Kultum Tarawih [9]: Belajar Sepanjang Hayat

Mari kita terapkan belajar sepanjang hayat, supaya kita tidak terjebak pada kebiasaan gelud online yang tidak berfaedah. Insya Allah apabila kita belajar sepanjang hayat, Allah tinggikan derajat kita.

Senin, 4 Mei 2020 | 12:32 WIB
0
318
Kultum Tarawih [9]: Belajar Sepanjang Hayat
Membaca Quran (Foto: Blogger.com)

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah wa syukurillah, hari ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala masih mengizinkan kita untuk menjalani bulan Ramadan hingga kita telah delapan hari kita berpuasa, dan kita memasuki tarawih malam kesembilan. Semoga semangat ibadah dan takwa kita tetap terjaga dan terus bertambah, dan semoga Allah berikan kita kesempatan untuk menyelesaikan bulan Ramadan ini, juga agar kita bisa berjumpa lagi dengan Ramadan di tahun-tahun berikutnya.

Tak lupa marilah kita berselawat kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam, dan moga-mogalah kita termasuk orang-orang yang beruntung mendapatkan syafaat beliau di yaumul qiyamah kelak, aamiin ya rabbal alamin.

Kita pasti akrab dengan hadist “Thalabul ‘ilmi faridatun ala kulli muslimin wal muslimat.” Hadist ini menyebutkan bahwa menuntut ilmu (belajar) adalah wajib bagi SELURUH muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Selain hadist ini, mungkin sejak TK kita sudah hafal dengan hadist “Uthlubu ‘ilmi minal mahdi ilal lahdi,” yang menyebutkan bahwa belajar itu dari ayunan hingga liang lahat. Sejak kecil hingga meninggal.

Dari dua hadist ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa belajar adalah sebuah kewajiban bagi SELURUH muslimin dan muslimah. Rasulullah juga bersabda bahwa belajar itu proses sepanjang hayat, setiap manusia menjalani proses belajar ini sejak dia dilahirkan dan hingga dia meninggal, tidak ada namanya berhenti belajar. Belajar sepanjang hayat adalah kewajiban setiap umat Islam tanpa terkecuali.

Ketika kita berada di institusi pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, kita mempunyai kerangka yang jelas dalam belajar. Ada masa studi yang harus ditempuh, silabus materi yang harus dipelajari, dan tujuan-tujuan pelajaran yang harus dipenuhi melalui pertemuan tatap muka, penugasan, kerja praktik, dan semacamnya. Namun, di luar itu, proses belajar yang kita ikuti akan ditentukan oleh kita sendiri. Karena belajar adalah kewajiban, maka kita TIDAK BOLEH berhenti belajar dengan alasan sudah tidak bersekolah lagi.

Seorang yang sudah meraih gelar doktor (S3), apabila ia berhenti belajar, maka ilmunya akan kalah dengan orang-orang lain yang tidak memiliki gelar tersebut, namun secara konsisten melakukan proses belajar. Banyak doktor yang ‘tumpul otaknya’ ketika menjadi pejabat publik, politisi, atau pekerjaan lain, semata-mata karena ia TIDAK belajar lagi, mengira proses belajar sudah selesai dengan lulus S3.

Padahal, ilmu senantiasa berkembang, sehingga untuk memperbarui pengetahuannya, seseorang harus terus belajar.

Hikmah dari kebiasaan belajar sepanjang hayat adalah munculnya kebijaksanaan. Semakin banyak yang kita pahami, semakin kita paham kapan harus berbicara, kapan kita harus diam. Semakin kita pintar, kita akan dipersilakan untuk berbicara oleh orang lain, bukan asal berbicara tanpa tahu situasi. 

Barangkali ini mengapa dunia maya kita seakan ribut tanpa henti oleh perdebatan kusir, adu hujat, dan gelud online. Semuanya bertindak seolah-olah sudah pintar, namun lupa belajar. Tidak menelusuri dan memilah informasi, namun asal membaca dan bereaksi. Sementara yang betulan ahli, memilih tidak ikut debat kusir dan hanya berbicara jika diperlukan. Mereka memilih berkontribusi, bekerja nyata.

Mari kita terapkan belajar sepanjang hayat, supaya kita tidak terjebak pada kebiasaan gelud online yang tidak berfaedah. Insya Allah apabila kita belajar sepanjang hayat, Allah tinggikan derajat kita.  

Wallahu a’lam, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

***