Apalagi setelah diajari filsafat pragmatisme oleh Soeharto selama 32 tahun. Bangsa ini kemudian lebih berorientasi pada management by product, bukan management by process.
Apakah bangsa Indonesia bangsa yang ramah? Welas asih? Lembut hati? Islami? Katoliki? Kristeni? Hindui? Budhai? Khonghucui? Kebatinani? Kenyataannya tidak. Setidaknya, tak sebagaimana pidato ndakik-ndakik di mimbar politik dan agama.
Bukankah kita bangsa timur terkenal beradab tinggi? Murah senyum? Lha, kenapa, ketika terjadi wabah Virus Corona, di medsos orang Indonesia tak sedikit yang menghujat? Menyalah-nyalahkan China kafir dan diazab Tuhan? Senyampang itu, hanya dalam waktu 48 jam, Pemerintah China menyiapkan 2 (dua) Rumah Sakit baru, di lahan seluas 33.900 meter persegi, dengan 1.000 tempat tidur.
Sementara menangani banjir Jakarta, Gubernur DKI dengan enteng mengatakan, apapun yang dilakukan Pemda DKI akan sia-sia belaka, jika masalah hulu (pembangunan bendungan) belum diselesaikan Pemerintah Pusat. Jadi, selama itu apa yang dilakukan? Menunggu?
Belum pula penolakan warga Pulau Natuna, yang daerahnya hendak dipakai karantina Warga Negara Indonesia (usai dievakuasi dari Tiongkok akibat wabah virus Corona). Padal, Menteri Kesehatan dan Menteri Luar Negeri sudah memberikan keterangan, bahwa karantina dijamin aman. Jauh dari pemukiman dan disterilisasi, sesuai standar WHO.
Mana itu kesatuan dan persatuan bangsa? Mana Pancasila? Mana azas gotong-royong, yang konon frasa aseli dari Indonesia? Saudara sebangsa dan setanah-air, ditolak-tolak karena bawa penyakit. Padal, sekali lagi, yang ahli kesehatan sekaligus Menteri Kesehatan, sudah memberi jaminan soal steril dan aman itu.
Kenapa rakyat tak percaya? Tuluskah ketakpercayaan itu? Bagaimana tak-percaya yang tulus itu? Karena di jaman ini, bukan soal benar dan salah. Lebih karena ini persoalan siapa? Kita? Kami? Atau mereka? Persis anak kecil, yang baru belajar dikit-dikit. Hanya menurut pihak yang disuka, dan melawan pada yang tak menjadi perkenannya. Mau benar atau salah, kagak peduli.
Dalam istilah Bung Karno, bangsa Indonesia kemudian menjadi bangsa semeter kurang sedepa. Karena tiadanya imagination, imagination, imagination (demikian teriak Soekarno dalam pidatonya). Lama-lama bangsa ini mengkeret. Populasi 267-an juta, seolah buih lautan belaka. Gemuruh di ombak, lenyap dihisap pantai.
Apalagi setelah diajari filsafat pragmatisme oleh Soeharto selama 32 tahun. Bangsa ini kemudian lebih berorientasi pada management by product, bukan management by process. Jokowi pun, seperti presiden-presiden sebelumnya, dalam pidato di depan anggota kabinet; Ia tak mau tahu bagaimana prosesnya. Yang penting hasilnya.
Katakan padaku, hai tukang kayu (begitu nyanyian anak-anak TK), bagaimana hasil tanpa mementingkan proses? Tahu-tahu, juga tempe-tempe, makbedundug kita berada dalam jaman digital. Puluhan juta akun medsos, sangat cerewet tiap menit. Tapi begitu ketahuan chatting sex, langsung kabur ke luar negeri. Ibarat Wim Umboh memakai batik. Katanya umroh, nggak balik-balik.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews