Nonton Konser Reda (Tanpa Ari) di KKF

Pertunjukan dengan segala kekurangannya adalah kelebihan itu sendiri. Itulah pertunjukan hidup, real live. Ketika penonton juga diajak merasakan kerepotan panggung seorang penyanyi.

Minggu, 29 Desember 2019 | 15:16 WIB
0
258
Nonton Konser Reda (Tanpa Ari) di  KKF
Reda Gaudiamo (Foto: Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Anak kedua saya, Adhyatma Brahmantyadaru Setiono punya cara unik membuat saya mau keluar dari kotak tempurung saya sejenak. Dia meminta saya menemani "orang dekat"-nya Ardhea Puspitarahma untuk belajar menikmati musik-musik yang dalam keluarga kami termasuk wajib simak. Harus tahu, karena itulah bagian dari kultur dan sejarah keluarga kami. Musik yang tidak heboh, bukan dalam pertunjukan konser besar, dengan peralatan yang jlimet dan aturan-aturan penonton yang terlalu strickly.

Pertunjukan mahal yang harus ditonton dengan menyisihkan sejumlah besar uang, memang bukan bagian dari selera kami. Dan bagian yang agak curang, umumnya musik itu berada pada galur UI-way, semua mengakar pada tempat dulu bapaknya bersekolah. Apakah itu Chandra Darusman dengan Chaseiro-nya, orkes norak tapi asyik Pantjaran Sinar Petromkas (PSP), dan yang paling muthakir tentu saja Payung Teduh (yang sayangnya tanpa Is, vokalis aslinya, terasa setengah bubar itu).

Dan tentu saja pada bagian paling penting adalah duet Ari-Reda, sebuah kelompok folks dengan genre musikalisasi puisi yang saya pikir akan menjadi terbaik dalam sejarah musik Indonesia. Pasangan ini, sesungguhnya hanya setengah UI. Karena hanya Reda Gaudiamo yang alumnus Sastra Perancis. Sedangkan Ari Malibu (alm) sesungguhnya bukanlah benar-benar anak UI, ia hanya suka nongkrong di sini.

Namun bagaimana mereka seolah bisa dianggap icon UI, itulah hebatnya keterbukaan dan kedewasaan anak-anak UI. Saya sendiri sudah menonton keduanya sejak awal masuk UI, sekira tahun 1988an, enam tahun setelah terbentuk tahun 1982. Sejak Reda masih suka pakai celana jump-suit, sejenis jeans celana monyet.

Pasangan Ari-Reda pada mulanya tidaklah langsung menjadi ikon musikalisasi puisi karya-karya penyair top Indonesia. Mula-mula mereka juga men-cover lagu-lagu Barat yang anehnya, ketika dinyanyikan oleh Reda terasa justru lebih pas untuk telinga Indonesia. Jauh menjadi beda dan melodius dari format aslinya, John Denver misalnya.

Namun bagian dari kebesarannya bukan itu. Keduanya menyediakan dirinya untuk menjadi "penyanyi, penyandung" puisi bagi para penyatir lain. Saya sangat tahu, Reda sendiri adalah penulis yang baik, kalau tidak dikatakan terbaik yang Indonesia miliki. Cara menulisnya ringan, fresh, tapi in-dept. Maklum ia juga adalah wartawati di sebuah majalah wanita.

Tapi hingga hari ini, mereka lebih memilih "mempopulerkan karya-karya orang lain". Tapi puisi Sapardi Damono di awalnya adalah puisi-puisi yang tentu saja tak boleh dilewatkan, di samping tentu saja karya-karya lain Goenawan Mohammad, Chairil Anwar atau Amir Hamzah. Dn mereka terus setia, mau bertahan, hingga hari ini...

Tidak selalu hasil karya aransemen mereka sendiri, karena biasa juga dilakukan Umar Muslim dan mendiang AGS Arya Dipayana. Keduanya tidaklah terlalu produktif, justru ketika industri rekaman kaset sedang pada masa puncak kejayaannya. Album perdananya Becoming Dew baru lahir 2007, berisi sepuluh lagu dari puisi Sapardi Djoko Damono.

Tahun 2015, mereka merilis AriReda Menyanyikan Puisi yang berisi puisi-puisi dari para penyair seperti Amir Hamzah, Toto Sudarto Bachtiar, Abdul Hadi WM, hingga Goenawan Mohamad. Dan baru Juni 2019, album ketiga Perjalanan berisi delapan lagu musikalisasi puisi Todung Mulya Lubis, seorang pengacara, aktivis hak asasi manusia, dan sekarang menjadi Duta Besar di Norwegia.Kabar baiknya, mereka masih punya dua album lain yang sudah siap diedarkan, karena proses mixingnya sudah selesai.

