Iya kalau virus anak pintar itu yang menular. Bagaimana kalau sebaliknya? Saya rasa inilah yang dikhawatirkan sebagian orangtua siswa. Takut anaknya yang dirasa pintar jadi 'tercemar'.
Dari manakah kita mengukur sebuah sekolah disebut favorit, sementara sekolah lainya bukan favorit?
Sekolah favorit isinya anak-anak pintar. Nilainya yahud. Masalahnya kepintaran itu bukan semata hasil dari proses pendidikan di sekolah itu. Tapi karena inputnya memang sudah bagus. Siswa yang mau masuk sekolah favorit harus punya nilai tinggi. Kepintarannya di atas rata-rata.
Karena bahan bakunya sudah bagus, otomatis proses pendidikan jadi lebih mudah. Anak-anak pintar yang disatukan dalam sebuah sekolah akan menghasillan lulusan terbaik.
Walhasil, pada sekolah favorit fungsi sekolah hanya memoles. Toh, pada dasarnya bahan bakunya sudah bagus. Anak-anak pilihan. Singkatnya sekolah favorit boleh dibilang punya beban lebih sedikit dibanding yang gak favorit.
Sementara sekolah non-favorit kudu menggembleng siswanya dalam proses pendidikan yang lebih serius. Bahan baku yang didapatkan --anak-anak didik itu-- nilai rata-ratanya di bawah anak-anak sekolah favorit. Makanya kalau mereka mau mengejar output setara sekolah favorit tentu guru dan metode pengajarannya harus lebih bagus.
Dibutuhkan kerja lebih keras.
Jadi sebetulnya gampang membuat sekolah menjadi sekolah favorit. Pasang saja syarat tinggi buat siswa untuk masuk. Itu sudah memenuhi 80% syarat untuk mendapatkan lulusan dengan nilai bagus. Selanjutnya pilih ekskul yang keren.
Anak-anak dengan nilai akademis tinggi banyak terbantu oleh fasilitas. Gizinya cukup, peralatan belajar memadai, apalagi ditambah les dan bimbel. Itu semua butuh biaya. Makanya siswa sekolah favorit rata-rata dimasuki anak dengan tingkat ekonomi memadai.
Ada yang absurd. Sekolah disebut favorit karena isinya anak-anak pintar. Padahal anak itu pintar sudah dari sononya. Wong, syarat masuknya harus punya nilai tinggi. Otomatis lulusannya juga memadai.
Jadi justru kualitas siswa yang membuat sekolah jadi sekolah favorit. Bukan sekolah itu yang menciptakan siswa jadi pintar.
Lalu kenapa siswa-siswa berebut masuk sekolah favorit?
Inilah anehnya. Siswa pintar yang menjadikan sebuah sekolah jadi sekolah vaforit. Bukan sebaliknya. Tapi siswa-siswa itu justru berebut masuk ke sekolah favorit. Kenapa? Karena mereka butuh bergaul dengan anak-anak pintar lainnya.
Jadi sekolah favorit pada intinya hanya mengumpulkan anak-anak pintar yang lulus kualifikasi saja. Metode dan pengajaranya sama dengan sekolah non-favorit.
Ujungnya karena memang manusia butuh disatukan dengan selevel dengannya. Anak pintar dengan anak pintar. Yang kurang pintar dengan yang kurang pintar.
Akibatnya, kapan sekolah non-favorit bisa naik kelas?
Mungkin inilah yang membuat pemerintah lebih memilih mekanisme zonasi ketimbang kualifikasi nilai siswa. Agar sebaran input anak-anak pintar lebih merata. Dengan demikian anak-anak ini bisa jadi virus positif buat teman-teman di sekolahnya. Ujungnya bisa meningkatkan mutu sekolah.
Masalahnya, iya kalau virus anak pintar itu yang menular. Bagaimana kalau sebaliknya? Saya rasa inilah yang dikhawatirkan sebagian orangtua siswa. Takut anaknya yang dirasa pintar jadi 'tercemar'.
Justru disinilah akhirnya sekolah berperan penting. Bagaimana mengenbangkan virus positif dan menangkal virus negatif yang dibawa siswa.
"Dulu aku juga sekolah di TK favorit, mas," ujar Abu Kumkum.
"TK mana Kum?"
"TK Tumben Lestari, mas..."
Ohh, pantes...
Eko Kuntadhi
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews