Antara Jihad Fisabilillah dan "Mati Anjing"

Hampir rerata pelaku Bom Bunuh diri pun adalah orang-orang yang hidupnya berhalusinasi tentang Surga, karena tercekoki oleh doktrin agama tanpa berusaha untuk memahami.

Selasa, 21 Mei 2019 | 20:15 WIB
0
470
Antara Jihad Fisabilillah dan "Mati Anjing"
Ilustrasi pelaku bom bunu diri (Foto: Tempo.co)

Tidak satu manusia pun bisa merencanakan kematiannya akan seperti apa, juga apakah dia akan mati syahid atau mati dalam keadaan sia-sia, karena itu semua adalah kehendak Allah Ta'ala yang menentukan.

Semasa masih remaja di Jambi saya sering mendengar kata "Mati Anjing," persamaan dari kata ini adalah mati sia-sia, mati yang tersia-siakan, seperti halnya Anjing yang mati dibiarkan sia-sia, tanpa ada yang memperdulikan.

Sama halnya dengan pelaku Bom Bunuh diri yang Mati Anjing, entah dari mana logikanya bisa dianggap mati syahid. Bunuh diri saja sudah dosa, terus efek dari bunuh diri yang dilakukan merugikan orang lain, dan perbuatannya tersebut mengganggu keamanan negara, lantas dimana letak Jihadnya.?

Kalau pelaku Bom Bunuh diri itu dibilang mati syahid dan akan diganjar surga, saya yakin yang menganjurkan untuk melakukan bom bunuh diri tersebut, adalah orang yang pertama yang akan melakukannya.

Logika seperti ini memang tidak terpikirkan oleh pelaku Bom Bunuh diri, karena pikirannya sudah disesatkan oleh dogma agama.

Dan hampir rerata pelaku Bom Bunuh diri pun adalah orang-orang yang hidupnya berhalusinasi tentang Surga, karena tercekoki oleh doktrin agama tanpa berusaha untuk memahami, sementara mereka menerima semua itu tidak lagi menggunakan akal dan pikirannya, hidupnya sudah seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.

Mereka melakukan itu dalam iming-iming Jihad fisabilillah, dan diposisikan sebagai mujahid/mujahidah. Inilah akibatnya kalau melakukan sesuatu tanpa didasari oleh ilmu dan pengetahuan. Padahal Rasulullah Shallallhu 'Alaihi Wassalam memberikan gambaran seperti apa Yang dimaksudkan dengan Jihad fisabilillah tersebut.

Siapakah yang Layak Disebut Jihad Fisabilillah?

Datanglah seorang laki-laki shalih kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ia melaporkan tiga orang temannya yang ikut berjihad. Kepada Nabi, laki-laki ini menuturkan, “Orang pertama berjihad karena miskin. Ia ingin mendapatkan harta rampasan perang sehingga dapurnya bisa terus mengepul.”

Sedangkan yang kedua, “Orang ini berjihad karena perasaan tak mau dijajah. Ia tidak ingin kaumnya diperangi. Dan tidak berkehendak jika tidak ikut berjihad bersama kaumnya.” Dan yang ketiga, “Dia berjihad karena ingin disebut sebagai laki-laki yang gagah berani.”

Baca Juga: Balada Perempuan Bercadar dan 11 Anjing Piarannya

Kelar menuturkan tiga sejawatnya yang ikut berjihad dengan masing-masing motifnya, laki-laki shalih yang tidak disebut namanya ini bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Dari ketiganya, siapakah yang layak disebut jihad fi sabilillah?”

Sekilas, kita melihat bahwa ketiga orang di atas tidak memenuhi syarat ikhlas. Motifnya bukan karena Allah Ta’ala dan Rasulullah, tapi harta, nasionalisme, dan gengsi agar disebut pemberani.

Namun, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan dengan amat santun seraya menyampaikan, “Siapa pun (di antara ketiganya) yang berjihad untuk meninggikan kalimat Allah Ta’ala, maka dia (terhitung) fi sabilillah.”

Bagaimana dengan tafsir meninggikan kalimat Allah Ta'ala seperti yang dimaksudkan Nabi Shallallhu 'Alaihi wa Sallam?

Inilah yang jangan sampai salah menafsirkannya, sehingga melakukan sesuatu atas dasar tafsiran sendiri, memaknai Jihad pun atas kepentingan pribadi dan politik. Itulah perlunya akal agar tidak mudah dimanfaatkan orang lain, Wallahu'alam.

***