Memilih vaksin tak hanya menjadi isu kesehatan. Ia tak juga hanya masalah ekonomi. Tapi kebijakan pemerintah memilih vaksin harus juga memperhitungkan isu kewarga negaraan.
Jangan ada kesan ketidak berdayaan, sehingga vaksin yang dipilih hanya bisa diterapkan kepada warga negara dengan klasifikasi tertentu, tapi tidak untuk klasifikasi lain.
Bukankah ada persamaan hukum: semua warga negara harus dilindungi secara setara?
Pikiran ini yang melintas setelah saya mendalami perlombaan yang paling ditunggu abad ini: menemukan vaksin paling tepat untuk pandemik Covid-19.
Di saat vaksin Pfizer dan Moderna begitu berjaya, timbul pertanyaan mengapa Indonesia (pemerintah) lebih memilih vaksin Sinovac, yang jauh lebih lemah?
Alasan pemilihan vaksin itu sudah dikemukan oleh Menteri BUMN yang bertugas di bidang ini: Eric Tohir. (1)
Tapi karena ini masalah besar, juga untuk antisipasi, perlu ada diskusi publik. Perlu ada elaborasi agar datangnya vaksin tidak malah menimbulkan gejolak sosial yang lebih besar.
Anggap saja esai ini, awal untuk memulai antisipasi itu.
Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan vaksin untuk Covid 19, dari Sinovac, buatan Cina.
Tapi akan ada tiga isu sensitif menyangkut perlakuan yang TAK sama atas warga negara.
Pertama, vaksin Sinovac ini hanya efektif untuk warga negara usia 18-59 tahun. Vaksin Sinovac tak berlaku untuk usia 0-17 tahun, dan 60 tahun ke atas. (2)
Memang jumlah populasi dalam skala umur itu (18-59 tahun), mayoritas di Indonesia: 67 persen.
Isu sensitif pertama: mengapa warga negara usia di atas 59 tahun dinomor duakan? Bukankah justru mereka warga negara yang lebih rentan? Bukankah prosentase kematian lebih banyak menimpa usia 59 tahun ke atas?
Kedua, vaksin Sinovac hanya efektif untuk warga negara yang tak punya komorbid (tak punya penyakit bawaan: diabetes, jantung, paru-paru, dll) (3)
Isu sensitif kedua: mengapa? Mengapa warga yang memiliki penyakit komorbid dinomor- dua kan? Bukankah justru segmen ini yang paling rentan?
Bukankah dalam kebijakan publik dikenal dua prinsip utama. Kebijakan itu harus berlaku untuk semua warga negara, tanpa diskriminasi. Jika hal ini diingkari, alasannya harus juga valid: bahwa kebijakan itu didahulukan kepada segmen yang paling lemah, dan paling membutuhkan.
Bukankah dalam urusan Covid-19, segmen usia 59 tahun ke atas paling lemah? Bukankah mereka yang terkena komorbid termasuk yang paling rentan? Mengapa mereka bukan saja tidak didahulukan, tapi justru di nomor dua kan?
Apalagi ini masuk ke isu ketiga. Sudah ditemukan vaksin yang bisa untuk semua warga negara, segala usia, walau punya komorbid. Vaksin itu adalah Pfizer dan Moderna (4)
Hebatnya dua vaksin ini sudah teruji. Efektivitasnya di atas 94 persen, untuk segala usia! Untuk segala bawaan penyakit!
Isu sensitif ketiga: ketika ada pilihan vaksin untuk semua warga negara, mengapa pemerintah Indonesia masih bersikeras dengan vaksin Sinovac yang kemampuannya diskriminatif?
Pemerintah melalui menteri BUMN Eric Tohir sudah menjelaskan. Bahwa Pfizer memerlukan suhu sekitar minus 75-80 derajat celcius. Moderna memerlukan suhu minus 20 derajat celcius. Sedangkan Sinovac cukup memerlukan suhu 2-8 celcius.
Perangkat distribusi kesehatan kita di Indonesia baru siap untuk Sinovac. Untuk pfizer dan moderna dibutuhkan persiapan distribusi lebih lama.
Kita memberikan respon Yess sekaligus No untuk alasan Menteri Eric Tohir.
Jawaban Yess karena alasan praktis. Kita memerlukan apa yang bisa, lebih cepat lebih baik. Jika yang bisa baru Sinovac, apa daya! Ini yang terbaik dari keterbatasan yang ada.
Tapi kita juga memberikan jawaban No sekaligus. Teknikalitis tak bisa mengalahkan yang esensial.
Untuk urusan kebijakan publik yang maha penting, isu teknis tak boleh mengalahkan prinsip konstitusi: melindungi semua warga negara, tanpa diskriminasi! Berapapun usia warga negara.
Apa saran kita? Pemerintah Indonesia harus cari segala cara, walau dikerjakan bertahap.
Teruslah dengan Sinovac yang efektif hanya untuk warga usia 18-59 tahun. Yang hanya efektif untuk warga tanpa penyakit bawaan.
Tapi sediakan juga vaksin untuk warga negara yang tak bisa dilayani oleh Sinovac.
Sudah ada Pfizer. Sudah ada Moderna. Pecahkan masalah teknis itu agar dua vaksin itu juga tersedia walau bertahap.
Mengapa? Karena isu vaksin tak hanya isu kesehatan. Isu vaksin tak hanya isu ekonomi. Vaksin juga isu kewarga negaraan.
Konstitusi menyatakan, semua warga negara (berapapun usia, tak peduli punya penyakit bawaan atau tidak) berhak atas perlindungan hukum yang sama (dalam hal ini perlindungan dari pandemik).
Dengan kerja serentak di atas, tersedianya vaksin tak akan menjadi gelombang protes yang baru.*
Desember 2020
Denny JA
***
CATATAN
1. Alasan mengapa pemerintah memilih Sinovac, yang terbatas jangkauannya.
2. Vaksin Sinovac hanya untuk usia 18-59 tahun
3. Berbeda dengan Sinovav, Pfizer dan Moderna bisa untuk semua umur dan untuk yang punya penyakit bawaan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews