Mereka Menebar Damai lewat Menulis

Kamis, 21 Februari 2019 | 21:36 WIB
1
549
Mereka Menebar Damai lewat Menulis
Para penulis perempuan di acara PepNews seputar Pemilu Damai - Foto: PepNews

Keseharian mereka adalah menulis. Latar belakang mereka sebagian memang jurnalis, hingga ada juga yang memilih kepenulisan sebagai hobi, walaupun berasal dari profesi berbeda-beda. Hari Minggu itu, mereka berkumpul di Hotel Santika, mengikrarkan diri untuk menebar damai lewat apa saja yang mereka tulis.

Beberapa dari mereka adalah penulis perempuan. Tak terkecuali istri saya sendiri, Christine Mariska, selain juga ada Indria Salim, Riap Windhu, Uli Hartati, Siti Afifiyah, Elisa Koraag, Tamita Wibisono, Lisa Moningka, Andi Mirati Primasari, Lita Chan Lay, Maya Siswadi, Lia Wahab, dan beberapa nama lainnya.

Ringkasnya, lebih dari 10 penulis perempuan turut meramaikan acara bertajuk Deklarasi Pemilu Damai: Lawan Intoleran, Radikalisme, dan Terorisme, yang berlangsung pada 17 Februari 2019 tersebut.

Kenapa penulis perempuan lebih mencuri perhatian saya? Tentu saja karena merekalah yang paling dapat diharapkan untuk berada di depan untuk berbicara tentang kedamaian. Bukan apa-apa, sebab jika menelusuri sejarah perang dunia pun, hampir tidak ada perempuan yang berdiri di depan untuk berperang. Namun mereka banyak berada di depan untuk melahirkan kedamaian.

Melihat mereka, pikiran saya terlempar kepada sosok-sosok seperti R.A Kartini yang lantang bersuara lewat pena, ketika tulis menulis belum menjadi budaya yang lengket dengan banyak orang. Apa yang ia suarakan, bukanlah suara untuk menabuh genderang perang, tetapi suara bagaimana kedamaian menjadi milik perempuan, dan menularkan kedamaian itu kepada lebih banyak orang tanpa tersekat oleh jenis kelamin.

Mereka juga membuat pikiran saya terlempar kepada sosok Mother Theresa, yang merupakan sosok perempuan dunia yang juga menarik perhatian saya. Betapa, dari tangannya, ia banyak mengusap banyak orang-orang lemah, orang-orang susah, dan orang-orang terpinggirkan. Dengan caranya, Mother Theresa berbicara damai tidak saja lewat mulutnya, tetapi juga lewat tangannya.

Ya, di hari itu berlangsung, saya sendiri memang menjadi pembicara bersama dengan Eli Salomo, selain juga Pepih Nugraha sebagai tuan rumah acara tersebut. Namun, di benak saya terpikir di sela-sela cuap-cuap, bahwa selihai apa saja saya berbicara tentang damai hingga bagaimana berbicara toleransi, namun suara mereka para perempuan akan jauh lebih kuat dibandingkan suara saya sendiri. 

Ini bukan urusan siapa yang berteriak paling keras. Ini juga bukan urusan siapa yang paling banyak bersuara dan berbicara. Ini persoalan kekuatan yang memang saya yakini dimiliki oleh kalangan perempuan. Maka itu, ketika di depan mereka saya berbicara seputar intoleransi dan bagaimana menciptakan mental toleran, di pikiran bergelayut harapan, supaya pesan itu pun ditebarkan oleh mereka. Oleh perempuan. 

Di sini saya sangat mengapresiasi sosok yang menjadi otak di balik acara ini, yakni Pepih Nugraha (Kang Pepih). Pasalnya, ia membuka kesempatan untuk acara seperti ini tidak melulu hanya untuk kalangan laki-laki, tapi ia juga membuka pintu itu untuk kalangan perempuan. Jenis kelamin tidak menjadi sekat untuk sebuah acara yang memang dibutuhkan, supaya lebih banyak yang menyuarakan kedamaian, terlebih menjelang perhelatan rakyat bernama Pemilu.

Seperti sering saya singgung di tulisan-tulisan saya, bahwa urusan konflik hingga perang lebih banyak dilakoni laki-laki. Namun kedamaian lebih banyak dilahirkan oleh perempuan. Bukan rahasia, bahkan dengan menatap wajah mereka saja bikin hati terasa damai, kan?

Lihat wajah laki-laki, cenderung lebih banyak mewakili intrik, obsesi, ambisi, dan cenderung mau melakukan apa saja untuk mengejar obsesi mereka. Terlepas perempuan pun bisa memiliki karakter ini, namun dalam urusan untuk menyuarakan damai dan menciptakan damai itu sendiri, lagi-lagi perempuan juga yang memang paling pantas diharapkan.

Maka itu, keberadaan mereka di acara seperti dihelat PepNews hari itu, memberikan saya harapan, semoga ke depan akan lebih banyak kegiatan positif yang berisikan pesan-pesan damai yang melibatkan perempuan. Terlebih saya tahu, sosok Kang Pepih, memiliki banyak gagasan, semoga saja ia bisa melahirkan lebih banyak kegiatan yang melibatkan perempuan. 

Terutama ketika acara-acara diadakan mengangkat tema yang berhubungan dengan damai, dan perempuan semakin banyak dilibatkan, saya pikir kemungkinan agar damai lebih menyatu dengan negeri ini akan semakin terbuka lebar. 

Kenapa tidak laki-laki? Silakan Anda cari laki-laki yang lantang bersuara di depan banyak orang, dari 10 saja mungkin hanya 1-2 yang berbicara dengan muatan damai. Selebihnya, cenderung mendorong hawa gagah-gagahan hingga kuat-kuatan. Apakah ini mengada-ada? Silakan saja lihat ke sekeliling Anda sehari-hari. Silakan bantah jika pendapat saya tersebut keliru.

Jadi, acara perdana diadakan PepNews kali ini sangat pantas disebut sebagai bagian dari gender mainstreaming dalam bentuk konkret. Mengangkat tema damai sekaligus memberdayakan perempuan. Mengingat bahwa surga di bawah telapak kaki ibu (perempuan), besar harapan semoga PepNews sebagai penyelenggara acara ini pun bisa membangun "surga" bersama mereka untuk menciptakan kedamaian di negeri ini.

Ya, sebab surga bukan sekadar cerita setelah kematian. Namun surga juga adalah keadaan mendamaikan dan menggembirakan, yang sejatinya juga bisa diciptakan dalam kehidupan. Sebab, surga itu sendiri tak hanya dibutuhkan setelah mati, namun juga dibutuhkan saat hidup.

Terakhir, saya tutup dengan pesan salah satu astronot wanita, Mae Jemison: Never limit yourself because of others’ limited imagination; never limit others because of your own limited imagination. Semoga pesan ini pun menguatkan lebih banyak perempuan.

***