Lupakan Saja Waa Banti

Sekolah sudah dibangun, tetapi rumah sakit masih berupa puing. Trauma konflik menghantui penduduk. Potensi ekonomi Kalikabur masih tetap menggiurkan.

Minggu, 21 Juli 2019 | 20:44 WIB
0
311
Lupakan Saja Waa Banti
Anak-anak Waa Banti (Foto: Cecillia Adrianto)

Kampung Waa Banti, Kabupaten Mimika, Papua, Republik Indonesia. Kalau keindahan alam yang menjadi cara untuk mensyukuri hidup, kampung ini menjadi salah satu alternatif untuk dikunjungi.

Letaknya kurang lebih 2000 meter dari permukaan laut. Hawa sejuk silih ganti dengan hangat matahari. Praktis kampung itu dikelilingi bukit-bukit menjulang, seperti dinding-dinding pelindung. Sungai dalam dan terjal memisahkan kampung itu dengan kampung lainnya.

Dulu, air sungai menjadi sumber penghidupan masyarakat. Airnya deras dan jernih, bisa diminum, ujar seorang pendeta yang sejak lahir tinggal di Waa Banti.

Sungai Aijkwa, yang dimaksud Pendeta itu, sekarang dikenal dengan nama Kalikabur. Tak ada bekas kejernihan air. Keruh seperti larutan semen di atas perapian. Bergolak-golak oleh derasnya arus dan besarnya bebatuan yang dilintasi.

Masyarakat yang sebagian besar berasal dari Suku Amungme, Damal, dan Dani tetap menjadikan Sungai Aijkwa sebagai sumber kehidupan tetapi dengan cara berbeda. Di tepi-tepi sungai dibuat tanggul-tanggul sederhana untuk menghalangi laju air sungai.

Ya... air yang menyerupai larutan semen itu mengandung emas. Sisa-sisa limbah pengolahan tambang emas mengalir di sungai itu. Pasir-pasir yang diendapkan kemudian didulang secara manual menggunakan air dari jalur sungai yang masih jernih, tak jauh dari Kalikabur.

Dalam sehari minimal bisa mendapat 1-2 gram pasir yang mengandung emas mentah. Butiran pasir emas itulah yang kemudian diolah dengan sebutan “bakar emas”, menjadi lempengan-lempengan. Hasil pengolahan secara tradisional bisa menghasilkan pendapatan tunai kurang lebih Rp 1 juta per hari.

Tak perlu tergiur dengan hitung-hitungan sejuta per hari, 30 juta per bulan, dikalikan 12 per tahun. Sampai dua tahun yang lalu, orang-orang dari Toraja dan Sulawesi turut mendulang bersama penduduk asli Papua baik di kampung-kampung terdekat maupun dari kabupaten sekitar.

Namanya saja penambangan liar. Tak ada aturan jelas. Siapa yang kuat dia yang menang. Siapa yang punya keberanian, ia mengatur yang rubuh-rubuh pohon pisang.

Waa Banti menjadi medan perebutan kelompok-kelompok yang ingin menguasai manfaat ekonomi. Ada di antara mereka menggunakan isu separatis. Konflik demi konflik terus terjadi.

Terakhir peristiwa 2017, ketika KKB membatasi ruang gerak para pendatang. Sekolah dan rumah sakit dibakar. 2018, Waa Banti berhasil dikuasai aparat keamanan, TNI dan Polri. Penduduk sudah kembali ke kampung. Tak ada lagi pendulang liar kecuali mereka yang berasal dari kampung setempat.

Sekolah sudah dibangun, tetapi rumah sakit masih berupa puing. Trauma konflik menghantui penduduk. Potensi ekonomi Kalikabur masih tetap menggiurkan.

Lupakan saja rencana kunjungan ke Waa Banti kalau tujuannya sekadar menghirup udara segar. Di balik bukit-bukit yang seolah berperan sebagai pelindung itu, masih tinggal kelompok-kelompok kriminal bersenjata. Lupakan saja. Sebab Waa Banti adalah pertaruhan.

Kristin Samah, penulis

 ***