Pemimpin yang Berani Meminta Maaf

Seorang Gubernur yang seharusnya membangun sistem, lalu ketika terjadi kesalahan seperti di atas, masih melemparkan tanggung jawab, ia tidak pantas menerima segala fasilitasnya.

Kamis, 31 Oktober 2019 | 16:09 WIB
0
324
Pemimpin yang Berani Meminta Maaf
Ilustrasi kepemimpinan (Foto: tirto.id)

Ini temanya tentang 'character building' ya, bukan tentang 'finding fault'. Dalam leadership, menyalahkan orang lain adalah bukan hal yang patut. Dan yang kita sedang bangun adalah menularkan awareness tentang betapa pentingnya kita memaknai hal ini, agar Indonesia akan memiliki deretan pemimpin dan calon pemimpin yang berkarakter kuat dan berintegritas, dalam jenjang kepemimpinan apapun, mulai dari keluarga, ketua RT hingga Presiden.

Tentu kita pengen punya pemimpin seperti orang Jepang atau Korea misalnya, yang ketika melakukan kesalahan, tanpa ba bi bu langsung membungkukkan badan dan meminta maaf kepada publik.

Atau buat para perempuan tentu pengen punya imam, yang ketika baik ia salah atau benar, tanpa membela diri atau ngeles asal melihat istrinya kesal langsung meminta maaf (perempuan selalu benar).

Sering kali bukan tentang seberapa besar kesalahannya, seberapa bisa ditoleransi, hingga kita bisa memaklumi atau memaafkan kesalahan pihak lain, tapi sikap mereka dalam bertanggung jawab yang membuat kita merespon positif.

Sebuah analogi, kenapa sih seorang pemimpin tidak boleh melemparkan kesalahan misalnya kepada bawahannya, meskipun bawahannya lah yang salah..

Pemimpin itu sudah digaji paling besar dengan berbagai fasilitas lainnya, dibandingkan bawahannya. Ia mungkin diberi mobil dinas, rumah dinas, dlsb... sementara bawahannya harus mengontrak rumah sendiri, mencicil motor sendiri dengan gaji UMR.

Contohnya, Presiden Jokowi datang ke Gedung Sate lalu melihat tissue tergeletak di depan pintu masuk. Lalu Presiden Jokowi menegur Kang Emil sebagai penguasa gedung tsb. Kang Emil alih-alih meminta maaf, ia menyalahkan Cleaning Service-nya dan berjanji akan memecat CS yang tidak becus bekerja tsb.

Patutkan sikap yang diambil Kang Emil ?

Tidak! Sebagai penguasa nomer 1, ia harus mengambil tanggung jawab atas kesalahan bawahannya. Karena bagaimanapun Kang Emil yang bertanggung atas sistem kepegawaian dan memastikan sistem tsb sudah berjalan dengan benar. Kalau seorang CS bekerja tidak benar lalu luput dari pengawasan mandornya, dst. Artinya, sistem pengawasan tidak berjalan dengan baik.

So, seorang Gubernur yang seharusnya membangun sistem, lalu ketika terjadi kesalahan seperti di atas, masih melemparkan tanggung jawab, ia tidak pantas menerima segala fasilitasnya. Harusnya gaji Kang Emil sama dengan CS nya jika di depan Presiden masih menyalahkan bawahannya juga, tidak bersedia mengambil tanggung jawab.

Setiap diri kita adalah pemimpin. Itu kata Al Quran. So, kesadaran tsb yang seharusnya ada di tiap diri.

Seorang istri adalah penanggung jawab harta suaminya, jika terjadi kehilangan, tidak patut hanya menyalahkan asisten rumah tangganya, misalnya.

Seorang suami adalah pemimpin keluarganya, jika anaknya ikutan demo dan berbuat anarkis, ia tidak patut hanya menyalahkan istrinya yang dianggap lalai mendidik anak.

Orang tua adalah pemimpin bagi anak-anaknya. Mereka memiliki tanggung jawab membangun karakter anak mengenai kepenimpinan ini, agar kelak seandainya mereka menjadi pemimpin, ia memiliki karakter kepemimpinan yang kuat, sehingga menjadi manusia yang berguna bagi lingkungan, bangsa dan negaranya..

Bukan contoh "menyalahkan" orang lain, tapi bagaimana memanfaatkan kesalahan orang lain.
.
***