Membaca Klepon "Ngecrot" di Sunda Wiwitan

Omong kosong dengan pemerintahan Jokowi ini. Karena kebanyakan hanya bisa menuding klepon ngecrot di dalam dan di luar. Hanya sekedar mendefinisikan sebagai war of mouth.

Jumat, 24 Juli 2020 | 07:32 WIB
0
305
Membaca Klepon "Ngecrot" di Sunda Wiwitan
Makam sesepuh Sunda Wiwitan yang disegel (Foto: kompas.com)

Pagi-pagi sekali, kemarin kata LBP dengan bangga ke media, ia ditelpon Jokowi. Presiden mengingatkan, agar Pagar di platform digital untuk UMKM, tidak ada barang-barang impor yang diperjualbelikan.

Mengerti? Bagi manusia analog, berita itu memunculkan keanehan. Apa sih yang dibicarakan? Pentingkah? Sementara pers hanya memberitakan. Tidak sebagaimana keinginan marhum Masmimar Mangiang, gimana pers mestinya juga menjelaskan. Bukan sekedar soal platform digital itu, melainkan mengapa dan ada apa dengan barang impor?

Bagi generasi beyond digital, terutama jurusan kode-kode kebudayaan, kejadian pagi yang diceritakan LBP kemarin itu, sekedar menunjukkan bahwa code of conduct negara Republik Indonesia ini tak berjalan. Meski pun di parlemen dan pemerintah ngecipris cem-macem. Termasuk dalam RUU HIP dan serangkaian demo dari yang anti.

Mereka yang mencoba melakukan teori bluffing, mencoba melakukan kamuflase. Bahwa isu klepon tak islami, direkayasa kelompok anti-kadrun (kosakata ini menjelaskan bahwa ‘mereka’ mengakui eksistensi kadrun sebagai entitas). Intinya menyulut kontroversi agar terjadi kontraksi, war of mouth. Sebagaimana digambarkan marhum Sapardi Djoko Damono. Bagaimana cinta itu seperti dilakukan api, diam-diam tanpa diketahui, sehingga sang kayu menjadi abu.

Maka Satpol PP, jajaran aparat penegak hukum Pemkab Kuningan, Jawa Barat, dengan gagah perkosa, menyegel bangunan bakal makam milik Masyarakat Adat Karuhun ‘Sunda Wiwitan’ di desa Cisantana, Kecamatan Cigugur. Penyegelan diiring (baca: dalam pressure group) ratusan orang dari ormas yang mendukung aksi penyegelan. Alasannya, soal IMB. "Dihentikan Sementara, Diduga Melanggar". Biyingkin, 'dugaan' sudah bisa untuk berbuat sewenang-wenang!

Sesederhana itu? Memang sesederhana itu. Sebagaimana teori anti-klepon, yang hanya sekedar untuk mengatakan kurma lebih lezat (apapun maksud dan tujuan pernyataan itu). Maka belilah kurma di toko syariah. Sesederhana itu pula, bagaimana Anies Baswedan dan Jusuf Kalla membanggakan Museum Rasulullah Muhammad, yang terbesar di dunia di kawasan Ancol.

Ini memang kisah negeri dengan populasi penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Sebanyak 87 persen dari jumlah populasi penduduk Indonesia yang sekitar 267 juta jiwa. Maka bukan hanya Museum Rasulullah, perlu pula bagaimana Masjid Istiqlal direnovasi. Dengan menggunakan teknologi smart lighting yang canggih dan terkomputerisasi. Ada taman-taman baru. Parkir bawah tanah yang baru. Juga taman dekat sungai yang melintasi Istiqlal.

Senyampang itu, di Sleman DIY, tak jauh dari rumah saya (apa perlunya 'saya' muncul di sini coba?), adalah Masjid Suciati yang dibangun megah menyerupai Masjid Nabawi di Arab Saudi sana. Terletak strategis di pojok perempatan Gito-Gati, masjid itu berdiri di tanah resapan, di mana Perda yang mengatur itu belum dicabut. Menurut Perda itu, tak boleh ada pemakaian lahan untuk bukan perolehannya (ribet banget ini bahasa hukum).

Namun karena yang dibangun adalah masjid, melanggar aturan tak apa. Jangan samakan dengan masyarakat Sunda Wiwitan. Meski pun mau membangun di tanah milik sendiri, dan sudah mempunyai IMB pula. Karena yang dibangun adalah makam leluhur mereka, juga khusus bagi masyarakat Cisantana (penganut agama Sunda Wiwitan, yang ditolak penguburannya di makam-makam umum yang mulai beragama).

Di mana negara hadir? Negara sedang sibuk membahas RUU-HIP menjadi BIP. Di mana pemerintah hadir? Apakah Jokowi akan menelpon LBP pagi-pagi, agar barang-barang impor, agama juga, tak boleh beriklan di platform digital, yang mestinya untuk UMKM semacam Sunda Wiwitan, Kaharingan, Sapta Darma, Buddha Jawi Wisnu, dan seabregnya?

Sebagaimana tindakan orang yang gampang mengatasnamakan Tuhan, sembari mengentuti. Maka perilaku para pengikut Nabi Muhammad pun di sisi lain, sebatas legitimasi. Apalagi legitimasi diktator majoritas. Jangankan menginterpretasikan Piagam Madinah, yang dikeluarkan Nabi Muhammad tahun 622. Membaca pun bisa jadi belum pernah. Lha wong cucu nabi saja, dibunuh dengan sadis dan penuh kebencian.

Ajaran bagaimana majoritas musti melindungi minoritas, hanyalah ujaran belaka. Artinya, ajaran macan ompong. Dan senyampang itu, negara justeru ikut-ikutan melakukan perampokan. Sehingga pagi-pagi, di masa pandemi, Jokowi perlu menelpon LBP, soal platform digital itu? Mungkin itu lebih penting? Karena toh Sheik Mohammed bin Zayed Nahyan, Pangeran Abu Dhabi dari Uni Emirat Arab, telah menghadiahinya masjid, yang bakal menjadi masjid terindah di dunia, dari kawasan Gilingan, Solo.

Omong kosong dengan pemerintahan Jokowi ini. Karena kebanyakan hanya bisa menuding klepon ngecrot di dalam dan di luar. Hanya sekedar mendefinisikan sebagai war of mouth. Apalagi kalau basis analisisnya hanya grafik dan jejak digital dingin. Hanya melihat dagangan klepon dan kurma semata. Doktor sosiologi lulusan S69 dari luar negeri sekali pun, tewas dilampaui programmer IT.

Sama sekali tak bisa membacai, bagaimana isi klepon juga bisa nggleges. Melekat dan meleleh, nempel di lidah. Perlahan menyusuri tenggorokan. Masuk ke perut sebagai inti keyakinan imanensi. Dan silakan berperang melawan angin di bumi karuhun Nusantara ini. Sampai kita dapatkan Presiden yang tegak lurus dengan UUD 1945 dan Pancasila.

@sunardianwirodono

***