Absurdnya Sekolah Favorit

Iya kalau virus anak pintar itu yang menular. Bagaimana kalau sebaliknya? Saya rasa inilah yang dikhawatirkan sebagian orangtua siswa. Takut anaknya yang dirasa pintar jadi 'tercemar'.

Jumat, 5 Juli 2019 | 08:15 WIB
0
257
Absurdnya Sekolah Favorit
Ilustrasi sekolah favorit (Foto: Tribunnews.com)

Dari manakah kita mengukur sebuah sekolah disebut favorit, sementara sekolah lainya bukan favorit?

Sekolah favorit isinya anak-anak pintar. Nilainya yahud. Masalahnya kepintaran itu bukan semata hasil dari proses pendidikan di sekolah itu. Tapi karena inputnya memang sudah bagus. Siswa yang mau masuk sekolah favorit harus punya nilai tinggi. Kepintarannya di atas rata-rata.

Karena bahan bakunya sudah bagus, otomatis proses pendidikan jadi lebih mudah. Anak-anak pintar yang disatukan dalam sebuah sekolah akan menghasillan lulusan terbaik.

Walhasil, pada sekolah favorit fungsi sekolah hanya memoles. Toh, pada dasarnya bahan bakunya sudah bagus. Anak-anak pilihan. Singkatnya sekolah favorit boleh dibilang punya beban lebih sedikit dibanding yang gak favorit.

Sementara sekolah non-favorit kudu menggembleng siswanya dalam proses pendidikan yang lebih serius. Bahan baku yang didapatkan --anak-anak didik itu-- nilai rata-ratanya di bawah anak-anak sekolah favorit. Makanya kalau mereka mau mengejar output setara sekolah favorit tentu guru dan metode pengajarannya harus lebih bagus.

Dibutuhkan kerja lebih keras.

Jadi sebetulnya gampang membuat sekolah menjadi sekolah favorit. Pasang saja syarat tinggi buat siswa untuk masuk. Itu sudah memenuhi 80% syarat untuk mendapatkan lulusan dengan nilai bagus. Selanjutnya pilih ekskul yang keren.

Anak-anak dengan nilai akademis tinggi banyak terbantu oleh fasilitas. Gizinya cukup, peralatan belajar memadai, apalagi ditambah les dan bimbel. Itu semua butuh biaya. Makanya siswa sekolah favorit rata-rata dimasuki anak dengan tingkat ekonomi memadai.

Ada yang absurd. Sekolah disebut favorit karena isinya anak-anak pintar. Padahal anak itu pintar sudah dari sononya. Wong, syarat masuknya harus punya nilai tinggi. Otomatis lulusannya juga memadai.

Jadi justru kualitas siswa yang membuat sekolah jadi sekolah favorit. Bukan sekolah itu yang menciptakan siswa jadi pintar.

Lalu kenapa siswa-siswa berebut masuk sekolah favorit?

Inilah anehnya. Siswa pintar yang menjadikan sebuah sekolah jadi sekolah vaforit. Bukan sebaliknya. Tapi siswa-siswa itu justru berebut masuk ke sekolah favorit. Kenapa? Karena mereka butuh bergaul dengan anak-anak pintar lainnya.

Jadi sekolah favorit pada intinya hanya mengumpulkan anak-anak pintar yang lulus kualifikasi saja. Metode dan pengajaranya sama dengan sekolah non-favorit.

Ujungnya karena memang manusia butuh disatukan dengan selevel dengannya. Anak pintar dengan anak pintar. Yang kurang pintar dengan yang kurang pintar.

Akibatnya, kapan sekolah non-favorit bisa naik kelas?

Mungkin inilah yang membuat pemerintah lebih memilih mekanisme zonasi ketimbang kualifikasi nilai siswa. Agar sebaran input anak-anak pintar lebih merata. Dengan demikian anak-anak ini bisa jadi virus positif buat teman-teman di sekolahnya. Ujungnya bisa meningkatkan mutu sekolah.

Masalahnya, iya kalau virus anak pintar itu yang menular. Bagaimana kalau sebaliknya? Saya rasa inilah yang dikhawatirkan sebagian orangtua siswa. Takut anaknya yang dirasa pintar jadi 'tercemar'.

Justru disinilah akhirnya sekolah berperan penting. Bagaimana mengenbangkan virus positif dan menangkal virus negatif yang dibawa siswa.

"Dulu aku juga sekolah di TK favorit, mas," ujar Abu Kumkum.

"TK mana Kum?"

"TK Tumben Lestari, mas..."

Ohh, pantes...

Eko Kuntadhi

***