Menjadi Manusia Melalui Puasa

Puasa lebih banyak mendorong seseorang untuk lebih "memanusiakan" dirinya dan orang lain, sehingga jika dilakukan dengan baik, puasa mendudukkan manusia sebagaimana mestinya.

Kamis, 9 Mei 2019 | 06:55 WIB
0
444
Menjadi Manusia Melalui Puasa
Ilustrasi puasa (Foto: HiMedik.com)

Banyak anggapan yang menyebut bahwa berpuasa sebagaimana dijalankan umat Muslim hanyalah bentuk pengekangan yang pada akhirnya menyiksa diri sendiri bahkan memenjarakan keinginan manusia, bukan membatasinya. 

Anggapan yang negatif tentang ritual puasa ini sebanding atau mungkin lebih banyak ekses positifnya sebagaimana mereka yang meyakini dan mempraktikkan puasa, baik Ramadan atau hari-hari selainnya. Bahkan, puasa juga kerap dipraktikkan dalam dunia kedokteran ketika akan dilakukan tindakan operasi, pun tidak hanya berlaku untuk manusia karena ternyata puasa karena operasi semacam ini juga berlaku untuk binatang peliharaan.

Puasa memang tak dapat dilepaskan dari sejarah kemanusiaan, bahkan peradaban manusia itu sendiri jelas terbangun atas penggalan-penggalan kemasyhuran seseorang atau kelompok yang gemar menjalankan puasa. Bukankah, tokoh-tokoh seperti Budha, Kong Fu Tse, Bunda Maria, Nabi Muhammad merupakan pribadi-pribadi yang gemar berpuasa? 

Bahkan tradisi Jawa yang dipraktikkan kemudian oleh para raja dan tokoh masyarakatnya juga menjadi manusia besar karena memang mereka tak pernah melepaskan diri dari kebiasaan berpuasa? Saya kira, kita dapat menelusurinya dalam berbagai sejarah manusia dimana mereka tampil membangun peradaban-peradaban yang sangat kuat karena "tirakat" mereka dengan cara berpuasa.

Bagi saya, berpuasa adalah cara seseorang "memanusiakan" dirinya atau lebih tepatnya mendidik secara spiritual sifat-sifat kemanusiaannya secara utuh, menanggalkan sifat buas kebinatangannya yang seringkali tampak lebih dominan dalam dirinya. Manusia tentu saja mahluk dikotomis, karena dalam dirinya terpadu sisi lahir dan batin atau aspek material dan spiritual. 

Kedua aspek ini jelas saling membutuhkan dan harus memiliki keseimbangan, jika timpang sedikit saja, maka hampir dikatakan hilang "setengah" dari sisi kemanusiaannya. Puasa tentu saja masuk kedalam wilayah batin (spiritual), mengisi kekosongan didalamnya, dan memperkuat aspek spiritual atau minimal menyeimbangkan aspek ini yang sekian lama didominasi aspek material.

Dalam tradisi Islam, puasa disebut sebagai "tradisi purbakala" (alladziina min qablikum) yang juga dilakukan oleh umat manusia sebelum kita saat ini. Untuk lebih mendekati kesanggupan sisi kemanusiaan, kewajiban berpuasa hanya dipraktikkan dari mulai terbit fajar hingga terbenam matahari, tidak boleh lebih! 

Menariknya, beberapa ayat Alquran yang menjelaskan rangkaian ritual puasa, secara langsung memberi kelonggaran (rukhshah) untuk tidak berpuasa, baik karena sakit atau dalam perjalanan jauh, namun dapat menggantinya di hari-hari lain di luar Ramadan. Tidak hanya itu, dengan mempertimbangkan aspek psikologis dan biologis, manusia tetap diperbolehkan melakukan aktivitas seksual dengan pasangannya di malam hari, hingga batas waktu subuh tiba.

Ritual puasa seolah telah diatur sedemikian rupa, sebagaimana yang terangkum dalam syariat Islam, di mana hampir-hampir selalu mempertimbangkan aspek kemanusiaan, bukan malah melanggarnya.

Nabi Muhammad sendiri malah pernah mengecam Abdullah bin Amr bin Ash karena berpuasa terus menerus setiap hari, hanya karena kecenderungan dirinya yang asketis tetapi malah melanggar nilai-nilai kodrati kemanusiaannya sendiri. 

"Siapa saja yang mengerjakan puasa terus menerus, hakikatnya ia tidak berpuasa" (Ahmad bin Hanbal: "Musnad"). Demikianlah teguran Nabi kepada Abdullah karena kecenderungan asketismenya yang terlampau berlebihan.

Puasa di bulan Ramadan yang diwajibkan kepada semua umat Muslim yang beriman, tentu saja bukan melulu menjadikan seseorang lebih asketis, menjauhi dunia, atau bahkan mempertajam aspek spiritualitasnya seraya mengurangi aspek lahiriyahnya. Peristiwa bulan Ramadan dimana disebut sebagai bulan diturunkannya Alquran, menjadi alasan paling kuat kenapa sepanjang 30 hari, manusia "diwajibkan" berpuasa memperingati keagungan kalam Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia.

Puasa, tidak selalu identik dengan sikap asketis, sekalipun memang dapat mempengaruhinya. Islam tentu saja memberikan apresiasi atas nilai-nilai dunia akhirat agar keduanya dapat dipahami dalam seluruh kehidupan manusia. 

Itulah sebabnya, salah satu amanat didaktis yang mengandung ajaran Nabi Muhammad dalam nada Aristotelian yang benar-benar moderat, menyebutkan, "yang terbaik diantara kamu bukanlah yang mengabaikan dunia akhirat demi dunia ini, tetapi juga bukanlah yang sebaliknya. Yang terbaik diantara kamu adalah dia yang percaya kepada keduanya (man akhadza min hadzihi wa hadzihi).

Puasa ternyata memiliki seperangkat nilai etik-spiritual yang tidak saja mendorong "rasa" yang melahirkan aspek asketik sehingga seseorang menyadari kedudukannya sebagai manusia. Lebih dari itu, nilai keseimbangan hidup yang diajarkan Nabi Muhammad justru yang paling banyak ditemukan adalah melalui sikap berpuasa. 

Puasa meningkatkan rasa, mempertajam aspek humanisme melalui kesadaran bahwa kita "lemah" bahkan secara tidak langsung mendidik aspek filantrofis secara mekanik, melalui penerimaan nilai-nilai berpuasa ke dalam batin kita. Itulah kenapa, banyak kenyataan historis yang membicarakan manusia-manusia hebat karena sesungguhnya mereka adalah pribadi-pribadi yang sukses menyerap nilai-nilai asketik dari puasa kedalam dirinya.

Bukan tidak mungkin, bahwa puasa jika benar-benar dipahami dan diartikulasikan secara tepat dalam aspek spiritualitas, akan memberikan dampak tersendiri terhadap diri kita, disadari maupun tidak. Namun yang jelas, dampak itu adalah aspek humanisme yang kuat, bahkan kerap kali mempertajam "rasa" bahkan memperkuat "insting" sosialitanya, sehingga puasa disamping mendidik secara pribadi, jelas dapat mendidik pihak lain karena kekuatan aspek spiritualitasnya. 

Puasa lebih banyak mendorong seseorang untuk lebih "memanusiakan" dirinya dan orang lain, sehingga jika dilakukan dengan baik, puasa mendudukkan manusia sebagaimana mestinya, manusia yang berakal, kreatif, dan berkasih sayang, bukan manusia yang mempertegas sifat kebinatangannya  yang hanya ingin menang dan tak peduli bahkan tak punya rasa dengan lainnya.  

***