Guru Kontrak Profesional

Jika kita anggap guru kontrak menguntungkan pendidikan daerah, kontrak bisa diteruskan sambil terus berusaha untuk mempensiundinikan guru-guru lokal yang memang tidak memenuhi syarat.

Senin, 30 Desember 2019 | 08:39 WIB
0
287
Guru Kontrak Profesional
Ilustrasi guru mengajar (Foto: KBR.id)

Hampir semua sepakat bahwa dari tiga faktor penentu keberhasilan pendidikan yaitu : perangkat keras (hardware) yang meliputi: ruang belajar, peralatan praktek, laboratorium, perpustakaan, dan lain-lain; perangkat lunak (software) yang meliputi: kurikulum, program pengajaran, manajemen sekolah, sistem pembelajaran, dan lain-lain serta perangkat pikir (brainware) yaitu : guru, kepala sekolah, anak didik, dan orang-orang yang terkait dalam proses tersebut; maka guru adalah faktor yang paling menentukan.

Argumentasinya adalah, ruang belajar bisa sangat sederhana; peralatan, laboratorium dan perpustakaan bisa kurang memadai, tapi bila gurunya memiliki kualitas yang tinggi dalam mengajar maka guru tersebut akan dapat berinovasi untuk mencapai tujuan pengajarannya. Sebaliknya jika meskipun semuanya tersedia, jika gurunya tidak berkualitas maka semua peralatan tersebut tidak akan ada gunanya.

Dahulu ada ‘joke’ tentang keinginan bangsa Jepang untuk tukar menukar tanah air dengan kita. Bangsa Indonesia silakan pindah ke Jepang dan ambil semua kekayaan Jepang dan ditambah boleh membawa semua harta yang ada dari Indonesia.

Sebaliknya bangsa Jepang akan pindah ke tanah air kita hanya dengan mengenakan celana kolor saja. Dijamin dalam jangka waktu singkat bangsa Jepang akan kembali kaya dan tetap unggul karena keunggulan brainwarenya. Sebaliknya, meskipun telah mewarisi banyak harta dari Jepang, tak lama kita tentu akan terpuruk lagi karena SDM kita yang lemah.

Jepang sangat percaya bahwa pendidikan adalah sangat penting dan guru merupakan profesi yang sangat terhormat dan sangat dihargai. Di Australia sendiri banyak master dan doktor yang bersedia menjadi guru (bukan dosen) di sekolah dasar dan menengah karena gaji mereka tercukupi di sana.

Rendahnya Mutu Guru Kita

Rendahnya mutu guru kita dapat dilihat dari data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016. Berdasakan data tersebut pendidikan di Indonesia menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang dan kualitas guru menempati peringkat ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia.

Jumlah guru mengalami peningkatan sebanyak 382% dari 1999/2000 menjadi sebanyak 3 juta orang lebih, sedangkan peningkatan jumlah peserta didik hanya 17%. Dari 3.9 juta guru yang ada, masih terdapat 25% guru yang belum memenuhi syarat kualifikasi akademik dan 52% di antaranya belum memiliki sertifikat profesi.

Berdasarkan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) guru Indonesia hanya berhasil mendapatkan nilai 44,5 atau masih di bawah rata-rata nasional. Total guru yang mengikuti UKG mencapai 243.619 orang dan skor yang didapat rata-rata 44,55. Bahkan, tidak ada seorang pun guru yang berhasil meraih nilai maksimal 100. Nilai tertinggi UKG hanya 91,12. Nilai ini tidak berbeda jauh dengan rata-rata nilai Uji Kompetensi Awal (UKA) beberapa waktu, yakni 42.

Apa Usaha untuk Memperbaiki Mutu Guru Kita?

Pertama, jangan lagi membiarkan adanya guru yang tidak kompeten masuk ke dalam sistem pendidikan kita. Kita harus mencegah masuknya guru yang tidak layak mengajar dan tidak memiliki gairah dan kecintaan dalam mendidik anak masuk ke kelas-kelas anak kita. Mulai sekarang rekrutmen guru harus benar-benar ketat dan seleksinya dijalankan secara bertahap. Hanya guru dengan kualifikasi terbaik yang kita bolehkan untuk masuk ke kelas anak-anak kita.

