Melihat Wajah Bengis Media Sosial Jelang Pilpres

Selasa, 15 Januari 2019 | 07:42 WIB
0
392
Melihat Wajah Bengis Media Sosial Jelang Pilpres
Ilustrasi Twitter (Foto: Thenextweb.com)

Kalau Anda pernah terlibat perang media sosial, berjibaku dengan kata-kata, maka di sana Anda bisa melihat langsung bagaimana bengisnya wajah media sosial. Anda ingin bersopan-sopan sebagai orang Indonesia, berusaha tetap dapat bersahabat, namun sedikit banyaknya warna interaksi yang ada di sana tetap terpapar pada sikap Anda bermedsos ria. 

Sebenarnya saya enggan menghakimi. Hakim saja yang memakan bangku kuliah bertahun-tahun pun butuh banyak dalil untuk bisa menghakimi orang-orang yang diduga bersalah atau benar-benar bersalah.

Namun jika menyimak ulah-ulah yang dipamerkan di media sosial, maka akan mudah Anda temukan ke mana afiliasi politik mereka. Jika bukan Partai Keadilan Sejahtera, pasti Gerindra, atau juga partai-partai sejawat mereka seperti Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrat.

Tunggu dulu! Bukannya keempat partai besar itu berisikan banyak orang hebat, berpendidikan, dan bahkan agamis?

Di atas kertas memang begitu. Mereka hebat, berpengalaman, berpendidikan, dan banyak berpenampilan tidak kalah daripada seorang kiai. Namun jika Anda melihat apa saja yang mereka tampilkan di sana, terutama jika Anda menyimak isi cuitan-cuitan mereka di twitter atau status facebook, akan terlihat bagaimana penampilan fisik mereka berbanding terbalik dengan apa yang mereka luapkan di media sosial.

Contoh kecil, baru-baru ini seorang teman yang kebetulan memang sangat anti-hoaks, terkenal sebagai "Bapak Media Sosial" baru saja meninggal dunia. 

Ia memang mendapatkan banyak sekali ucapan duka cita dari berbagai kalangan, dari para pejabat hingga pengguna media sosial awam. Namun di tengah ucapan duka itu, ada akun bernama @restycayah yang terbilang sangat terkenal di media sosial tersebut.

Apa yang ia tampilkan adalah ekspresi gembira. "Cebong centang biru tukang RT (retweet) cebong dungu mati."

Itulah di antara sederet kalimat dari pemilik akun yang memiliki pengikut hampir 70 ribu tersebut.

Mungkin Anda akan bertanya-tanya, kenapa pengguna media sosial dengan tabiat dan kelakuan seperti ini memiliki pengikut mendekati 100 ribu? Pertanyaan ini lumrah saya muncul di pikiran siapa saja, terutama yang masih dapat melihat dengan nurani atas apa saja yang terjadi.

Namun sedikit banyaknya, dari sana juga terlihat apa yang digemari oleh sebagian pengguna media sosial. 

Salah satu alasan pertama karena pemilik akun tersebut memang menunjukkan afiliasi politik ke salah satu pasangan calon presiden. Silakan ditelusuri, akan dengan gampang terketemukan ke mana afiliasi politik pemilik akun ini. 

Apakah hanya satu akun itu saja? Tidak. Ada banyak juga grup facebook berisikan ujaran-ujaran kebencian, yang terjadi karena motif urusan dukung-mendukung. 

Bisa ditelusuri, rata-rata akun penebar kebencian dan permusuhan itu berasal dari mana dan mengarah pada dukungan kepada siapa? 

Sejauh ini, dapat saya katakan, sembilan dari 10 akun yang paling rajin menebar permusuhan tersebut memiliki afiliasi ke salah satu calon presiden. Menelusuri lebih jauh, rata-rata yang menebar hate speech tersebut merasa termotivasi karena figur dukungan mereka acap melempar semangat kebencian, kemarahan, hingga hoaks demi hoaks. 

Nggilani-nya lagi, tidak sedikit dari penebar hoaks dan mereka yang melempar api kemarahan ini sangat meyakini bahwa apa yang mereka lakukan tersebut adalah sebuah jihad. Berdalih bahwa capres dukungan mereka adalah dukungan ulama, maka membelanya dianggap mereka sebagai jihad.

Tragisnya, jihad yang sejatinya merupakan pesan yang lebih tertuju kepada kedamaian dan menegakkan kedamaian dengan cara-cara baik, gandrung ditafsirkan sebagai kebebasan memberangus siapa saja. Tak terkecuali di media sosial, dengan menghantam pemilik akun yang dianggap mereka berbeda.

Ini tentu saja bukanlah pemandangan yang bagus. Sebab bicara Indonesia, sama artinya berbicara persatuan. Jika kemarahan dan kebencian tidak mendasar terus dikobarkan, maka sama saja persatuan ini dikorbankan. Tanpa persatuan itu sendiri, bisa dipastikan takkan ada lagi Indonesia.

Maka itu, di beberapa tulisan, saya acap menyinggung ini, bagaimana salah satu capres meramalkan tentang Indonesia yang akan punah pada tahun 2030. Ya, kepunahan itu memang bisa terjadi, jika sekadar ingin berkuasa lalu menghalalkan segala cara, tak peduli bahwa apa yang dilakukan sangat mengancam persatuan yang menjadi nyawa bagi negara bernama Indonesia.

Silakan Anda buka-buka pemilik akun media sosial, terutama influencer atau buzzer yang terafiliasi kepada partai-partai tersebut di awal tulisan ini. Anda akan mendapati bagaimana mereka meniupkan hoaks, kebencian, dan narasi-narasi permusuhan.

Bagi mereka, Pilpres tidak lagi sekadar pesta rakyat untuk menentukan siapa pemimpin paling pantas dipilih. Namun ini sudah disulap layaknya sebuah medan perang, di mana hanya ada satu istilah: menang atau mati.

Ironisnya, siapa saja yang terlibat dalam narasi kemarahan dan menebar hawa perang itu tak lagi sekadar masyarakat biasa, namun juga melibatkan sebagian figur yang konon adalah pemuka agama. Inilah yang bikin kita bertanya-tanya, di tangan orang-orang seperti ini, jika kelak bisa berkuasa, negeri ini mau dibawa ke mana?

Terlepas berbagai kemungkinan itu, dan terlepas siapa yang rajin menebar hoaks, paling tidak bagi pendukung capres manapun perlu memasang rambu-rambu supaya tidak tenggelam dalam fanatisme hingga melahirkan aksi-aksi keji.

Terkait ini ada baiknya juga mengingat lagi salah satu pesan dari pakar media sosial, Enda Nasution, di tengah merebaknya berbagai tren negatif menjelang pilpres. 

Melansir Tribunnews, Enda mengingatkan, ada baiknya agar masyarakat juga semakin peka di media sosial. Sebab pengguna medsos di Tanah Air memang sangat beragam.

"Harus makin sensitif dan bijak menghadapi media sosial. Jangan mau dimanipulasi. Jangan menyebarkan informasi yang enggak akurat untuk menyerang orang lain," Enda mengingatkan.

***