Buih Lautan Belaka

Apalagi setelah diajari filsafat pragmatisme oleh Soeharto selama 32 tahun. Bangsa ini kemudian lebih berorientasi pada management by product, bukan management by process.

Jumat, 14 Februari 2020 | 08:28 WIB
0
134
Buih Lautan Belaka
Ilustrasi ombak (Foto: hardrockfm.com)

Apakah bangsa Indonesia bangsa yang ramah? Welas asih? Lembut hati? Islami? Katoliki? Kristeni? Hindui? Budhai? Khonghucui? Kebatinani? Kenyataannya tidak. Setidaknya, tak sebagaimana pidato ndakik-ndakik di mimbar politik dan agama.

Bukankah kita bangsa timur terkenal beradab tinggi? Murah senyum? Lha, kenapa, ketika terjadi wabah Virus Corona, di medsos orang Indonesia tak sedikit yang menghujat? Menyalah-nyalahkan China kafir dan diazab Tuhan? Senyampang itu, hanya dalam waktu 48 jam, Pemerintah China menyiapkan 2 (dua) Rumah Sakit baru, di lahan seluas 33.900 meter persegi, dengan 1.000 tempat tidur.

Sementara menangani banjir Jakarta, Gubernur DKI dengan enteng mengatakan, apapun yang dilakukan Pemda DKI akan sia-sia belaka, jika masalah hulu (pembangunan bendungan) belum diselesaikan Pemerintah Pusat. Jadi, selama itu apa yang dilakukan? Menunggu?

Belum pula penolakan warga Pulau Natuna, yang daerahnya hendak dipakai karantina Warga Negara Indonesia (usai dievakuasi dari Tiongkok akibat wabah virus Corona). Padal, Menteri Kesehatan dan Menteri Luar Negeri sudah memberikan keterangan, bahwa karantina dijamin aman. Jauh dari pemukiman dan disterilisasi, sesuai standar WHO.

Mana itu kesatuan dan persatuan bangsa? Mana Pancasila? Mana azas gotong-royong, yang konon frasa aseli dari Indonesia? Saudara sebangsa dan setanah-air, ditolak-tolak karena bawa penyakit. Padal, sekali lagi, yang ahli kesehatan sekaligus Menteri Kesehatan, sudah memberi jaminan soal steril dan aman itu.

Kenapa rakyat tak percaya? Tuluskah ketakpercayaan itu? Bagaimana tak-percaya yang tulus itu? Karena di jaman ini, bukan soal benar dan salah. Lebih karena ini persoalan siapa? Kita? Kami? Atau mereka? Persis anak kecil, yang baru belajar dikit-dikit. Hanya menurut pihak yang disuka, dan melawan pada yang tak menjadi perkenannya. Mau benar atau salah, kagak peduli.

Dalam istilah Bung Karno, bangsa Indonesia kemudian menjadi bangsa semeter kurang sedepa. Karena tiadanya imagination, imagination, imagination (demikian teriak Soekarno dalam pidatonya). Lama-lama bangsa ini mengkeret. Populasi 267-an juta, seolah buih lautan belaka. Gemuruh di ombak, lenyap dihisap pantai.

Apalagi setelah diajari filsafat pragmatisme oleh Soeharto selama 32 tahun. Bangsa ini kemudian lebih berorientasi pada management by product, bukan management by process. Jokowi pun, seperti presiden-presiden sebelumnya, dalam pidato di depan anggota kabinet; Ia tak mau tahu bagaimana prosesnya. Yang penting hasilnya.

Katakan padaku, hai tukang kayu (begitu nyanyian anak-anak TK), bagaimana hasil tanpa mementingkan proses? Tahu-tahu, juga tempe-tempe, makbedundug kita berada dalam jaman digital. Puluhan juta akun medsos, sangat cerewet tiap menit. Tapi begitu ketahuan chatting sex, langsung kabur ke luar negeri. Ibarat Wim Umboh memakai batik. Katanya umroh, nggak balik-balik.

***