Kedua, pensiunkan guru-guru yang tidak kompeten dan sudah kehilangan gairah dalam mengajar. Apalagi guru-guru yang buruk dan membawa suasana dan pengaruh negatif di sekolah. Tidak ada gunanya mempertahankan mereka di sekolah selain menambah dan memperpanjang masalah saja. Lebih baik kehilangan orang-orang seperti ini ketimbang mempertahankannya.

Ketiga, pertahankan guru-guru yang meski kurang kompetensinya tapi masih bersedia untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan mengajarnya melalui pelatihan-pelatihan terstruktur dan berkelanjutan. Kita masih bisa berharap dari guru-guru semacam ini. Untuk guru-guru ini perlu disusun suatu rencana strategis untuk meningkatkan kualitas mereka dengan berusaha meningkatkan pendidikan mereka agar tercapai suatu standar kualifikasi tertentu untuk dapat mengajar di suatu jenjang pendidikan.

Perubahan yang Masif 

Mengirim lima orang atau sepuluh orang guru bahasa Inggris untuk belajar di luar negeri itu bagus. Tapi ini biayanya mahal dan efeknya tidak besar. Kita tidak bisa berharap dari pelatihan yang hanya berefek pada segelintir orang saja. Perubahan yang perlu kita lakukan haruslah bersifat masif dan mendasar.

Jangan sampai usaha memperbaiki mutu pendidikan kita hanyalah seperti menembak beruang dengan senapan angin. Suaranya memang keras tapi tidak akan dapat melukai beruang tersebut.

Apalah artinya 5 atau 10 orang yang akan dikirim ke luar negeri jika tidak akan mampu membuat perubahan yang signifikan pada upaya perbaikan mutu pendidikan kita.

Guru Kontrak: Belajar dari Sang Murid 

Semua tahu bahwa Malaysia yang dulunya mengimport guru-guru dari negera kita, artinya belajar dari guru-guru kita, ternyata saat ini telah bangkit menjadi negara dengan kualitas pendidikan yang jauh di atas kita. Mari kita belajar dari mereka kini.

Bagaimana Malaysia bisa sehebat itu? Tahun tujuh puluhan mereka telah menyadari bahwa pendidikan harus ditangani secara serius dengan langkah-langkah strategis, terutama adalah dengan meningkatkan mutu guru sekolah mereka. Tapi berbeda dengan kita yang menganggap bahwa memperbaiki mutu guru adalah dengan memperbaiki guru yang ada sebisa-bisanya, Malaysia jauh lebih maju dengan mengisi sebanyak-banyaknya sekolah mereka dengan guru-guru ‘kualitas impot’. Ini artinya mereka tidak mau bermain-main dengan visi dan misi mereka untuk memperbaiki mutu pendidikan mereka. Kalau mau bersaing secara global maka guru-gurunya harus berkualitas global.

Kalau di dalam negeri tidak tersedia ya ambil dari luar negeri. Simpel, berani, dan sangat strategis. Kalau ada pemerintah yang ‘bekoar’ akan mencetak lulusan yang bisa bersaing dengan lulusan negara yang telah lebih maju dengan mutu guru seperti apa adanya sekarang ini maka pemerintah tersebut perlu diragukan akal sehatnya. LPTK kita sebagai sumber pendidikan guru Indonesia jelas sudah gagal menghasilkan guru bermutu seperti yang kita inginkan. LPTK sendiri harus dibongkar dan dioverhaul.

Seberapa Mahal Biayanya 

Meski sekilas tampak mahal untuk ‘mengimpor’ guru dengan kualitas ‘impor’ tapi ternyata tidaklah semahal yang kita duga. Sebagai contoh, untuk memiliki 100 guru bahasa Inggris dengan nilai TOEFL minimal 500, umpamanya, masih bisa kita peroleh dari lulusan perguruan tinggi ternama di Jawa. Jika kita berani memberi gaji mereka 6 juta rupiah sebulan, umpamanya, maka untuk 100 guru diperlukan dana sebesar 600 juta rupiah sebulan atau 7,2 M setahun, dan jika ditambah ini dan itu menjadi 8 M setahun.

Jika kita mengontraknya selama lima tahun, umpamanya, maka dana yang kita butuhkan hanyalah 40 M, suatu nilai yang tidak terlalu besar dibandingkan dengan hasil yang bisa kita peroleh dalam 5 tahun tersebut. Dengan 100 orang guru bahasa Inggris berpengalaman dengan TOEFL 500 tentu hasilnya akan lebih nyata ketimbang hanya mengirim 5 atau 10 orang guru bahasa Inggris ke Australia.

