Sang Diktator

Salah satu kebijaksanaan hidup tertinggi adalah memahami, kapan kita harus melepas, dan kapan kita harus berusaha. Tegangan antara keduanya adalah hidup yang paripurna.

Senin, 24 Juni 2019 | 21:25 WIB
0
453
Sang Diktator
Ilustrasi diktator (Foto: Rumahfilsafat.com)

Hidup kita banyak diisi oleh para diktator. Tak jarang pula, kita juga telah menjadi diktator. Seorang diktator memaksakan kehendaknya terhadap kehidupan. Jika perlu, ia akan menggunakan kekerasan, guna mencapai tujuannya.

Diktator dalam Politik

Para pemikir politik memahami diktator sebagai orang yang memusatkan semua kekuasaan politik ke dalam tangannya. Tentunya, ini bukan sepenuhnya hal buruk. Di masa Kekaisaran Romawi Kuno, ketika krisis politik terjadi, para senator memilih satu pemimpin utama yang memegang kekuasaan secara mutlak. Ini berlaku sampai krisis berakhir.

Di abad 20, dunia mengalami secara langsung bangkitnya kekuasaan diktator yang mencekam. Nasionalisme Sosialisme (NAZI) Jerman menciptakan pemerintahan diktatorial yang bersifat rasis dan penuh kekerasan. Pemerintahan totaliter komunisme di Uni Soviet juga memiliki ciri serupa. Di Indonesia, pemerintahan Order Baru di bawah Suharto mengikuti pola yang sama dengan menjadikan Pancasila sebagai tamengnya.

Setelah reformasi 1998 sampai sekarang, Indonesia berubah menjadi negara demokratis. Ada banyak kelemahan di dalamnya, mulai dari krisis kepemimpinan di berbagai bidang, sampai dengan korupsi yang tersebar begitu luas dan dalam. Namun, ciri diktator hampir tak pernah tampak. Yang banyak muncul justru tokoh dari masa lalu dengan sikap diktatorialnya.

Mereka mencoba merebut kekuasaan lewat jalan-jalan demokratis. Kampanye politik pun dengan cara-cara yang penuh kekerasan dan kebohongan. Para pendukungnya cenderung menggunakan embel-embel agama untuk menutupi kebusukan mereka. Ketika kalah dalam pemilihan umum, mereka menciptakan kerusuhan, dan menebar kebohongan di berbagai penjuru.

Diktator dalam Kehidupan

Mental diktator juga dengan mudah ditemukan di dalam dunia ekonomi dan bisnis. Di banyak perusahaan Indonesia, pola kepemimpinan yang berjalan adalah kepemimpinan diktatorial. Keputusan pimpinan dianggap sebagai sesuatu yang mutlak. Setiap perbedaan pendapat, dan bahkan pertanyaan, dianggap sebagai pembangkangan.

Dalam konteks ekonomi yang lebih besar, banyak perusahaan bertindak sebagai diktator. Mereka melakukan monopoli di bidang usaha mereka. Dengan modal yang sangat besar, mereka menyingkirkan semua pesaing dengan cara-cara yang melanggar hukum. Alhasil terciptalah monopoli yang merugikan para konsumen, sekaligus menurunkan mutu barang maupun jasa yang ditawarkan.

Dunia moral pun tak lepas dari para diktator. Baik dan buruk ditentukan secara sepihak, tanpa menggunakan akal sehat dan hati nurani. Pandangan dari ribuan tahun lampaui diyakini secara buta, walaupun sudah tak sesuai dengan perubahan jaman. Para diktator moral akan bertindak kejam, ketika pandangan mereka dilanggar, atau sekedar ditantang dengan pertanyaan kritis.

Ironisnya, di Indonesia, dunia ilmu pengetahuan pun juga diisi para diktator. Para guru besar, dengan pengetahuan yang sudah tak relevan, memaksakan klaim kebenaran mereka. Dunia penelitian menjadi sangat dangkal, dan penuh dengan kepura-puraan. Tak heran, dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan di Indonesia bermutu sangat rendah.

Akar dari Mental Diktator

Mental diktator tidak datang dari langit. Ia juga tidak datang secara alami. Mental diktator dibentuk oleh keadaan. Keadaan masyarakat secara umum berperan besar di dalam menciptakan seorang diktator. Ada empat hal yang patut diperhatikan.

Pertama, seorang diktator mencengkram kenyataan, karena ia takut akan ketidakpastian. Padahal, hidup penuh dengan ketidakpastian. Ada hal yang bisa kita atur. Namun, jauh lebih banyak hal yang jauh dari jangkauan kita sebagai manusia. Para diktator tak sanggup memahami hal ini.

Dua, para diktator dijajah oleh hasrat kekuasaan yang tak terkelola di dalam dirinya. Hasrat berkuasa ini dibentuk oleh keadaan sosial yang tak sehat. Di dalam masyarakat yang penuh kemunafikan dan miskin keteladanan, mental diktator dengan mudah tumbuh berkembang. Sayangnya, Indonesia adalah salah satu contoh masyarakat semacam ini.

Tiga, para diktator juga dibentuk oleh masyarakat yang lemah. Masyarakat yang lemah terdiri dari orang-orang yang rindu untuk dijajah. Mereka tak berani berpikir sendiri, dan memilih hidup di dalam penjajahan tradisi secara buta. Tak heran pula, bahwa mutu pendidikan yang rendah di dalam sebuah masyarakat berbanding lurus dengan hadirnya politik diktator.

Melampaui Mental Diktator

Pada akhirnya, kita harus sadar, bahwa hidup adalah ketidakpastian. Kesadaran inilah yang akan menyingkirkan mental diktator sampai ke akarnya. Jika orang tak sadar, keadaan akan memaksanya. Berbagai peristiwa akan memukulnya kembali untuk berani menatap ketidakpastian.

Baca Juga: Kediktatoran dan Kebodohan Musuh Umat Manusia, Apapun Agamanya

Melepas memang mudah diucap. Namun, ia sangat sulit dilakukan. Pandangan-pandangan spiritual Asia bisa banyak membantu dalam hal ini. Dalam banyak sisi, pemikiran Asia tentang pikiran, kesadaran dan kesehatan mental jauh lebih maju dari ilmu psikologi modern, maupun ilmu psikiatri.

Di sisi lain, sebagai bangsa, kita mesti membangun kebiasaan berpikir mandiri. Artinya, kita harus terbiasa membuat pertimbangan dengan akal sehat dan hati nurani yang kita punya. Kita tidak patuh buat pada tekanan sosial, ataupun pada tradisi, secara buta. Ini sangat penting, supaya kita tidak mengulang kesalahan yang sama dari masa lalu, yakni membiarkan seorang diktator berkuasa secara politik, ekonomi maupun moral di Indonesia.

Jatuh Bangun

Salah satu kebijaksanaan hidup tertinggi adalah memahami, kapan kita harus melepas, dan kapan kita harus berusaha. Tegangan antara keduanya adalah hidup yang paripurna. Kita berusaha memperbaiki keadaan dengan segala sumber daya yang ada. Namun, hasil akhir tetap di luar kuasa kita.

Ini hal yang sederhana. Namun, ia amat sulit dilakukan. Saya berulang kali jatuh bangun, guna sungguh memahami jalan melepas semacam ini. Dalam proses belajar, kita pun harus menerapkan pola pikir yang sama.

Kita terus belajar. Terus mencoba. Tanpa tahu betul, apa hasil yang akan kita dapat… setuju?

***