggung jawab kita.

Purificatio cordis ialah pemurnian hati dari segala pamrih, nafsu kotor dan kepalsuan. Tujuannya adalah kemurnian sikap dasar; agar kita menjadi manusia baik tanpa kepalsuan sampai ke akar-akar kepribadian, bagaikan air dalam yang jernih sampai ke dasar. Segala apa yang jahat, miring, kotor, nafsu-nafsu seperti dendam dan iri hati tidak dapat berkembang dalam kejernihan itu.

Orang yang murni tidak dapat dikalahkan oleh apa pun, jadi ia menjadi kuat. Sekaligus daya penilaiannya menjadi jernih sehingga ia sanggup untuk melihat kewajiban dan tanggung jawabnya dengan lebih tepat daripada orang yang mata hatinya masih digelapkan oleh kepentingan diri dan nafsu.

Dengan melatih sikap-sikap tersebut manusia meninggikan kemampuannya untuk menentukan sendiri arah perkembangannya, dan untuk tidak diombang-ambingkan oleh segala macam emosi, nafsu, perasaan dangkal dan sebagainya. Jadi pengembangan sikap-sikap itu membuat kepribadian kita menjadi lebih kuat, lebih otonom, lebih mampu untuk menjalankan tanggung jawab kita.

Demikianlah tulisan sederhana ini bukan bermaksud untuk menggurui namun sekadar berbagi. Semoga bisa bermanfaat untuk pengembangan kepribadian kita.

***
Solo, Kamis, 26 Desember 2019. 8:22 am
'salam hangat penuh cinta'
Suko Waspodo
suka idea
antologi puisi suko