Begitu juga dengan guru-guru SD, karena kalau mau mengubah mutu pendidikan kita memang harus dimulai dari dasar. Jika sebuah Pemkab atau Pemkot mau mengontrak guru SD berkualitas dengan iming-iming gaji 6 juta sebulan ditambah perumahan dan fasilitas lain senilai 1 juta perbulan maka saya yakin akan banyak guru-guru berkualitas dari Jawa ataupun para sarjana lulusan terbaik yang bersedia untuk mengikuti program ini.

Jika dikontrak 300 orang guru SD berkualitas terbaik maka dana yang dikeluarkan hanyalah 2,1 M sebulan atau 25 M setahun atau 125 M dalam lima tahun. Suatu jumlah yang sungguh kecil untuk proyek pendidikan yang akan mengantarkan bangsa kita lepas dari kebodohan dan kemiskinan. Tiga ratus orang guru SD berkualitas terbaik yang bisa diperoleh tentu akan bisa mengubah mutu pendidikan dasar kita di sebuah daerah secara nyata dalam jangka waktu lima, apalagi dalam sepuluh tahun, mendatang.

Bagaimana dengan Guru-guru Lokal?

Seperti juga di Malaysia, guru-guru lokal diminta untuk belajar dari guru-guru ‘impor' dengan menjadi asisten atau pendamping guru-guru tersebut. Dengan demikian guru-guru lokal belajar langsung praktek mengajar dengan guru-guru berkualitas ‘impor’, tanpa harus membayar ekstra. Jadi sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui.

Siswa dapat pendidikan dengan guru bermutu, para guru lokal juga mendapat tutor yang berkelas ‘impor’. Semuanya kena. Guru-guru yang perlu disekolahkan lebih lanjutpun bisa dengan tenang bersekolah karena siswa-siswa mereka sudah ditangani oleh guru-guru yang berkualitas ‘impor’. Semua diuntungkan.

Kalau mau betul-betul serius mengubah wajah pendidikan daerah, kontrak saja sebanyak mungkin tenaga pengajar berkualitas ‘impot’ pada semua level. Tiga ratus guru SD, 200 orang guru SLTP semua bidang studi, 100 orang guru SLTA semua bidang studi dan kontrak mereka minimal 5 tahun. Insya Allah dalam lima tahun daerah tersebut akan memiliki lulusan dengan kualifikasi minimal lima besar di skala nasional.

Apa yang terjadi setelah kontrak tersebut selesai lima atau sepuluh tahun kemudian ? Tentu tidak ada masalah karena toh mereka bangsa kita sendiri. Kalau kita anggap guru-guru lokal kita sudah memiliki kemampuan seperti mereka maka kontrak bisa diputus dan selanjutnya guru lokallah yang akan melanjutkan tugas mengajar sepenuhnya.

Guru kontrak ini bisa mencari kontrak di daerah lain yang mungkin bisa lebih tinggi nilanya, apalagi mereka sekarang sudah lebih berpengalaman. Seorang profesional tidak pernah kuatir dirinya tidak akan terpakai. Hanya orang yang tidak memiliki kemampuan yang takut untuk bersaing.

Tapi kalau kita anggap guru kontrak tersebut menguntungkan bagi pendidikan daerah maka kontrak bisa diteruskan sambil terus berusaha untuk mempensiundinikan guru-guru lokal yang memang tidak memenuhi syarat. Kejam? Lebih kejam lagi membiarkan anak-anak kita yang kita harapkan untuk membayar hutang-hutang negara kita kelak diajar oleh orang yang tidak memenuhi syarat. Adalah berdosa jika biarkan anak-anak kita belajar pada orang-orang yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi guru.

Ada sebuah pemeo yang menyatakan bahwa jika kita memilih insinyur yang bodoh maka akibatnya bangunan kita akan roboh. Tapi kita akan bisa membuat bangunan baru lagi. Tapi kalau kita memilih guru yang salah maka kita akan medapatkan anak-anak yang tidak bermutu dan itu tidak bisa kita perbaiki lagi. Wallahu a'lam !

Semoga ini menggugah kita untuk lebih perduli pada pendidikan anak-anak kita.

(Tulis ulang dari tulisan saya ketika masih di Balikpapan pada September 2002, alias 17 tahun yang lalu)

Madiun, 30 Desember 2019

Satria Dharma

***