Narasi Kegaduhan Pasca Pemilu

Jangan terjebak syahwat kegaduhan yang akhirnya kita semua lupa akan hakikat demokrasi, yaitu menemukan pemimpin terbaik yang memegang amanah rakyat.

Minggu, 21 April 2019 | 10:06 WIB
0
290
Narasi Kegaduhan Pasca Pemilu
Aparat kepolisian (Foto: Detik.com)

Nampaknya, kegaduhan politik akibat Pemilu serentak ini masih berlanjut sejak periode kampanye September tahun lalu hingga usai pencoblosan. Bahkan, makin eskalatif “perseteruan” itu di ruang publik, terutama menyoal kabar hoaks dan klaim kemenangan dari masing-masing kandidat, baik implisit lewat pengakuan quick count maupun yang eksplisit mendeklarasikan diri dengan serangkaian syukuran sana-sini.

Yang mengkhawatirkan, tuding-menuding “curang” pun dilayangkan kedua kandidat. Dari kabar berita yang berseliweran, kubu 02 begitu terlihat agresif dalam membela hak konstitusional mereka, lewat serangkaian laporan ke Bawaslu terkait dugaan kecurangan Pemilu. Sedangkan kubu 01 lebih banyak memainkan komunikasi simbolik.

Misalkan, saat Prabowo sudah tiga kali mendeklarasikan diri sebagai presiden versi hitungan “dapur” sendiri, dibalas dengan berita Jokowi ditelpon sejumlah kepala negara lain untuk memberikan selamat atas terselenggaranya Pemilu serentak.

Tak hanya itu, permainan diksi atas quick count pun berbeda. Kalau bersandar pada hiruk-pikuk pemberitaan, nampak Prabowo lebih sering menaikkan tensi sentimentil publik dengan gaya bahasa yang cukup agitatif seperti menyuruh lembaga polster pindah ke Antartika. Begitupun Jokowi, memainkan diksi klaim kemenangan dengan mengajak publik yakin akan kinerja lembaga survei yang justru memang diragukan kubu 02.

Sejumlah realitas di atas, membingungkan publik sebab entah argumentasi dan perkataan siapa yang bisa dipercaya. Kalau ditelisik dari perspektif komunikasi politik, dapat dibedakan menjadi dua yaitu argumentatif dan verbal agresif. Dalam tulisan Dominic Ifanta berjudul Argumentativeness and Verbal Aggressiveness (1996) menjelaskan, “argumentasi” selalu bersandar  pada alasan, nalar, logika berfikir, dan tautan data atau fakta yang bisa menjadi penguatnya. Sementara “agresivitas verbal” menyerang ide, keyakinan, ego atau konsep diri orang lain.

Nah, dari perspektif di atas, kita bisa melihat bahwa selepas pencoblosan kemarin, masih ada dominasi pilihan agresivitas verbal yang mengarah ke emosi, dibanding adu data dan nalar yang membutuhkan argumentasi. Sehingga, persoalan yang mengemuka dan ramai menjadi narasi kegaduhan di ruang publik adalah hal-hal yang tidak substansial, malahan memalingkan perhatian masyarakat pada polemik dan kontroversi yang kian memanas.

Kalau kita mengikuti informasi lewat media mainstream dan medsos, nampak Prabowo dalam banyak kesempatan lebih banyak membangun narasi kontroversial. Sebut saja “seluruh lembaga survei hitung cepat pembohong” atau “Hei tukang bohong, rakyat tidak percaya sama kalian. Mungkin kalian harus pindah ke negara lain. Mungkin kau bisa pindah ke Antartika," tegas Prabowo ketika deklarasi belum lama ini.

Tak hanya itu, Prabowo juga nampak meniru gaya Trump dalam berorasi dan kampanye.

Kalau masih ingat, tagline Prabowo yang meniru Donald Trump Indonesia First, Make Indonesia Great Again dibuat sangat mirip dengan narasi America First, Make America Great Again milik Trump. Begitupun dengan pernyataannya pemerintah  Jokowi lebih condong ke Tiongkok juga dipersepsikan sebagai pilihan politik asosiatif dengan gaya protectionism yang dikembangkan Trump.  

Model kampanye Trump dikenal dalam kajian komunikasi politik sebagai pendekatan propaganda ala Rusia (Russia’s approach) yakni Firehose of Falsehood. Biasanya dalam praktik propaganda firehose of falsehood ini memiliki 4 karakteristik utama;

Pertama, memanfaatkan kontroversi untuk membanjiri kanal-kanal warga yang sehari-hari diakses mereka dengan narasi yang dikehendakinya. Kedua, narasi dikonstruksi cepat dan dan dibuat masif. Artinya pesan yang sama atau serupa bisa diulang-ulang secara terus menerus sehingga persepsi khalayak lama-lama akan terkonstruksi seperti yang dikehendaki. Ketiga, tidak terlalu peduli dengan akurasi dan etika. Kerap mengabaikan keterhubungan pernyataan yang dilontarkan dengan realita sesungguhnya. Keempat, seringkali tidak konsisten antara narasi di satu kesempatan dengan kesempatan berbeda (Gun Gun Heryanto, 2019).

Lebih jelasnya, strategi Firehose of Falsehood itu membuat seseorang menjadi sangat kontroversial, bisa dipersepsikan licik, rasis, atau stigma buruk lainnya. Namun, di saat bersamaan dia juga bisa meraup keuntungan elektoral dari warga yang secara diam-diam ataupun terbuka mendukung kontroversi yang dibuatnya, menikmati bahkan berharap akan adanya perubahan yang dilakukan oleh si pembawa strategi tersebut. 

Tapi, amatlah disayangkan jika narasi kegaduhan pascapemilu ini terus dimainkan, sebab ini bisa mereduksi kualitas demokrasi bangsa kita. Apalagi, jika rangkaian kontroversi dan kegaduhan itu sengaja dirancang untuk meraup kuasa. Padahal, dampaknya tentu tidak sebentar dan dapat memecah belah masyarakat.

Sudah seharusnya, pasca pencoblosan pemilu kemarin, kita semua bergerak ke arah yang lebih substansial yakni menyerahkan semua pada proses hukum sambil mengawal demokrasi dengan kesantunan ketimuran kita. Jangan lagi kita terjebak syahwat kegaduhan yang akhirnya kita semua lupa akan hakikat demokrasi kita yaitu menemukan pemimpin terbaik yang memegang amanah rakyat.

***