Pada 14 Juni 2018, musisi Ari Malibu meninggal dunia. Bukan kematian yang mendadak, tetapi terasa terlalu cepat. Sejak terindikasi mengidap kanker tenggorokan setahun sebelumnya. Mulai dianggap menggangu, Ari kesulitan menelan makanan. Ia perlu meneguk air setelah beberapa suap. Lalu bisa apa Reda tanpa Ari?

Setelah Ari meninggal, setahun setelahnya (sebagaimana di atas) album ketiga mereka diluncurkan. Saya sedikit mengikuti terus dari lman Fb Reda bagaimana ia terus bergerak dari satu panggung ke panggung yang lainnya. Ia pergi kemana saja untuk terus menyanyi: ke Bulgaria, Makassar, ke Kabin Kebun-nya Teh Ukke Kosasih, kemana saja.

Ia terus bergerak memanjangkan usia duet ini. Tapi menyaksikan pertunjukan kecil semalam di Kedai Kebun Forum (KKF) tentu sebuah pengalaman batin yang lain. Ia tampil solo dengan gitar kecilnya. Gitar yang dipanggilnya "gretzchen", saya agak kurang paham tentunya. Apakah merek, atau jenis, atau panggilan sayang.

Reda mengawali konser, dengan bercerita bagaimana istimewanya hubungan duet ini dengan kota Jogja. Bagaimana karya-karya mereka bisa "terbuku"-kan di kota ini. Dan sejak awal, ia sudah bilang sangat gugup. Bukan sebuah kerendahan hati, tapi memang sesungguhnya demikian. Sepanjang konser kecil itu, ia "masih" bercerita bagaimana ia sangat kehilangan sosok Ari. Bagimana sebelumnya ia selalu hanya "terima beres", dan sekarang harus pontang-panting sendirian.

Bagaimana ia tidak hanya kerepotan dengan chord yang diakuinya tak sepenuhnya ia kuasai, atau intro-intro ia yang dianggapnya kadang jadi tak ada bedanya antara satu lagu dengan lagu yang lainnya. Dan bagian yang paling runyam adalah bagaimana ia tidak siap dengan teknis panggung. Berkali ia disibukkan dengan baterai gitarnya yang "ngadat" dan bunyinya tidak keluar dalam sound system.

Malam itu, beda dua pertunjukan sebelumnya di venue yang sama, arah hadapnya tidak ke utara, tapi ke selatan. Saya tidak tahu di sengaja atau tidak, tapi justru hal itu menyelamatkan. Karena jarak panggung dengan control room-nya lebih dekat. Jadi segala kerewelan dan kerepotannya relatif lebih mudah terkomunikasikan. Saya sendiri sebagai orang Jawa berpikiran lain, arah hadap ke Selatan itu artinya. Ah sudahlah....

Pertunjukan semalam dengan segala kekurangannya adalah kelebihan itu sendiri. Itulah pertunjukan hidup, real live. Ketika penonton juga diajak merasakan kerepotan panggung seorang penyanyi. Sungguh tidak mudah mempertahankan sebuah eksistensi, sebuah semangat, sebuah kebersamaan. Banyak lagu yang sebelumnya tak boleh atau tak mau dinyanyikan bersama Ari, akhirnya justru bisa dipertontonkan.

Tapi sebaliknya banyak "lagu wajib" yang harus ada di panggung justru harus disembunyikan dan ditunda untuk besok-besok. Aku Ingin dan Selamanya adalah salah dua diantaranya. Apa boleh buat, di panggung penyanyi adalah raja. Ia boleh dimintai, tapi sekaligus boleh juga punya pantangan. OK!

Pertunjukan diakhiri dengan lagu cover "Stand By Me". Saya sendiri tak tahu siapa penyanyi asli lagu ini. Karena sedemikian banyaknya vokalias tenar dunia yang pernah menyanyikannya dengan versinya masing-masing. Tak kurang dari John Lennon, Tracy Champan dan Seal pernah menyanyikan. Sebuah lagu yang seolah "menuntut" sebuah kebersamaan, mari sama-sama saling menemani. Penonton dan penyanyi itu equal saling membutuhkan......

Jangan saling meninggalkan!

***